Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Iran, sebentang negara besar nan kaya raya hasil bumi. Di perut buminya tersimpan minyak, gas, emas, dan harta karun lainnya. Sejarah peradabannya pun gemilang dan begitu mentereng. Tapi demi kemandirian dan kemanusiaan, sekaligus resistensinya vis-a-vis Zionisme, Neokolonialisme, Imperialisme, dan Kapitalisme, Iran merelakan dirinya terkucil dan dikepung kesulitan ekonomi yang sangat pelik.
Modus agresif eks presiden rezim arogan AS Donald Trump terhadap Republik Islam Iran yang menerjang semua etika dalam pergaulan antar bangsa, sebenarnya ditujukan untuk mencipta kekacauan politik sebagai akibat jatuhnya mata uang Iran, langkanya kebutuhan pokok masyarakat, berakhirnya investasi, dan berhentinya ekspor-impor.
Rezim palsu zionis “Israel” dan monarki Saudi sebagai dua rezim biadab, menjadi yang paling berperan dalam mendorong AS menerapkan embargo global terhadap Iran.
Paham betul bahwa Iran amat konsisten berdiri di atas prinsip penentangan terhadap eksistensinya dan aktif mendukung aksi perlawanan bersenjata rakyat Palestina agar merdeka, rezim palsu zionis “Israel” mengenyampingkan ketegangan teatrikalnya dengan rezim monarkis Saudi demi bersekutu dalam melukiskan prinsip resistensi yang diusung Iran, bukan hanya sebagai ancaman eksistensial bagi kedua rezim kolonial itu, tapi juga sebagai ancaman global. Kedua rezim ilegal dan kolonial itu pun menjalin hubungan diam-diam hingga terbuka sebagai front bersama menghadapi Iran.
Sejak terbentuk berkat Revolusi Islam pada tahun 1979 hingga detik ini, Iran sebagai republik Islam dipaksa menerima semua risiko berat itu. Bukan hanya demi mempertahankan kehormatannya, tapi juga demi merawat eksistensi bangsa dan negara serta sistem pemerintahannya yang memiliki pakem berupa perlawanan terhadap hegemoni imperialisme.
Makmur dan sejahtera bukanlah cita-cita utama bangsa Iran. Khususnya sejak Iran menjunjung tinggi prinsip kemandirian dan perlawanan terhadap Zionisme, Imperialisme, dan Kapitalisme.
Sebaliknya, rezim antik monarki Saudi dan rezim-rezim boneka lain yang diremote rezim arogan AS serta korporasi-korporasi kapitalis dunia, justru menjadikan kesejahteraan, glamorisme, dan modernisme artifisial (lahiriah) sebagai cita-cita dan tujuan utama.
Prinsip resistensi pada faktanya mampu secara kreatif mengubah tekanan menjadi leit motiv untuk melipatgandakan semangat membangun kekuatan dan inovasi di berbagai bidang keilmuan dan teknologi, terutama yang terkait dengan persenjataan militer, alat-alat medis dan pengobatan, infrastruktur, energi yang terbarukan, dan lain-lain.
Meski bukan Arab, Iran menjadi negara paling berjasa bagi bangsa Arab seperti Palestina, Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Dus, kendati bukan Syiah, Hamas dan faksi-faksi bersenjata Palestina terus mendapat dukungan penuh Iran, baik secara finansial, militer, dan teknologi.
Kesejahteraan dan kemewahan di satu sisi dan kemandirian serta komitmen melawan kezaliman di sisi lain merupakan dua opsi ideologis, sebagai produk dua pandangan dunia berbeda, materialisme vs idealisme, berikut konsekuensinya masing-masing.
Kendati berupa Republik Islam, Iran justru tampil sebagai negara yang benar-benar demokratis dalam arti sepenuhnya. Teorisasi ala sarjana Barat yang sangat bias dan selalu diposisikan vis-a-vis, yaitu teokrasi dan demokrasi, bukan hanya tidak berlaku di Iran, melainkan bahkan terkombinasi dalam bentuk yang sangat apik dan perfek. Presiden Iran bukanlah pemimpin tertinggi negara. Peran itu dipegang Pemimpin Agung (Rahbar) yang dipilih rakyat melalui wakil pilihan mereka pula di “parlemen ulama” yang dikenal dengan Majles e Khobregan (Dewan Ahli). Seluruh anggota dewan tersebut terdiri dari para faqih level atas atau mujtahid utusan provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat setiap lima tahun. Majelis Ahli beranggotakan 88 ulama yang bertanggung jawab menunjuk Pemimpin Agung dan mengawasi kinerjanya—jika dianggap tak mampu melaksanakan tugas, mereka berwenang mencopotnya.
Seandainya Pemimpin Agung meninggal dunia atau tidak mampu menjalankan tugasnya, majelis akan mengadakan pemungutan suara untuk memilih penerusnya berdasarkan suara mayoritas.
