Oleh: Dina Sulaeman*
Fakta: jumlah tentara Israel tidak banyak (untuk melakukan rekrutmen baru juga kesulitan). Mereka pun tidak bisa menggunakan seluruh pasukannya untuk fokus memerangi Hamas, karena front perang juga ada di perbatasan utara (melawan Hizbullah) dan di Tepi Barat (menghadapi milisi-milisi perlawanan Palestina).
Orang-orang Yahudi-Zionis dengan kewarganegaraan ganda terbang dari seluruh dunia untuk ‘membela’ Israel, namun orang-orang ini bukan tentara dan tidak dalam kondisi fisik yang tepat untuk berlarian dengan perlengkapan perang lengkap. Tentara Israel menerima pelatihan yang buruk, tidak disiplin, dan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari hal-hal selain pertempuran perkotaan atau operasi darat lainnya.
Sebaliknya, pejuang Hamas bermunculan dari terowongan dan menargetkan mereka. Peperangan perkotaan adalah salah satu tantangan tersulit yang dihadapi oleh tentara mana pun dan tentara Israel tidak memiliki pengalaman dalam hal ini.
Dengan mengebom Gaza, Israel justru menciptakan benteng yang sempurna bagi para pejuang Palestina. Kota yang penuh puing-puing lebih mudah dipertahankan dibandingkan kota yang utuh. Reruntuhan menyulitkan tank untuk bergerak, kota menjadi labirin dan pasukan Hamas dapat berlindung di balik reruntuhan. Tata letak kota yang hancur juga mempersulit serdadu Israel untuk mengarahkan diri mereka sendiri.
Selain itu, karena Israel memobilisasi sebagian besar penduduknya (untuk bergabung dengan militer), dan fokus pada perang, perekonomian mereka terpuruk. Israel tidak akan bisa bertahan menangani perang yang berkepanjangan.
Mantan Jenderal IDF, Itzhak Brik, menulis di media “Maarriv” (12 Juni 2024), “Tentara Israel sebenarnya tidak berperang langsung dengan Hamas karena Hamas berperang dengan cara gerilya; memasang perangkap, meledakkan gedung [dimana serdadu Zion berlindung], meluncurkan roket, dan bersembunyi di terowongan, sehingga menimpakan kerugian besar bagi tentara Israel.”
Tulis Brik, “Setiap hari, tentara kita terbunuh ketika mereka memasuki rumah-rumah yang terkepung tanpa disiplin operasional, tanpa prosedur dasar, tanpa pembelajaran, tanpa kendali dan pengawasan dari komandan senior, dan tanpa melakukan latihan dasar sebelum memasuki gedung.”
Kondisi serdadu Zionis ini diperparah karena: mereka membantai warga sipil dengan sedemikian brutal dan terang-terangan, disiarkan ke seluruh dunia menit per menit melalui media sosial. Seperti ditulis jurnalis Ryan Grim, awalnya, di 7 Oktober dunia bersimpati pada Israel, tapi kemudian sangat sulit untuk membelanya.
Hanya orang sakit jiwa yang masih tetap membela Zionis yang membantai lebih dari 15 ribu anak-anak, membakar mereka hidup-hidup dan memenggal kepala mereka; menghalangi masuknya pasokan pangan, obat-obatan, bahan bakar dan air; dan meledakkan hampir seluruh perumahan dan RS di Jalur Gaza.
Adanya 1.200 orang Israel yang konon tewas pada 7 Oktober (ini pun angkanya masih diperdebatkan; dan sebagian besar yang tewas juga terbukti dibunuh oleh serdadu Zionis sendiri), tidak bisa dijadikan dalih untuk melakukan operasi militer paling kriminal dalam sejarah modern. Israel sedang menuju kehancurannya sendiri. (*Pengamat Asia Barat)