BERITAALTERNATIF.COM – Republik Persatuan Myanmar (juga dikenal sebagai Birma, disebut “Burma” di dunia Barat) adalah sebuah negara berdaulat di Asia Tenggara. Myanmar berbatasan dengan India dan Bangladesh di sebelah barat, Thailand dan Laos di sebelah timur dan Tiongkok di sebelah utara dan timur laut.
Negara seluas 676.578 km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Negara ini adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 51 juta jiwa (sensus 2014).
Ibu kota negara ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada 7 November 2005.
Myanmar telah bergabung sebagai anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sejak tahun 1997.
Peradaban awal di Myanmar termasuk penduduk berbahasa Tibeto-Burma di Burma Utara dan Kerajaan Mon di Burma Selatan. Pada abad ke-9, orang Bamar memasuki lembah atas Sungai Irrawaddy, diikuti dengan didirikannya Kerajaan Pagan tahun 1050-an.
Sejak saat itu, bahasa Burma, termasuk budaya dan Buddha Theravada perlahan-lahan menjadi dominan di negara ini. Kerajaan Pagan jatuh akibat invasi Mongol.
Pada abad ke-16, setelah disatukan oleh Dinasti Taungoo, negara ini sesaat pernah menjadi kekaisaran terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Pada abad ke-19, Dinasti Konbaung menguasai daerah yang di dalamnya termasuk wilayah Myanmar modern saat ini dan sesaat menguasai Manipur dan Assam.
Inggris menguasai Myanmar setelah 3 Perang Anglo-Burma pada abad ke-19 dan negara ini kemudian menjadi koloni Inggris. Myanmar mendapatkan kemerdekaan tahun 1948, awalnya sebagai negara demokrasi, tetapi setelah kudeta tahun 1962, negara ini dikuasai militer.
Setelah mereka, negara ini banyak mengalami kekerasan etnis. Selama periode ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak organisasi lainnya melaporkan terus terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara konsisten dan sistematis.
Pada tahun 2011, junta militer dibubarkan setelah pada tahun 2010 diadakan pemilihan umum, dan pemerintahan sipil dimulai. Hal ini, bersamaan dengan dilepasnya Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya, telah memperbaiki catatan hak asasi manusia dan hubungan luar negeri negara ini, memungkinkannya terbebas dari sanksi ekonomi.
Namun, negara ini belum terbebas dari kritik akibat perlakuan pemerintah terhadap etnis minoritas. Pada pemilihan umum 2015, partai Aung San Suu Kyi menang mayoritas di parlemen. Namun, militer Myanmar tetap menjadi kekuatan utama di politik.
Myanmar adalah negara yang kaya dengan giok, batu permata, minyak bumi, gas alam, dan mineral lain.
Ketimpangan pendapatan di Myanmar adalah salah satu yang terlebar di dunia, karena sebagian besar ekonomi dikuasai oleh sebagian orang yang disokong militer.
Hingga 2016, Myanmar menempati posisi 145 dari 188 negara di dunia menurut (Indeks Pembangunan Manusia).
Prasejarah hingga Masa Kemerdekaan
Zaman prasejarah Myanmar atau Burma tidaklah berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Alat-alat khas Asia Tenggara yang muncul pertama kali pada kala pleistosen tengah, alatnya berupa lempengan batu yang diasah pada satu sisi yang sering disebut kapak, buktinya pernah ditemukan di dataran tinggi Burma yang dikaitkan dengan periode zaman batu.
Dilihat dari temuan di wilayah Burma, sejak zaman prasejarah telah dihuni manusia, jika dilihat dari wilayah lainya seperti Jawa yang menghasilkan alat yang seperti itu adalah Homo Wajakensis sehingga di Burma juga hidup spesies yang sama seperti di Jawa, maka kehidupan prasejarah di Burma tidaklah berbeda dengan di wilayah Asia Tenggara lainnya.
Sistem “Primus Interpares” sangatlah kuat dan kehidupan bercocok tanam (Neolitikum) berkembang pesat di kawasan sepanjang lembah Sungai Irawady dan sungai-sungai lainnya.
Sekitar abad I sampai II Masehi dimulailah perdagangan laut antara India dan Tiongkok. Perdagangan lewat laut ini membutuhkan suatu tempat berlabuh karena keterbatasan alat navigasi dan untuk mencari bahan logistik awak kapal sekaligus melakukan kontak dagang dengan masyarakat di tempat berlabuh.
Dilihat dari letak geografis Myanmar yang terletak di jalur pelayaran tersebut membuat terjadinya kontak antara masyarakat Myanmar dengan para pedagang, terutama yang berasal dari India. Kontak dengan pedagang India ini membuat terjadinya kontak budaya. Kontak ini terutama terjadi di wilayah pantai Myanmar.
Para pedagang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil dan menyebabkan masuknya peradaban India di Myanmar sekaligus membuat bangsa Myanmar memasuki zaman sejarah karena mulai dikenalnya tulisan yang mereka pelajari dari bahasa India termasuk mulai berkembangnya ajaran agama Budha di Myanmar.
