Search
Search
Close this search box.

Haedar Nashir, Ensiklopedi Berjalan Muhammadiyah

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan Jr (kiri) berbincang dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat berkunjung ke kantor PP Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Kunjungan tersebut untuk membahas sejumlah isu internasional. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Haedar Nashir dіlаhіrkаn dі Bаndung, 28 Fеbruаrі 1958. kеѕеhаrіаnnуа bеkеrја ѕеbаgаі dоѕеn dі Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mаntаn Sеkrеtаrіѕ PP Muhаmmаdіуаh реrіоdе 2000-2005 іnі mеnаmаtkаn реndіdіkаn dаѕаr dan menengah dі Bаndung.

Hіјrаh kе Yоgуаkаrtа untuk melanjutkan studi dan mеmреrоlеh gеlаr S1 dari STPMD/APMD Yоgуаkаrtа. Sedangkan gеlаr S2 dаn S3 dіреrоlеhnya dari Fіѕіроl UGM bіdаng sоѕіоlоgі. Dan dikukuhkan menjadi guru besar UMY. Gelar profesornya diperoleh dari UMY tahun 2019.

Ia meniti karier dari bawah hingga pucuk pimpinan. Namanya memang belum sepopuler Amien Rais, Syafi’i Maarif, dan Din Syamsuddin, namun soal kemuhamadiyahan dan keilmuan tak perlu diragukan lagi karena ia bukan orang baru.

Advertisements

Dia bergabung dengan Muhammadiyah sejak tahun 1983 dengan nomor anggota 545549. Pada tahun itu, ia dipercaya sebagai Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Lalu, pada tahun 1985-1990, kariernya meningkat. Haedar menduduki posisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah hingga menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah.

Selain aktif dalam organisasi Muhammadiyah, pria yang kerap disapa Haedar ini pun bekerja sebagai Dosen Program Doktor Politik Islam pada program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.

Alumnus S3 dari Universitas Gadjah Mada dengan status cum laude ini pun aktif menulis berbagai karya tulis ilmiah baik berupa buku maupun artikel yang dimuat di berbagai media massa. Bahkan, ia pun menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah Sinar Muhammadiyah.

Esai-esainya dapat dinikmati di rubrik “Bingkai” majalah Sinar Muhammadiyah. Selain itu, Haedar juga menulis buku bertajuk “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan” yang dinilai sangat referensial.

Selain itu, suami dari Noordjannah Djohantini, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP ‘Aisyiyah 2015-2020 ini, juga telah menjadi penulis tetap di rubrik “Refleksi” pada Harian Republika. Ia pun kerap menulis artikel di media lain dan mengisi kata pengantar untuk beberapa buku.

Mengenai pendidikan agama, sebetulnya sudah sejak kecil ia mendapatkannya. Haedar pernah bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung. Pendidikan selanjutnya ia lalui di sekolah umum seperti SMP Muhammadiyah III dan SMA Negeri 10, Bandung. Ia pernah juga menjadi santri di Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Lulus dari sekolah menengah, ia melanjutkan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) di Yogyakarta dengan memperoleh lulusan terbaik. Begitu juga dengan program pasca sarjananya. Ia berhasil lulus program S2 dan S3 di UGM dengan status cum laude.

Seiring intelektualitas dan keilmuannya yang makin mumpuni, karier Haedar di Muhammadiyah pun makin meroket. Dari organisasi Pemuda Muhammadiyah, ia diberi amanah menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah hingga salah satu ketua PP Muhammadiyah.

Puncaknya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Jumat pagi, 7 Agustus 2015, Haedar memperoleh suara terbanyak. Ia berhasil mengumpulkan 1.987 suara, kemudian disusul Yunahar Ilyas sebanyak 1.928, Abdul Mu’ti sebanyak 1.802 suara, Dahlan Rais sebanyak 1.827 suara, dan Busyro Muqoddas sebanyak 1.881 suara. Ia pun resmi menjadi Ketua Umum PP Muhammdiyah 2015-2020.

Ia mеnјаdі аnggоtа Muhаmmаdіуаh ѕејаk tаhun 1983 dеngаn nоmоr Baku Muhammadiyah 545549. Pеnulіѕ buku Muhаmmаdіуаh Gеrаkаn Pеmbаruаn (2010) ini реrnаh mеnјаdі Kеtuа PP Ikаtаn Pеlајаr Muhаmmаdіуаh реrіоdе 1983-1986 dаn Kеtuа Dерuti Kаdеr PP Pеmudа Muhаmmаdіуаh реrіоdе 1985-1990.

Dia lahir di Desa Ciheulang, daerah Ciparay, Bandung Selatan, sebuah desa yang dimasa DI/TII pimpinan Kartosuwiryo menjadi perebutan pengaruh antara DI/TII dan TNI. Lahir dari pasangan Haji Ajengan Bahrudin dan Hajah Endah binti Tahim. Haedar Nashir adalah anak ragil dari 12 bersaudara, wajar bila Haedar kecil menjadi anak yang disayang orang tuanya.

Berkaitan dengan didikan keislaman, ayahnya Haji Ajengan Bahrudin menerapkan disiplin yang ketat. Guyuran air akan menimpanya bila tidak segera bangun untuk salat Subuh. Begitu juga sambitan selendang haji akan melecutnya saat ia salah membaca Alquran. Pendidikan Islam yang pertama berasal dari ayahnya.

Selain itu, didikan Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat juga menjadi modal dalam memahami Islam di kemudian hari. Didikan agama dari sang ayah dan belajar di pesantren menjadikan Haedar akrab dengan dunia santri sejak kecil.

Cinta Studi dan Berorganisasi

Sejak kecil Haedar ingin bersekolah di Yogyakarta, tapi masih belum diperbolehkan oleh ayahnya. Ia menamatkan SD di Madrasah Ibtidaiyah Cigugur-Ciparay Kabupaten Bandung, SMP Muhammadiyah III Padasuka Bandung dan SMA Negeri X Kota Bandung Jurusan B (Ilmu Pasti dan Alam). Bakat organisasinya sudah terasah sejak di SMA.

Ia Ketua Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PC IPM) di Padasuka Bandung, ia menjadi ketua saat IPM baru dirintis di kecamatan tersebut. Sebagai ketua IPM itulah ia terbiasa mencari dana ke sana kemari untuk acara pengaderan dan lainnya. Dia selalu mengingat saat menjadi ketua IPM dan perjuangan mencari dana untuk menyelenggarakan kegiatan IPM.

Niat untuk belajar di Yogyakarta akhirnya kesampaian, Haedar muda diperbolehkan untuk kuliah di Jogja. Putaran nasib memang sudah ditentukan Allah SWT.

Ia Sejak awal kuliah bercita-cita ingin menjadi lurah atau camat. Makanya sesampai di Jogja ia mengambil Sarjana Muda (BA) di APMD Yogyakarta dan Strata 1 (S1) di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta.

Selama kuliah ia mendapat beasiswa Supersemar dan lulus sebagai sarjana terbaik. Rupanya dorongan menjadi wartawan dan penulis memupus cita-citanya menjadi lurah dan camat di kampung kelahirannya.

Minat Haedar muda pada studi sosial dan keagamaan yang mengantarkannya untuk studi sosiologi di Pascasarjana UGM (1998) dengan tesisnya berjudul Perilaku Elite Politik Muhammadiyah di Pekajangan dan studi sosiologi di Program Doktor di UGM (2007) dengan disertasinya Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.

Selain itu, Haedar menulis lebih dari 10 buku yang berisi pemikirannya tentang Muhammadiyah. Hajriyanto Y Tohati, mantan Wakil Ketua MPR RI menjuluki Haedar sebagai ensiklopedi berjalan Muhammadiyah.

Karir Haedar tidak jauh dari dunia penulisan. Mulai dari penulis di koran lokal dan nasional, peneliti pada LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, wartawan hingga Pemred Majalah Suara Muhammadiyah dan sejak tahun 2000 menulis rutin di Republika.

Sebagai pendidik, ia menjadi dosen di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga (1993-1998), dan Fisipol UMY sampai sekarang. Setelah menjadi doktor, Haedar juga mengajar pemikiran Islam dan politik Islam pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan sesekali menjadi pembimbing disertasi di Pascasarjana UGM.

