Oleh: Muhsin Labib*
Dia laksana malaikat berambut panjang. Bak lentera berpendar, kata tuturnya memecah gulita kehidupan tribal dan nir adab sekitarnya. Siapa pun, kerabat, sahabat dan masyarakat memperlakukannya sebagai teladan sempurna, tokoh pemersatu dan galeri etika serta logika. Ia menjadi asuransi keselamatan dan keamanan bagi siapa pun. Rumahnya menjadi gudang aneka barang berharga yang dititipkan kepadanya. Karena itu, “Al-Amin” disematkan pada dirinya semata.
Kota di tengah savana tandus itu adalah kumpulan dari aneka blok dan perkampungan dengan penguasa khusus. Mekkah adalah rimba kaktus berbau anyir perang antar suku. Perompakan, penyekapan dan duel kehormatan adalah aktivitas lumrah di sana.
Belakangan ini banyak pengusaha importir komoditas dari Persia, Bezantium, Ethiopia, Hindustan dan mancanegara mengeluhkan ulah para bromocorah. Barang-barang menjadi langka dan harga sembako melonjak akibat tingginya angka kejahatan dan konflik antar suku. Puncak kekacauan adalah bentrok berdarah dua koalisi klan-klan yang meletus pada bulan-bulan bebas perang. Inilah yang dikenang dengan nama Harbul Fujjar (Fijar).
Karena mengkhawatirkan jatuhnya wibawa Kota Mekkah dan lumpuhnya perekonomian, tumbuhlah kesadaran tentang pentingnya menjaga keamanan dan menjunjung tinggi keadilan. Al-Amin pun turut bergabung dalam aksi menumpas kelompok-kelompok teroris dan perompak.
Seusai penumpasan tersebut, dibentuklah sebuah persekutuan para pemuka di Mekah, termasuk pemuda itu, pada abad ke-7 sebelum masa kenabian. Fakta ini diadakan untuk menjaga ketertiban dan keadilan dalam perdagangan, yang menjadi urat nadi kehidupan penduduk. Fakta ini disebut Hilf al-fudul alias Persekutuan Elit Mekkah.
Guna menyelesaikan masalah tersebut, sebuah pertemuan diadakan di rumah Abdullah ibn Jada’an. Dalam pertemuan tersebut, beberapa kepala suku bersepakat untuk menghormati prinsip-prinsip keadilan, dan secara kolektif ikut serta dalam menegakkan keadilan dalam berbagai konflik dan sengketa.
Demi menghormati kesepakatan, sebuah upacara diselenggarakan. Para tokoh penandatangan berkumpul di serambi Ka’bah lalu menuangkan air ke Hajar Aswad. Kemudian setiap tokoh diberi kesempatan untuk menenggaknya sebagai tanda kesetiaan terhadap kesepakatan dan mengangkat tangan kanan demi menunjukkan ikrar bersama menegakkan kesepakatan ini. Isi perjanjian ditulis dan ditempatkan di dalam Ka’bah.
Sedemikian pentingnya menegakkan keadilan yang mendahului keyakinan agama, pemuda dengan gelar Al-Amin ini selalu mengenang indahnya perjanjian itu, seandainya peristiwa itu terulang dan mendapatkan undangan untuk menghadiri acara itu ia pasti memenuhinya.
Karena dikenal sebagai orang yang sangat bijak dan cerdas, remaja berusia 15 tahun itu pun diundang dalam pertemuan elit Mekkah dan berperan penting dalam pelaksanaan fakta Hilful Fudhul.
Pemuda itu menjadi buah bibir dan idola semua warga, laki dan perempuan, tua dan muda. Ia digadang-gadang sebagai pemimpin masa depan Mekkah dan pemegang otoritas Ka’bah. Singkatnya, Mekkah saat itu menjadi sorga harapan bangkitnya peradaban baru di tangan seorang pemuda jenius. Seiring dengan itu, popularitasnya secara mendadak menggeser nama besar para pesohor dan konglomerat Quraisy.
Ternyata pemuda itu tak hanya memperkenalkan gaya hidup dan perilaku mulia dalam interaksi sosial semata, tapi diam-diam mulai memperkenalkan paradigma baru. Beberapa pemuda terpengaruh dan mulai aktif mengadakan pertemuan tertutup di beberapa tempat.
Pandangan-pandangan “uniknya” mulai bocor dan memancing keresahan serta kekhawatiran tentang rencana terselubung kudeta senyap yang mengancam status quo. Para penguasa formal Mekkah dan pemegang otoritas agama leluhur, penguasa Ka’bah pun berembuk.
Para pemuka Mekkah dan pengusaha besar berkumpul dan menyepakati rencana untuk mengantisipasi langkah-langkahnya karena makin membahayakan kedudukan serta privilege mereka sebagai pemuka dan penguasa wilayah.