Pemilihan langsung untuk anggota majelis (semacam DPR) diadakan setiap delapan tahun. Pemilihan terakhir, pada 2016, banyak dimenangkan kaum yang disebut Barat sebagai moderat dan reformis. Mereka mengisi hampir 60 persen kursi di majelis, setelah hanya mengisi kurang dari 25 persen pada periode sebelumnya.
Sementara presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Berdasarkan aturan dan mekanisme yang berlaku, seorang presiden hanya boleh menjabat selama dua periode berturut-turut.
Sesuai konstitusi Iran, jabatan presiden menempati posisi tertinggi kedua. Ia mengepalai cabang eksekutif di republik tersebut dan bertanggung jawab atas pelaksanaan konstitusi.
Presiden memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kebijakan domestik dan urusan luar negeri. Namun demikian, keputusan akhir mengenai seluruh urusan negara berada di tangan Pemimpin Agung.
Sistem pemerintahan Iran bukan presidensial, bukan pula parlementer. Parlemen berwenang membuat undang-undang dan menolak anggaran tahunan, serta mengangkat dan memakzulkan menteri. Namun, semua undang-undang yang diloloskan parlemen harus disetujui Dewan Garda.
Anggota kabinet, atau Dewan Menteri, dipilih oleh presiden. Mereka harus disetujui pula oleh parlemen. Jika tidak disetujui parlemen dengan mekanisme yang berlaku, maka kabinet harus dirombak dan diajukan kembali ke parlemen.
Kabinet dikepalai oleh presiden atau wakil presiden pertama, yang bertanggung jawab atas urusan kabinet.
Dewan Garda sendiri beranggotakan enam ahli teologi yang ditunjuk oleh Pemimpin Agung dan enam ahli hukum yang dicalonkan oleh dewan hakim dan disetujui parlemen. Anggota Dewan dipilih untuk masa jabatan enam tahun tetapi tidak sekaligus, jadi setengah anggota Dewan berganti setiap tiga tahun.
Bila terjadi kebuntuan antara parlemen yang merepresentasi aspirasi rakyat dan pandangan hukum agama primer yang diwakili oleh Dewan Garda, maka harus diselesaikan oleh Dewan Kemaslahatan yang akan memberikan solusi berdasarkan hukum sekunder sebagai pandangan final Pemimpin Agung sesuai amanat konstitusi.
Pemimpin Agung menunjuk 45 anggotanya, yang terdiri dari tokoh-tokoh agama, politik, dan sosial. Kepalanya saat ini adalah Ayatullah Sadeq Amoli Larijani, mantan ketua Lembaga Yudikatif (setingkat Ketua Mahkamah Agung) yang digantikan oleh Ibrahim Raisi (yang kemudian mencalonkan diri dan terpilih sebagai presiden baru Sabtu kemarin).
Setelah dipimpin oleh presiden moderat, Rouhani, yang bisa dianggap gagal menjinakkan AS dan Barat dengan diplomasi moderatnya dalam perundingan nuklir, akhirnya bangsa Iran menunjukkan kekesalannya kepada kaum moderat dengan memilih seorang ulama sekaligus murid Pemimpin Agung sebagai presiden yang tak akan memainkan politik basa basi terhadap AS yang ternyata munafik, culas, dan pembohong sejati sebagaimana kerap ditegaskan oleh Pemimpin Agung.
Dengan terpilihnya Ibrahim Raisi, sosok yang menggabungkan intelektualisme juga keulamaan dan spirit revolusioner, Iran dengan Suriah dan kekuatan-kekuatan resistensinya (Hezbollah, Ansharallah, Hamas, Jihad Islam, Hashd Shabi, dan lainnya) dipastikan akan lebih tegas dari sebelumnya terhadap AS, Barat, rezim palsu zionis “Israel”, dan rezim-rezim Arab di Teluk yang bersekongkol dengan “Israel” secara vulgar maupun diam-diam.
Partisipasi publik yang sangat besar dalam Pilpres yang dimenangkan oleh Raisi mengecewakan rezim arogan AS dan konco-konconya. Propaganda masif yang dilancarkan untuk memboikot sekaligus menggagalkan kontestasi politik ini telah gagal total. Rakyat Iran untuk kesekian kalinya menjungkirbalikkan prediksi para analis Barat dan meneguhkan komitmennya kepada hasil referendum, sesaat setelah tumbangnya monarki ribuan tahun Pahlevi; dus membuktikan bahwa Wali Faqih, Imam Ali Khamenei tetap menjadi pemimpin dan benteng konstitusional rakyat Iran yang luar biasa kuat.
Viva Resistensia! (*Cendekiawan Muslim)
Keterangan: Artikel ini ditulis pada 9 Juni 2021. Kami terbitkan kembali untuk mengenang kesyahidan Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi.