Oleh Dr. Muhsin Labib, MA *
Berikut adalah pola-pola disinformasi, distorsi, hingga falasi yang memunculkan pesimisme tentang masa depan Palestina:
Pertama, membonsai isu Palestina sekadar sentimen kebencian dan sengketa rasial Arab – “Israel” (sengaja diberi tanda petik ganda karena faktanya, tak ada “negara Israel” melainkan hanya rezim ilegal dan kolonial yang menjajah Palestina sejak 1948). Targetnya, kalangan non Arab tidak memihak rakyat Palestina karena dianggap konflik dua ras semata atas sepetak wilayah di Timur Tengah.
Propaganda ini lumayan manjur. Tidak sedikit warga Indonesia yang menganggap isu Palestina tidak penting untuk dipersoalkan. Bahkan sebagiannya mulai terang-terangan menjustifikasi pendudukan zionis atas wilayah Palestina, mendukung pemukiman ilegal di wilayah-wilayah yang dihuni warga Palestina, seraya menyalahkan dan mencemooh aksi-aksi perlawanan dan intifadah.
Kedua, membatasi isu Palestina sebatas konflik dua negara: Palestina vs Israel. Tujuannya agar di balik kesadaraannya, diam-diam publik mengakui eksistensi rezim ilegal zionis sebagai negara legal. Seraya itu, fatalisme juga dijejalkan ke memori kolektif bahwa berdirinya Israel adalah fakta yang harus diterima dan, sebaliknya, setiap resistensi via-a-vis rezim ilegal dukungan AS dan Barat itu hanyalah ilusi terorisme dan pemberontakan.
Akibat propaganda masif ini banyak pihak dan pemerintah, terutama di luar kawasan Timteng. menganggap ide tidak fair dan pro zionis, “Two State” sebagai solusi realistis dan logis, meski kenyataannya hanyalah sebongkah ilusi dan sekerat falasi.
Ketiga, mereduksi isu Palestina sebagai isu agama: Yudaisme (Yahudi) vs Islam. Tentu saja dalam perspektif Islam, agama justru hadir untuk menguatkan dan menyempurnakan manusia dan kemanusiaan. Namun, agama sendiri didangkalkan dan disesatpahami sebagai anti kemanusiaan. Maka, dengan falasi semacam ini, agama diceraikan dari hingga dikonfrontatifkan dengan kemanusiaan.
Penyesatan dan pendangkalan semacam ini dibarengi disinformasi akut bahwa kedua agama itu saling mengklaim dominasi dan otorisasi atas Palestina, terutama Quds, berdasarkan dogma dan mitologi belaka.
Islam memang menetapkan Quds sebagai kiblat pertama umat Islam. Namun, itu bukan bermakna bahwa Quds hanya milik umat Islam. Sebaliknya kaum zionis mengklaim bahwa Palestina (Kanaan) adalah tanah yang dijanjikan untuk ras Yahudi yang akan menguasai dunia dan menundukkan umat manusia.
Islam sendiri sebagaimana maktub dalam kitab suci Al-Quran, tidak pernah menjanjikan Palestina sebagai tanah khusus bagi ras tertentu dan tidak menjanjikan dunia akan dikuasai ras tertentu.
Meski Quds merupakan isu penting umat Islam dan setiap Muslim berhak merespon tragedi penjajahan Palestina dengan spirit dan sentimen agama, namun isu ini bukan privelese umat Islam semata. Sebab, Quds dan Jerussalem (Baitul Maqdis) dihormati oleh tiga agama ibrahim, sehingga bersifat univesal dalam figura kemanusiaan dan keadilan.
Sayangnya, propaganda muslimisasi isu Palestina ditelan mentah-mentah sebagian Muslim begitu saja sehingga mengalienasi penganut agama non Islam yang akhirnya menjaga jarak dengan isu kemanusiaan ini. Intinya, isu Palestina bukan hanya isu penting bagi bangsa Palestina, bukan hanya isu utama bangsa-bangsa Arab, dan bukan hanya isu sakral bagi umat Islam, namun merupakan skandal dan tragedi penjajahan dan okupasi yang sengit memusuhi perikemanusiaan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.
Keempat, membius publik dunia dengan narasi dan frasa “konflik’ sebagai ganti “penindasan” dan “pendudukan”, juga narasi “pemberontakan” sebagai ganti “perlawanan” dan “perjuangan”.
Akibatnya, semua pihak yang pro resistensi vis-a-vis okupasi dengan pola intifadah dan konfrontasi militer dilukiskan sebagai teroris dan perusuh. Banyak yang mengaku moderat dan toleran malah jadi juru sebar narasi kontra Palestina.
Kelima, menggiring opini rakyat Palestina dan masyarakat dunia agar menyerah sejak dalam pikiran. Modusnya dengan mengampanyekan jargon perdamaian dan indoktrinasi bahwa opsi resistensi, termasuk konfrontasi militer, adalah sebentuk terorisme dan primitif seraya menggaungkan bahwa opsi kompromi dan diplomasi sebagai modern dan beradab.
Propaganda ini sempat membelah rakyat Palestina ke dalam dua kubu; pendukung opsi perundingan yang direpresentasi PLO (yang didominaai faksi Fatah dukungan AS dan rezim-rezim Arab sekutu AS seperti Saudi, Mesir, Jordan dan lainnya) melawan pendukung opsi perlawanan yang diwakili HAMAS dan beberapa faksi sosialis dan nasionalis Naseret yang hanya didukung Suriah lalu disokong Iran pasca tumbangnya Shah Reza Pahlevi dalam Revolusi Islam 1979 yang diletuskan Imam Khomeni dan membentuk blok resistensi meliputi Lebanon (Hezbollah), Suriah yang dipimpin Bashar Assad, Irak (melalui faksi-faksi militer anti AS), Yaman (Ansharallah pimpinan Abdul Karim Houthi) dan lain-lain.
Ringkasnya, analisis apapun terhadap isu Palestina semestinya tidak berada dalam seterotipe tak adil yang sengaja dihembuskan secara massif melalui media massa mainstream demi menggebyah opini publik internasional dan menabur pesimisme.
Karenanya, hanya ada satu opsi: itulah resistensi!
*) Cendekiawan Muslim