Mereka melakukan rapat dan menyusun dua rencana A dan B. Rencana A adalah pendekatan persuasif dengan merayu sang pemuda dan menawarkan sejumlah fasilitas serta hak istimewa sebagai pemuka Mekkah (dilibatkan dalam permusyawaratan-permusyawaratan untuk mengelola kawasan) sebagai ganti dan imbalan kesediaannya menghentikan aktifitas intelektualnya menyebarkan pandangan-pandangan menghentikan aktifitas-aktifitas sosialnya. Sedangkan rencana B adalah menumpasnya.
Pemuda ini mengabaikan semua tawaran menggiurkan itu. Kepada pamannya, “Paman, andai kudiberi matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku, aku takkan menghentikan misiku menyadarkan masyarakat dari kegelapan jahiliah dan menegakkan kebenaran serta keadilan”.
Siapakah dia? Dialah Abu Thalib, pamannya dan ayah kader utamanya, Ali bin Abi Thalib.
Abu Thalib memiliki nama asli Abdul Manaf. Dia merawat Nabi Muhammad saat berusia 8 tahun. Sebelumnya, Muhammad kecil dirawat oleh sang kakek, Abdul Muthalib, ayah Abu Thalib.
Meski bukan anak kandung, Abu Thalib dan istrinya, Fatimah binti Asad sangat menyayangi Muhammad. Bahkan sejak kecil, Muhammad selalu tidur di samping Abu Thalib. Ke mana pun Abu Thalib pergi, Muhammad selalu ikut dan diajak.
“Sewaktu Muhammad masih kecil, setiap malam dia tidur di sebelahku. Ke mana saja aku pergi, dia pasti ikut denganku. Meski sekarang ia sudah remaja, kasih sayangku kepadanya tetap seperti dulu, tidak berubah,” kata Abu Thalib kepada sang istri.
Fatimah mengiyakan perkataan sang suami. Dia mengakui Nabi Muhammad lelaki berakhlak mulia. Muhammad tidak pernah berbohong, tidak berjudi, tidak minum arak dan tidak pernah menyembah berhala.
Konon, sebagaimana dikisahkan oleh sebagian sejarawan bahwa jauh sebelum kenabian, Abu Thalib sudah mendapat bocoran bahwa keponakannya, Muhammad, adalah Rasul akhir zaman. Ini terjadi ketika Abu Thalib mengajak Muhammad dalam ekspedisi dagang ke Syam bersama kafilah Quraisy. Kala itu, Muhammad masih berumur 12 tahun.
Kafilah tersebut bertemu dengan Buhaira. Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 Sebelum Masehi (SM).
Kala itu Buhaira melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad. “Apa hubunganmu dengan anak kecil itu?” tanya pendeta ini kepada Abu Thalib.
Abu Thalib menjawab bahwa Muhammad adalah anaknya. Buhaira membantahnya, “Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup.”
Abu Thalib menjawab, “Ia keponakanku (anak saudaraku). Ayahnya telah meninggal ketika ibunya masih mengandung.”
“Bawalah segera pulang anak itu, dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihatnya dan mengetahui anak itu seperti yang aku ketahui, maka mereka akan menyakitinya. Putra saudaramu ini akan mengemban tugas yang sangat agung,” ujar Buhaira kepada Abu Thalib.
Abu Thalib lalu membawa pulang Muhammad kembali ke Mekkah, demikian diceritakan Ibnu Hisyam dalam kitab al-Sirah al-Nabawiyyah.
Abu Thalib adalah tokoh terpandang, dicintai, dihormati dan disegani oleh penduduk Mekkah. Beliau dihormati bukan semata-mata karena kedudukannya, tetapi lebih-lebih karena budi pekertinya yang luhur, jiwanya yang besar, kepribadiannya yang tinggi dan tindakannya yang senantiasa adil.
Pada fase awal kenabian, Abu Thalib gigih membela Rasulullah. Dengan kekuatan sendiri Abu Talib memikul beban melawan sistem dan status quo di Mekkah demi membela Nabi Muhammad SAW dari tantangan-tantangan dan perlawanan orang-orang kafir Quraisy. Satu beban yang tak pernah dipikul oleh paman-paman serta keluarga atau kerabat Nabi Muhammad yang lain.
Suatu kali, Abu Thalib melihat puteranya Ali secara diam-diam bersembahyang di belakang Rasulullah. Diamatinya putera yang masih muda belia itu telah menjadi pengikut Nabi Muhammad.
Begitu melihat ayahnya Ali segera menghadap kepadanya, kemudian berkata: “Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mempercayai dan membenarkan agama yang dibawa olehnya dan aku bertekad hendak mengikuti jejaknya!”
Mendengar pernyataan puteranya yang terus terang tanpa dibikin-bikin, Abu Thalib berkata: “Sudah pasti ia mengajakmu ke arah kebajikan, oleh karena itu tetaplah engkau bersama dia!”
Di lain waktu Abu Thalib melihat puteranya sedang berdiri di sebelah kanan Nabi Muhammad SAW yang siap menunaikan sembahyang. Dari kejauhan Abu Thalib melihat puteranya yang seorang lagi yaitu Ja’far. Ja’far segera dipanggil, kemudian diperintahkan: “Bergabunglah engkau menjadi sayap putera pamanmu di sebelah kiri, dan bersembahyanglah bersama dia!”
Ia tidak bersitegang leher mempertahankan kebekuan zaman dan tidak menghalangi hadirnya masa mendatang yang lebih cemerlang. Kebijaksanaan yang tinggi itu tercermin benar dari wasiat yang diucapkannya pada detik-detik menjelang ajalnya, ditujukan kepada orang-orang Quraisy:
“…Wahai orang-orang Quraisy. Kuwasiatkan agar kalian senantiasa mengagungkan rumah itu (Ka’bah). Sebab di sanalah tempat keridhoan Tuhan dan sekaligus juga merupakan tiang penghidupan… Eratkanlah hubungan silaturahmi, janganlah sekali-kali kalian putuskan. Jauhilah perbuatan zalim… Betapa banyaknya sudah generasi-generasi terdahulu hancur binasa karena zalim!
Wahai orang-orang Quraisy. Sambutlah dengan baik orang yang mengajak ke jalan yang benar, dan berikanlah pertolongan kepada setiap orang yang membutuhkan… Sebab dua perbuatan terpuji itu merupakan kemuliaan bagi seseorang, selagi ia masih hidup dan sesudah mati.
Hendaknya kalian selalu berkata benar dan setia menunaikan amanat!
Kuwasiatkan kepada kalian supaya berlaku baik terhadap Muhammad. Sebab ia orang yang paling terpercaya di kalangan Quraisy dan tidak pernah berdusta!
Apa yang kuwasiatkan kepada kalian, semuanya telah terhimpun padanya. Kepada kita ia datang membawa misi yang sebenarnya dapat diterima oleh hati-sanubari, tetapi diingkari dengan ujung lidah, hanya karena takut akan tidak disukai orang lain.
Demi Allah, aku seakan-akan dapat melihat bahwa orang-orang Arab lapisan bawah, orang-orang yang hidup terlunta-lunta, dan orang-orang yang lemah tidak berdaya, sudah siap menyambut baik seruannya, membenarkan tutur-katanya, dan menjunjung tinggi misi yang dibawanya. Bersama mereka itulah Muhammad mengarungi ancaman gelombang maut!
Namun aku juga seolah-olah sudah melihat, bahwa orang-orang Arab akan dengan tulus hati mengikhlaskan kecintaan mereka dan mempercayakan kepemimpinan kepadanya.
Demi Allah, barang siapa yang mengikuti jejak langkahnya, ia pasti akan menemukan jalan yang benar. Dan barang siapa yang mengikuti petunjuk serta bimbingannya, ia pasti selamat!
Seandainya aku masih mempunyai sisa umur, semua rongrongan yang mengganggu dia, pasti akan kuhentikan dan kucegah, dan ia pasti akan kuhindarkan dari tiap marabahaya yang akan menimpanya.”
Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad, tetapi juga mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktik kehidupan Nabi Muhammad SAW sehari-hari.
Sungguh aneh dan mengundang kecurigaan dan tendensi politik yang keji bila menganggap semua jasa dan pengorbanan Abu Thalib tidak mengonfirmasi keimananya. Sementara kita seolah dipaksa memastikan keimanan tokoh utama di balik embargo Abu Thalib dan keluarga karena kebencian terhadap Nabi Muhammad, keponakannya dan merupakan otak semua aksi agresi terhadap misi beliau sepanjang hidupnya hingga saat Kota Mekkah ditaklukkan dan mengaku menganut Islam karena kalah, bukan karena kesadaran.
Inilah narasi kezaliman historis yang irrasional tentang kekafiran tokoh penting di balik kesuksesan revolusi paripurna Muhammad SAW.
“Dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan ‘(kepada orang Muhajirin)’, mereka itulah orang yang benar-benar beriman.” (QS. Al-Anfal: 74)
Catatan: Kata “muhajirin” bukanlah bagian dari teks ayat di atas tapi sisipan opini yang mungkin merepresentasi “fatwa” tersebut.
Abu Thalib lahir tiga puluh lima tahun sebelum Nabi, dan menikah dengan Fatimah binti Asad, yang melahirkannya: Thalib, Aqeel, Jaafar, Ali, Umm Hani, Jumana, Rita, dan Asma. Sebuah ekspedisi bangkit untuk mendukungnya dan mengusir musuh-musuhnya hingga wafat. Meninggal.
Info tentang tanggal kewafatannya beragam, 27 Jum’at Awal, atau 29 Rajab, atau 18, atau 15 Syawal, atau 17, atau 1 Dzulhijjah. Namun yang populer adalah 7 Ramadan.
Tahun wafatnya diberi nama Tahun Duka oleh Nabi sebagai ekspresi cinta dan penghormatan serta penegasan atas jasa besarnya dalam misi suci. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)