Myanmar merupakan bekas jajahan Inggris di mana Inggris merupakan negara yang mengawali hadirnya demokrasi. Namun substansi demokrasi tidak bertumbuh dengan semestinya di negara bekas jajahannya.
Demokrasi terjadi pada abad ke-18 dan 19 yang dianggap sebagai masa kebangkitan demokrasi, demokrasi berawal dari kerajaan Inggris dengan pergerakan sosialnya berlangsung cepat, karena Inggris sebagai negara yang maju dari segi jurnalisme.
Kolonialisasi yang dilakukan Inggris seharusnya secara tidak langsung memberikan dampak bagi wilayah jajahannya dalam hal transformasi nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi meskipun Myanmar adalah jajahan Inggris, belum tentu nilai-nilai demokrasi inggris dianut masyarakat Myanmar.
Hal ini terbukti dengan rezim otoriter yang masih berkuasa di Myanmar dan membatasi peran aktor politik lain. Dalam hal ini sipil yang akan mewujudkan demokrasi di Myanmar, khususnya Aung San Suu Kyi yang pernah menerima penghargaan Nobel Perdamaian bahkan memenangi pemilu, tetapi tidak diakui kemenangan yang diraih, padahal Myanmar merupakan tanah kelahirannya.
Selama periode penjajahan Inggris, kontrol politik terhadap Myanmar dilakukan melalui India. Myanmar diperintah sebagai provinsi India sampai tahun 1937. Setelah tahun 1937, Myanmar menjadi koloni yang diperintah secara terpisah dari India. Kemerdekaan dari Inggris diperoleh Myanmar pada tahun 1948.
Selama masa penjajahan Inggris tidak terjadi pembentukan identitas tunggal pada penduduk Myanmar. Hal tersebut disebabkan wilayah Myanmar dibagi menjadi dua bagian yaitu kawasan dataran rendah dan dataran tinggi. Terhadap masing-masing kawasan diterapkan sistem pemerintahan yang berbeda. Di kawasan dataran rendah, administrasi pemerintahan dikontrol langsung oleh Inggris, sedangkan di kawasan dataran tinggi administrasi dilakukan oleh pemerintah setempat melalui perjanjian dan traktat antara Inggris dan penduduk setempat.
Oleh karena itu, kawasan dataran tinggi relatif memiliki otonomi dan Inggris juga tidak membangun perekonomian dan administrasi pemerintahan Myanmar dengan baik, sehingga pada saat Myanmar merdeka tidak ada bekal bagi pemerintah baru untuk menjadi pemerintah yang kuat dan bersatu, namun setela Myanmar merdeka banyak etnis minoritas yang membentuk angkatan bersenjata dan melakukan pemberontakan.
Pada tahun 1948, tepatnya 4 Januari, Myanmar berhasil meraih kemerdekaan dari Inggris. Sebenarnya di awal abad 19 beberapa bentuk perlawanan dari masyarakat Myanmar terhadap Inggris telah ditunjukkan.
Myanmar setelah jatuh ke tangan inggris mengalami beberapa kali perang dan kemudian diperkuat dengan pergolakan dunia hubungan internasional yang berimplikasi terhadap stabilitas politik di Myanmar.
Jepang menang dalam perang Jepang-Rusia pada tahun 1905. Hal ini tentunya berkenaan dengan adanya persepsi bahwa kekuatan negara Asia telah bangkit dan kini mulai diperhitungkan.
Dengan adanya kemenangan Jepang dari Rusia, tentunya memberikan isyarat kepada negara-negara besar bahwa kekuatan negara-negara Asia tidak boleh diremehkan lagi.
Dan di lain hal, fenomena ini tentu saja diasumsikan oleh Myanmar sebagai sebuah kebangkitan negara Asia secara kolektif untuk membendung pengaruh negara Barat.
Muncul pula perdamaian Versailles yang memperjuangkan hak-hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka. Perjanjian Versailles merupakan salah satu hasil dari berakhirnya perang dunia I.
Perjanjian Versailles menjunjung tinggi hak-hak menentukan nasib sendiri bagi setiap negara. Hal ini menjadi keuntungan bagi Myanmar yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Hal ini juga dijadikan landasan bagi Myanmar untuk memperjuangkan haknya dalam melepaskan diri dari penjajah.
Selain itu dari internal sendiri, pada tahun 1919 muncul gerakan melawan Inggris dengan membentuk The General Council of Burmese Association (GCBA) menjalankan politik non cooperative dengan Inggris.
Dari sini berkobarlah semangat nasionalisme Myanmar anti Inggris. Gerakan-gerakan nasionalisme Myanmar lainnya adalah Myochit (Partai Nasionalis), Sinyetha (Partai Rakyat Miskin) dan Do Bama Asiayone (Kita Bangsa Myanmar) atau Partai Thakin yang menuntut kemerdekaan bagi bangsa Myanmar.
