BERITAALTERNATIF.COM – Kematian Buya Syafii Maarif membawa duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Para pejabat negara dari presiden hingga menteri serta tokoh-tokoh lintas agama pun menyampaikan belasungkawa atas kepergian tokoh bangsa yang merupakan alumni The University of Chicago tersebut.
Raganya memang telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Namun, pemikiran-pemikiran Buya Syafii masih tetap hidup dalam relung jiwa masyarakat Indonesia, khususnya kelompok minoritas yang kerap dibelanya mati-matian.
Buya Syafii kerap “menyentil” para politisi serta kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan “agama dan tuhan” sebagai alat dalam meraih kekuasaan.
Dalam kesempatan wawancara khusus dengan wartawan detikcom pada penghujung 2018, Buya Syafii mengaku sedih saat agama sebagai kendaraan politik serta pembenaran untuk pragmatisme politik.
“Ini yang saya katakan orang menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga murah,” ucap Buya Syafii sebagaimana dikutip beritaalternatif.com di kanal YouTube detikcom pada Senin (30/5/2022) siang.
Usaha menyeret agama dan tuhan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan yang bersifat duniawi, kata Buya, merupakan cara yang tidak beretika.
Ia melanjutkan, dalam sistem demokrasi, Pileg dan Pilpres merupakan agenda lima tahunan yang tergolong biasa. Bila ada seseorang atau kelompok tertentu yang tidak menyukai pemimpin terpilih, Buya Syafii menyarankannya untuk menunggu hingga pemilu berikutnya.
Dia menilai Pemilu 1955 sebagai pesta demokrasi yang patut dijadikan contoh oleh para politisi di Tanah Air. Kala itu, pertentangan ideologi antara tokoh bangsa sangat tajam.
Kata Buya Syafii, saat itu sejumlah politisi bertentangan pendapat dalam rapat-rapat formal kenegaraan seperti DPR. Tetapi ketika berada di warung kopi, mereka kembali bersalam-salaman dan saling tertawa.
Pemilu kembali dilaksanakan pada 1971. Ini merupakan era kepemimpinan Indonesia di bawah kendali Soeharto. Mengutip Gus Dur, Buya Syafii mengatakan, pemilu di era Orde Baru merupakan “pemilu seolah-olah”.
“Tampaknya demokratis, tetapi sesungguhnya otoriter,” ujarnya.
Sistem otoritarian di Indonesia, sebut dia, dimulai pada tahun 1959. Hal ini ditandai dengan penerbitan Dekrit 5 Juli 1959 oleh Soekarno. Kemudian dilanjutkan dan diperkuat dengan demokrasi terpimpin.
“Itu sudah enggak sehat demokrasi kita,” ujarnya.
Buya Syafii mengatakan, bangsa Indonesia memiliki “penyakit amnesia” atau mudah melupakan sejarah. Karena itu, dia menyarankan agar ingatan bangsa ini disegarkan oleh media serta orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Ia menyebutkan, usaha mengingatkan bangsa ini tak bermaksud menyampaikan hujatan, melainkan sebagai ajang untuk belajar dari masa lampau.
“Ahli sejarah mengatakan bahwa sejarah itu adalah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang sekaligus penunjuk arah bagi masa depan,” jelasnya. (*)