Beritaalternatif.com – Rusia merupakan negara yang berada di Eropa Timur yang memiliki budaya tersendiri dan berbeda dibandingkan negara-negara di Benua Biru pada umumnya. Salah satunya, mereka menggunakan bahasa Rusia, yang terambil dari bahasa Yunani Kuno.
Pengamat Rusia, Albert Muhammad I.N. mengungkapkan, secara umum masyarakat Rusia menganut agama Kristen Ortodoks.
Selain bahasa, Kristen Ortodoks di Rusia juga berasal dari Yunani Kuno. Agama ini pun dianut oleh sebagian besar masyarakat di Eropa Timur, yang umumnya serumpun dengan Rusia dari segi bahasa dan budaya.
Kata dia, Kristen Ortodoks memiliki sejumlah kemiripan dengan Islam, di antaranya puasa, ibadah, serta penganutnya dilarang memakan babi dan meminum alkohol.
Di masyarakat Indonesia secara umum, sebut Albert, paham komunis diidentikkan dengan ateisme. Padahal, komunisme adalah paham ekonomi yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan.
“Banyak masyarakat kita beranggapan komunis itu seperti tahun 1965: tidak punya agama. Tidak. Di Indonesia juga kalau kita belajar sejarah bahwa tokoh-tokoh komunis Indonesia kan seorang agamis juga. Banyak kiai di Solo misalkan (berpaham komunis),” jelas Albert sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dalam video yang disiarkan di kanal YouTube Dina Sulaeman, Senin (23/5/2022) pagi.
Ia menyebutkan bahwa penduduk terbesar yang beragama Islam di Eropa berada di Rusia. Hal ini dipengaruhi jumlah penduduk Rusia yang paling banyak dibandingkan negara-negara di Eropa, serta wilayah negara tersebut yang sangat luas, yang luasnya 7 kali lebih luas dibandingkan wilayah Indonesia.
Jumlah penduduk beragama Islam di Rusia menempati urutan kedua setelah penganut Kristen Ortodoks. Penganut agama Islam saat ini mencapai 25% dari total penduduk Rusia.
Berdasarkan penelitian ilmuwan Rusia, pada tahun 2050 jumlah Muslim di Rusia akan setara dengan penganut Ortodoks. “Bisa jadi. Tapi paling tidak menyamai. Misalnya 50% berbanding 60% atau 40% berbanding 60%,” ujarnya.
Rusia berbentuk federasi. Jika di Amerika Serikat terdapat negara-negara bagian, sementara di Rusia terdapat provinsi atau disebut oblast dan republik.
Republik adalah bagian dari Rusia yang memiliki agama dan suku yang berbeda dengan suku Slavia. Mereka berbentuk negara tersendiri, namun berada dalam federasi Rusia.
“Kemudian ada negara otonom. Daerah otonom misalkan daerah Yahudi. Mereka diberikan satu wilayah tersendiri,” sebutnya.
Hukum dan perundang-undangan oblast Yahudi berinduk dari pusat, yakni Kremlin. Di oblast tidak terdapat peraturan dalam negeri.
Sementara republik, yang juga bagian dari Rusia, seperti Chencha, mereka bisa bekerja sama dengan negara lain selain di bidang politik dan pertahanan. Misalnya, Chencha bisa bekerja sama dengan Arab untuk pembangunan masjid dan pertukaran mahasiswa.
Ada pula daerah otonom. Perbedaannya dengan oblast, mereka memiliki peraturan dalam negeri tersendiri. Daerah-daerah otonom juga mempunyai agama dan bahasa sendiri.
Komunisme Rusia
Uni Soviet lahir setelah Revolusi Bolshevik pada 1917. Sebelum Soviet lahir, negara tersebut berbentuk kekaisaran, yang berjalan selama 1.100 tahun.
Saat Revolusi Bolshevik, marxisme berkembang di Eropa Barat seperti Prancis dan Jerman. Saat itu, kaum bangsawan di Rusia masih berkuasa.
“Kalau teman-teman ke Rusia, nanti bisa lihat banyak banget bekas istananya. Bisa bangun istana semegah itu, berarti kan sangat panjang sekali masyarakat membangunnya,” ungkap Albert.
Kemudian, Vladimir Ilyich Ulyanov atau Lenin mencetuskan Revolusi Bolshevik untuk menjatuhkan kekaisaran di negara tersebut. Inilah awal mula kelahiran Uni Soviet.
Lenin pun menyempurnakan teori marxis, yang diadopsi sebagai dasar ekonomi Uni Soviet. Artinya, komunisme merupakan paham ekonomi yang digunakan untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan-kebijakan ekonomi.
Albert mencontohkan di era Soviet. Warga yang memiliki tanah 10 hektare diminta untuk mengelola tanah sesuai kebutuhan keluarganya. Jika kebutuhan keluarganya bisa dipenuhi dengan hanya pengelolaan 3 hektar lahan, maka negara akan mengambil hasil penggarapan 7 hektar tanah tersebut.