Pilihan Gerakan

Tanah Jogja menjadikan Haedar kerasan menetap. Selepas dari IPM di Bandung, karier organisasinya di Jogja dimulai dari Pimpinan Wilayah IPM DIY. Sebagai aktivis organisasi, Haedar punya prinsip sendiri. Ia lebih suka menuangkan kritik terhadap keadaan dengan tulisan dan bukan demo di jalanan.

Semasa mahasiswa di tahun 80-an, Haedar sudah tertarik pada isu-isu pembangunan masyarakat desa. Tahun 1979-1985 ia masuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dhworowati Cultural Institute. Pengalaman di LSM inilah yang menjadikan pemikiran keislamannya di kemudian hari cenderung kritis pada masalah pembangunan dan kondisi masyarakat Islam.

Muhammadiyah adalah tempat berlabuhnya Haedar dan IPM adalah jejak awal karier organisasinya, mulai dari IPM Cabang sampai Pimpinan Pusat IPM.

Haedar dikenal sebagai tokoh pengaderan dan salah satu pencetus Sistem Pengaderan IPM (SP IPM): sistem pengaderan berjenjang di IPM yang dipakai sampai hari ini.

Ia juga salah satu anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Tidak heran pada tahun 1990-1995 dan 1995-2000 Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mempercayakan Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan AMM PP Muhammadiyah kepadanya.

Tahun 2000-2005 di beri amanah sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mendampingi Buya Syafii Maarif. Pada periode 2005-2010 dan 2010-2015 menjadi Ketua PP Muhammadiyah bersama Dien Syamsuddin. Di tangan Haedar inilah manajemen keorganisasian Muhammadiyah ditata dengan baik.

Di Muhammadiyah jugalah Haedar menemukan tambatan hatinya. Dalam kesibukannya mengurus organisasi, romantisme kehidupan tidak ditinggalkan. Sebagai Ketua I PP IPM ia tidak bisa ditipu oleh pesona Ketua III PP IPM bernama Noordjannah Djohantini (Noordjannah Djohantini).

Seringnya bertemu, berbagi ide baik dalam acara formal ataupun informal menjadikan keduanya saling tertarik. Pada 10 September 1987 Haedar menikahi Noorjanah yang berasal dari Moyudan, Sleman. Dari pernikahan ini lahir Hilma Nadhifa dan Nuha Aulia Rahma.

Haedar dan Noordjannah, walaupun sama-sama sibuk di Muhammadiyah, tetap menjadikan urusan pendidikan anak sebagai tugas penting orang tua dan saling pengertian antara orang tua dan anak.

Haedar selalu menekankan kepada anak-anaknya bahwa dalam hidup ini orang butuh kehormatan, tidak punya apa-apa tidak masalah, asal memiliki kehormatan diri. Pendidikan agama juga ditekankan kepada anak-anaknya dengan dialog antara orang tua dan anak, sehingga kesadaran anak berkaitan dengan urusan keagamaan didasarkan atas proses saling memahami.

Sejarah berulang dengan munculnya ketua Muhammadiyah dan Aisyiyah yang berstatus suami istri. Satu abad yang lalu sosok Kiai Dahlan dan Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan juga sama-sama memimpin Muhammadiyah. Kiai Dahlan menjadi ketua Muhammadiyah dan Nyai Ahmad Dahlan menjadi ketua Sopo Tresno yang akhirnya berubah menjadi Aisyiyah.

Pada abad kedua Muhammadiyah ini Ketua Muhammadiyah yang berstatus suami istri berulang. Haedar menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2015-2020 dan Noordjannah Djohantini menjadi Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2015-2020. Pasangan ini bisa memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah bukan dengan proses karbitan.

Noorjannah menjadi kader Muhammadiyah sejak di PP IPM, Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah dan Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2010-2015 dan dilanjutkan periode lima tahun yang akan datang.

Haedar ingin membawa Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Dahlan ini sebagai gerakan Islam modern yang memiliki pilar moderat, kultural, dan menawarkan Islam yang mencerahkan dan berkemajuan. (Sumber: schmu.id)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA