Penulis: Adji M. Dudi Hari Saputra*
Ucapan yang bernada penghinaan oleh Edy Mulyadi yang viral bahwa Tanah Kalimantan identik dengan tempat ‘Jin Buang Anak’, ‘Kuntilanak dan Genderuwo’, yang kemudian direspons oleh Azam Khan bahwa ‘Hanya Monyet’ yang mau tinggal di Kalimantan telah membuat sakit hati masyarakat serta para tokoh di Kalimantan yang kemudian direspons dengan gerakan aksi massa yang serentak dari Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, Timur hingga Utara serta diikuti laporan secara resmi kepada polisi sebagai bentuk penolakan serta perlawanan atas segala bentuk penghinaan oleh individu maupun kelompok kepada Kalimantan dan segenap masyarakat yang ada di dalamnya.
Tentu protes atas bentuk penghinaan ini adalah bagian dari membela rasa kemanusiaan masyarakat Kalimantan yang juga ingin dihargai dan dihormati sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan dan sebagai sesama anak bangsa yang lahir di Indonesia, yang ingin terus menjaga persatuan NKRI. Karena itu penulis dalam hal ini juga ingin merespons sebagai orang Kalimantan dalam bentuk tulisan.
Mengacu dari para Founding Fathers, bahwa Sjahrir atas petunjuk Hatta menyatakan tujuan berbangsa adalah menuju kemerdekaan dan kedewasaan kemanusiaan, yaitu bebas dari penindasan dan penghisapan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia—perumusan yang bertubi-tubi digemakan juga oleh Presiden Soekarno, kebebasan dari exploitation de l’homme par l’homme (Mangunwijaya, 1996).
Pesan dari para pendiri bangsa yang coba dikutip oleh Romo Mangun ini bersandarkan pada dua prinsip utama tujuan dari kemerdekaan, yaitu bebas dari penindasan dan penghisapan (ekonomi-material) dan bebas dari penghinaan manusia terhadap manusia yang lain (kemanusiaan-spiritual) (Yudi Latif, 2015).
Dan fase kemerdekaan itu sudah digapai dengan penuh pengorbanan, dari harta, ide-gagasan, hingga nyawa. Usaha gemilang itu akhirnya membuahkan hasil, yakni 76 tahun yang lalu bangsa Indonesia resmi lahir setelah diproklamirkan oleh dua bapak pendiri bangsa, yakni Soekarno-Hatta, tepat di momen itu maka lahirlah sebuah bangsa-negara baru bernama Republik Indonesia, sebuah bayi mungil dari kawasan Asia Tenggara, yang dalam proses tumbuh besarnya melalui proses ujian yang luar biasa sulit, ibarat anak kecil yang baru belajar merangkak dan berjalan, Indonesia harus beberapa kali mengalami masa jatuh-bangun.
Diawali dari ancaman luar dengan agresi militer Belanda, konflik pemberontakan internal yang bermotif ideologi seperti gerakan pemberontakan Darul Islam (Negara Islam Indonesia) di Jawa Barat pada tahun 1948 oleh Kartosuwiryo, kemudian pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1949 oleh Musso. Lalu, berlanjut ke pemberontakan karena isu ketidakadilan antara kekuasaan yang lebih dominan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah (PRRI-Permesta), hingga gerakan-gerakan massa antar sesama anak bangsa karena ketidakadilan oleh penguasa, yang tidak sedikit membuat republik ini harus menyakiti dan mengorbankan nyawa dari anaknya sendiri, seperti Pemberontakan PKI 30 September 1965, Peristiwa Malari, hingga Gerakan Reformasi 1998 (Yudi Latif, Ibid).
Melihat serangkaian peristiwa besar dan usia yang sudah beranjak, maka wajar sekiranya ada upaya merawat bangsa ini untuk menjadi lebih dewasa, yakni fase yang lebih matang baik secara fisik (material) maupun mental (spiritual).
Romo Mangun mengatakan, sudah saatnya masyarakat Indonesia lebih mendengarkan saran para tokoh bangsa sendiri, bukan asupan dari luar, seperti Soetan Sjahrir yang berharap bahwa Indonesia akan mengalami fase kedewasaan berfikir dan bercita-rasa, yang ujung pangkalnya adalah sikap mendewasakan kemanusiaan, yang berkonsekuensi pada pencapaian keadaan kemanusiaan di mana ia tidak perlu lagi diperintah dan dipaksa, apalagi ditindas dan dihisap, dan bangsa ini haruslah meninggalkan politik burung unta atau cara-cara terhadap anak-anak kecil dengan menakut-nakuti bangsa dengan hantu-hantu bikinan sendiri (Soetan Sjahrir, 1982).
Dan yang diperlukan oleh generasi muda sekarang dan mendatang bukanlah pembakuan statis institusi-institusi historis, tetapi dinamika yang lebih baru lagi daripada Orde Baru, dan yang sudah menyembuhkan diri dari penyakit kanak-kanak semua dan setiap sistem yang pernah dicoba di dalam perjalanan sejarah. Asal tetap berpegangan pada Mukadimah UUD 45 (Mangunwijaya, 1996).
Sekarang sudah saatnya mendewasakan diri dalam berbangsa dan bernegara dengan memahami prinsip “Lex agendi lex essendi” (hukum berbuat adalah hukum keberadaan), yakni di saat ada tekad untuk mempertahankan nilai-nilai dasar, tetapi di saat yang sama harus ada sikap untuk beradaptasi dalam melihat perubahan jaman (Mangunwijaya, 1998). Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan keutuhan NKRI.
Tapi nilai-nilai ini juga harus berkorespondensi dengan kondisi kekinian, bahwa terjadi gerak transformasi masyarakat pasca Reformasi 1998 menuju alam yang lebih demokratis dan terbuka serta mengalami percepatan budaya (dromologi budaya); yaitu percepatan tempo kehidupan/kultural, yang percepatan ini tak lepas dari perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi (Yasraf Amir Piliang: 2014).
Yang tidak sedikit, era demokrasi di Republik ini malah menciptakan anomali-anomali baru dalam kehidupan berbangsa, salah satu contohnya adalah muncul pernyataan-pernyataan seperti Edy Mulyadi dan Azam Khan ini. Karena itu, perlu diingatkan kembali bahwa kita wajib merawat kedewasaan berbangsa di momen kehidupan bernegara apalagi jika dikaitkan dengan langkah pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara yang berada di pulau Kalimantan.
Demokrasi Kita
Banyak pemimpin dan cendekiawan menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling canggih, serta mampu menciptakan keharmonisan antara pemerintah dan warganya. Demokrasi memberdayakan warga negara dengan hak menilai dan memilih kandidat akan menjadi pemimpin terbaik mereka di masa depan. Dengan cara ini, rakyat mempertahankan pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Namun, terkadang demokrasi dapat menyesatkan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung setelah gerakan reformasi dimulai pada tahun 1998. Rakyat Indonesia mengadakan unjuk rasa dan demonstrasi memprotes rezim Orde Baru yang kemudian menurunkan presiden Soeharto.
Setelah jatuhnya Soeharto, demokrasi Indonesia diterapkan tidak sesuai tujuannya. Yaitu mengarah ke salah tafsir bahwa demokrasi semata-mata demi kepentingan terbaik dari kelompok mayoritas, dan kurang peduli menegakkan dan memperjuangkan kebenaran, yang tertuang di dalam konstitusi negara.
John Locke (1996) mempercayai pentingnya bentuk pemerintahan yang demokratis. Beliau menolak dengan tegas bentuk pemerintahan tirani di mana penguasa tunggal menjadi pemegang kedaulatan. Namun, untuk menghindari bentuk demokrasi yang mengarah ke mobokrasi (pemerintahan oleh gerombolan banyak) yang cenderung merusak dan tidak terkontrol, Locke menekankan pentingnya aspek hukum. Hukum menurut Locke bukanlah paksaan dari satu pihak yang berkuasa, tapi lahir dari kesepakatan/kontrak sosial yang setara (egaliter) dan secara sukarela dan penuh kesadaran oleh masyarakat tanpa tekanan/paksaan.
Dari kontrak sosial ini masyarakat bersepakat patuh dan taat pada kontrak (konstitusi) yang telah disepakati, yang kemudian menjadi landasan untuk membentuk institusi (baca: pemerintahan) yang mengatur dan melindungi hak serta kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat.
Namun berbeda pandangan, Hobbes (1651) lebih menganggap pemerintahan harus tunggal. Locke menolaknya dengan anggapan bahwa ini bisa menjadi bentuk pemerintahan yang tiran. Kemudian Locke menyarankan pemisahan (separation) pemerintahan, yaitu legislatif dan eksekutif.