Namun, ia tetap mengelola dan menggarap 10 hektare tanah. Hasil dari pengelolaan lahan 7 hektar itu dibagikan kepada warga yang tidak memiliki lahan.
“Jadi, di masyarakat komunis itu masyarakat dipastikan punya penghidupan, punya penghasilan, dan tempat tinggal,” jelasnya.
Paham komunis di Soviet ini berkembang dari Lenin, Joseph Stalin, hingga Nikita Khrushchev, yang mengambil kebijakan bahwa setiap warga harus mempunyai tempat tinggal minimal 18 meter.
“Makanya dibuat apartemen untuk satu orang itu 18 meter. Minimal itu. Kira-kira orang itu bisa hidup dalam satu ruangan itu berapa sih. Oh, 18 meter. Kalau di kita mungkin seperti studio. Cukup ada tempat tidur, toilet, dapur. Sudah. Kalau keluarganya tiga, tinggal dikali 18×3 meter. Itu semua dijatah oleh pemerintah. Komunis itu seperti itu,” jelas Albert.
Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial
Di sejumlah media diberitakan bahwa Muslim di Rusia sebagai kelompok tertindas. Albert pun mempertanyakan hal ini. Menurutnya, tidak mungkin terjadi penindasan terhadap Muslim di negara tersebut. Pasalnya, penduduk Islam terus bertambah dari tahun ke tahun, yang kini jumlahnya mencapai 25% dari total penduduk Rusia.
Dia mencontohkan Khabib Nurmagomedov, yang berasal dari Dagestan, Rusia. Di negaranya, nyaris 100% penduduknya beragama Islam. Sementara itu, di Republik Bashkortostan, penduduk Muslim berjumlah 4 juta jiwa.
Sejak Uni Soviet yang berpaham komunis itu berkuasa selama 70 tahun, Muslim diberikan keleluasaan untuk menjalankan agama mereka.
“Hanya saja tidak boleh kayak kita itu azan keras-keras pakai toa. Jadi, masih boleh beribadah,” ungkapnya.
Di era Rusia modern, pemerintah mengadopsi sejumlah kebijakan era Soviet. Albert mengungkapkan, pendidikan dan kesehatan digratiskan oleh pemerintah. Warga tidak membayar jaminan kesehatan seperti di Indonesia.
“Mau periksa di dokter mana pun gratis. Asalkan pemerintah. Kalau orang yang punya duit mau yang lebih bagus ke swasta, ya bayar. Tapi kalau ke Puskesmas, rumah sakit pemerintah, semua gratis,” bebernya.
Begitu juga dengan pendidikan. Hanya saja, bila seseorang menempuh pendidikan di sekolah swasta, dia harus membayarnya. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh warga negara Rusia, termasuk penganut agama Islam.
Selain itu, ada pula tunjangan untuk anak. Pemerintah mendorong agar setiap orang mempunyai anak. Namun, pada umumnya masyarakat Rusia bersikap realistis. Mereka akan mempertimbangkan untuk memiliki anak bila mampu menyekolahkannya serta memberikannya makan dan pakaian.
“Di sana rata-rata anak satu sudah cukup. Ada yang mau lebih, didorong. Mau punya anak dua atau tiga, pemerintah akan memberikan insentif. Itu kalau belum diberikan rumah bisa dibelikan rumah ataupun apartemen,” terangnya.
Albert menyebutkan bahwa cuti kehamilan di Rusia mencapai 3 tahun. Perempuan yang bekerja mendapatkan gaji pokok. Sementara bagi perempuan hamil yang tidak bekerja, pemerintah akan memberikan subsidi 1,5 tahun sesuai standar hidup di masing-masing kota yang menjadi tempat tinggalnya.
Kemudian, 1,5 tahun berikutnya, pemerintah masih memberikan subsidi. Namun, besaran subsidinya tidak sebanyak 1,5 tahun pertama. Sedangkan perempuan yang bekerja masih mendapatkan gaji dari tempatnya bekerja.
“Kebijakan seperti ini tidak ada di negara-negara Eropa lain. Saya sudah cek itu. Ini berlaku di pegawai negeri dan swasta. Setelah cuti, dia bisa tetap dapat pekerjaan. Bosnya harus tetap memberikannya pekerjaan. Kalau enggak, dia kena penalti atau hukuman dari pemerintah,” katanya.
Pemerintah juga menyiapkan tempat penitipan gratis untuk anak. Kemudian, saat anak berusia 2 tahun, orang tuanya akan mendapatkan telepon dari kantor pemerintah untuk menanyakan seputar kelangsungan pendidikan anak usia dini.
“Mau daftar TK, gratis. Kecuali memang orang-orang yang mau sekolah internasional, itu sudah beda. Tapi kalau sekolah negeri, semua diberikan pemerintah,” jelasnya. (*)