Oleh: Haidir*
Antara tahun 1997-1998, saya yang waktu itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong dan Sahabat Sukadi (semoga Allah merahmati Beliau) yang menjabat Ketua PMII Cabang Kutai, bersama pengurus organisasi yang kami pimpin, merajut hubungan baik dan meningkatkan ukhuwah, setelah pertentangan panjang dan kurang harmonis antara dua OKP Islam ini.
Momentum waktu itu, kami tandai dengan melaksanakan kegiatan bersama, Peringatan Maulid Nabi SAW di Masjid Agung (nama awal Masjid Sultan Sulaiman).
Kami tahu, pertentangan antara HMI dan PMII bukan didasari oleh perbedaan ideologi, mazhab apalagi agama. HMI dan PMII adalah dua sisi mata uang, hakikatnya satu. Pertentangan-pertentangan di antara keduanya hanya sebagai imbas terseretnya pengurus terhadap faksi politik masing-masing senior kedua organisasi ini yang acap kali terjadi di dunia politik, juga imbas persaingan rekrutmen anggota, dan hal remeh-temeh lainnya. Adanya faksi dan persaingan politik para senior masing-masing organisasi haruslah difilter agar tidak masuk ke dalam sikap emosional adik-adik yang masih tumbuh dan sedang membangun jati diri. Rekrutmen hendaklah dimaknai sebagai beban amanah untuk membina kader-kader umat dan bangsa oleh masing-masing organisasi, sehingga seharusnya itu dipandang sebagai tanggung jawab, bukan kebanggaan apalagi diperebutkan. Toh di tingkat tinggi, tokoh sekaliber Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur (HMI) dengan Abdurrahman Wahid yang familier disapa Gus Dur (refresentasi Nahdiyyin dan sesepuh yang dihormati PMII) bergandeng tangan, “mesra” dalam pemikiran, karib dalam gerakan politik.
Bagi kami Pengurus HMI Cabang Tenggarong dan PMII Cabang Kutai waktu itu, akurnya Cak Nur dan Gus Dur dan tokoh-tokoh lain HMI-PMII adalah simbol kedewasaan berorganisasi, simbol independensi dalam pemikiran dan sikap, dan simbol ukhuwah yang insyaallah diajarkan Rasulullah saw. Maka sebagai organisasi Islam, tak patut bagi HMI-PMII terseret kepada pertentangan yang sebenarnya tidak mandiri (dependen). Kami yakin, ketika Gus Dur tersakiti, maka pasti Cak Nur akan merasakan sakit yang sama, dan jika Cak Nur diganggu, maka Gus Dur akan menjadi terganggu juga. Tak pantas bagi Cak Nur untuk menyakiti Gus Dur, dan tak akan ada terbersit dibenak Gus Dur untuk mendurhakai Cak Nur. Itulah prinsip ukhuwah islamiyah, yang sangat dipahami dan mampu dipraktikkan keduanya dalam pergaulan hidup. Bukankah lambang dan nama PMII dan HMI adalah alami dan rahmat, sehingga tak ada dasar yang kuat untuk dipertentangkan apalagi dibenturkan.
Oleh sebab itu, berbekal hati terbuka kami berdua, dan segenap pengurus masing-masing dari HMI Cabang Tenggarong dan PMII Cabang Kutai, merekatkan kembali hati, membangun cinta dan saling mengasihi sebagai sesama muslim, dan mengharapkan rajutan ini kokoh terwariskan sepanjang generasi PMII Cabang Kutai dan HMI Cabang Tenggarong. Maulid Nabi adalah upaya kami untuk menyadarkan kedua belah pihak, bahwa kita telah mengambil agama dari sumber yang sama, mengambil tauladan dari figur yang sama, sosok Baginda Muhammad saw, seharusnya tak ada ruang bagi keduanya untuk memusuhi dan saling menyakiti. (*Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong Periode 1997-1998)