Lalu, bagaimana dengan konteks Indonesia? Indonesia yang menerapkan demokrasi langsung pasca Orde Baru menghadapi tantangan yang semakin rumit dalam penerapan demokrasinya, berita tentang konflik baik horizontal maupun vertikal silih berganti di era penuh keterbukaan dan kebebasan ini.
Demokrasi Indonesia, meminjam terminologi Aristoteles, adalah sistem masyarakat yang bukan demokrasi tapi mobokrasi/okhlokrasi. Di mana pemerintahan terbentuk atas gerombolan banyak/mayoritas, yang kemudian menjadi landasan oleh pelaksana negara bahwa suara atau kepentingan mayoritas adalah kebenaran, dan pasti berdampak merugikan bagi minoritas.
Dan dikotomi seperti ini yang sebenarnya ingin dihilangkan dengan cara memindahkan IKN ke Kalimantan, sehingga tidak ada lagi ketidakadilan pembangunan antara Jawa dan luar Pulau Jawa, Indonesia bagian Barat dan Timur, daerah penghasil SDA dan daerah pusat pemerintahan, namun ditolak oleh Edy Mulyadi dan kelompoknya karena alasan kepentingan oligarki. Oleh karena itu, penulis akan melakukan analisis perihal hal tersebut.
Oligarki dan Politik Identitas (Rasial)
Kekurangan demokrasi Indonesia juga ada pada aspek oligarki dan sentimen politik identitas. Tesa ini diawali oleh pendapat Huntington yang mengkritisi pandangan Fukuyama bahwa dunia akan dipersatukan oleh pandangan demokrasi-liberal pasca keruntuhan kekuatan utama blok timur (komunis) Uni Soviet, tapi menurut Huntingon, pandangan itu keliru, karena konflik antar ideologi akan bergeser menjadi gesekan peradaban/identitas (clash of civilization), misalnya antara dunia Barat dan dunia Islam.
Tapi pandangan Huntington ini dianggap tidak masuk akal oleh Edward Said, dan mengkritisinya dengan membuat artikel bertema gesekan kebodohan (clash of ignorance), bahwa tesa akan terjadi gesekan peradaban (identitas) dirasa tidak masuk akal di tengah dunia yang semakin modern, rasional dan terintegral satu sama lain.
V Hadiz menganggap politik identitas tidak lebih dari upaya oligarki (kekuasaan oleh sekelompok orang) untuk mempertahankan hak istimewa ekonomi dan bisnis mereka, terutama menggunakan identitas sebagai legitimasi infrastruktur untuk menjaga privilege mereka. Hal ini senada dengan pemikiran Airlangga Pribadi, bahwa perjuangan meraih kekuasaan di era demokrasi sering kali terjadi peristiwa menggunakan identitas sebagai dalih pembenaran untuk memenangkan persaingan ekonomi antar kelompok oligarki. Pandangan politik identitas (rasial) menurut Slavoj Zizek (2011) tak lebih dari usaha kapitalis dalam memperbesar pengaruhnya dengan menggunakan isu identitas untuk menguasai sumber daya alam dan ekonomi.
Karena itu, menurut penulis, langkah yang dilakukan oleh Edy Mulyadi itu keliru ketika melakukan kritik terhadap oligarki tapi malah menggunakan narasi penghinaan dan kebencian yang sebaliknya menghasut isu sara dan identitas semakin masif sehingga isu oligarki malah semakin tertutup.
Dan pendapat Edy Mulyadi ini sebenarnya sedikit-banyak menggambarkan sebagian sudut pandang (penulis berharap ini hanya sebagian kecil) orang-orang di Pulau Jawa terhadap orang-orang di Pulau Kalimantan.
Sebenarnya, penulis secara pribadi pun beberapa kali mendapat perlakuan rasis dari beberapa orang di Pulau Jawa, misal yang pernah penulis alami: oh orang Kalimantan, cuma ada hutan ya di sana; oh orang Kutai, aku kira sudah tidak ada lagi, soalnya cuma tahu dari sejarah.
Janganlah kebodohan secara geografi, etnografi, etnologi dan sosiologi membuat seseorang menjadi terlihat bodoh dengan pernyataan rasis.
Kalimantan ini adalah masa depan. Semenjak Kalimantan menjadi pusat energi dengan batu bara dan migas, pusat agro-industri dengan kelapa sawit, ke depan akan menjadi pusat ibu kota politik negara. Maka dari itu, Kalimantan adalah koentji. Bukan lagi seperti pameo rasis sebagai tempat buang anak jin atau monyet. (*Putra Kalimantan/Dosen Universitas Kutai Kartanegara)