Setelah kekuatan dalam tubuh Myanmar dipersatukan dan adanya dukungan dari Inggris beserta sekutu lainnya, penyerangan terhadap tentara Jepang pun dilakukan.
Penyerangan tersebut berakhir dengan kekalahan Jepang. Pada 15 Juni 1945, angkatan bersenjata Myanmar bersama-sama dengan satuan-satuan yang mewakili kerajaan Inggris dan pasukan sekutu mengadakan pawai kemenangan di Yangoon.
Kemenangan Myanmar dari Jepang tidak serta merta membuat Myanmar menjadi negara merdeka. Akan tetapi, Inggris mengambil alih. Dalam perkembangannya, pemerintah Inggris telah menjelaskan politiknya mengenai masa depan Myanmar dalam Buku Putih.
Bagaimanapun pelaksanaannya, selama tiga tahun diperintah oleh gubernur secara langsung, dan pada saatnya kemudian pemilihan dan pembentukan kembali Dewan serta pembuat Undang-Undang Myanmar dilakukan pada tahun 1935.
Momentum ini menjadi titik terang bagi Myanmar karena hal tersebut menjadi sinyal kemerdekaan Myanmar. Hal ini dilakukan pemerintah Inggris karena melihat AFPFL telah berpengaruh besar di tengah rakyat, akhirnya Inggris sepakat untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Myanmar.
Gelombang Protes
Meski terkenal akan pelanggaran HAM, Myanmar justru memiliki sejarah protes massa yang panjang. Ketika Indonesia bungkam dengan gerakan bawah tanah pada era Soeharto, gelombang protes Myanmar justru menguat sejak dimulainya masa pemerintahan militer Jenderal Ne Win.
Tahun 1988, gelombang protes massa Myanmar ini melibatkan pelajar, pejabat sipil, pekerja, hingga para biksu Budha. Protes hadir saat Ne Win menggunakan tentara bersenjata demi kudeta militer.
Sejak awal massa Myanmar memang telah menginginkan berakhirnya junta militer ini. The State Peace and Development Council’s (SPDC’s) Myanmar mengajukan tuntutan yang populer untuk mereformasi pemerintahan menjadi neo-liberal. Tuntutan reformasi ini terutama berlaku untuk ekonomi, termasuk saat bulan lalu pemerintah Myanmar menarik subsidi BBM.
Protes massa Myanmar memang tak segaduh Amerika yang liberal. Di mana-mana rezim militer masih memegang kendali sosial. Asia Times mencatat, gerakan protes umumnya mulai dalam jumlah kecil dan tersebar. Beberapa bulan terakhir ini misalnya, protes kecil dan damai terus berkelanjutan di ibu kota Yangon.
Namun kemarahan publik ini bisa berubah menjadi efek bola salju dan menjadi gerakan massa besar-besaran. Salah satunya yang terjadi di Pakkoku. Setelah bola salju ini pecah, maka perlahan akan kembali menggumpal.
Beberapa hari setelah kejadian Pakkoku, 500 biksu kembali berbaris damai di Yangon, Myanmar. Layaknya biksu, New York Times mencatat gerakan ini malah berdoa untuk kedamaian dan keselamatan setelah peristiwa Pakkoku.
Gerakan dalam protes bukan hanya terjadi dari satu pihak saja. Pemerintah Myanmar juga menyikapinya dengan Union Solidarity and Development Association (USDA). USDA tercatat kerap bergabung dalam gelombang protes ini. Organisasi pro-pemerintah ini tercatat bahkan ikut terlibat dalam upaya pembunuhan Suu Kyi pada tahun 2003. Meski gagal, aksi tersebut memakan korban simpatisan National League for Democracy (NLD) sebagai gantinya.
“Anggota kelompok ini (USDA) dilatih khusus untuk mengontrol massa dan mengubah protes menjadi aksi kekerasan,” kata seorang Diplomat Barat di Yangon pada Asia Times.
Dunia Barat mencurigai gerakan ini berada dalam sayap yang sama dengan intelijen Myanmar. Apalagi, setiap aksi protes yang terjadi sangat sulit untuk diliput oleh para jurnalis, termasuk jurnalis internasional. Rekrut anggota juga dicurigai berasal dari para kriminal.
Seiring bertambahnya anggota USDA, sekurangnya 600 kriminal juga dilepaskan dari Penjara Yangon. Hingga kini anggota USDA diperkirakan mencapai 2.000 orang.
USDA berfungsi menyaingi kelompok pelajar dan biksu Buddha yang vokal dalam aksi protes. Apalagi secara khusus aktivis Myanmar telah memiliki organisasi protes massanya sendiri.
Organisasi 88 Generation Student ini didirikan oleh penyair internasional asal Myanmar Ming Ko Naing dan Ko Ko Gyi. Keduanya mendirikan organisasi ini setelah dibebaskan dari 14 tahun penjara, dan cukup populer di mata masyarakat Myanmar. Meski berlabel pelajar, Generation 88 kerap bekerja sama dengan para pekerja, sipil, hingga para biksu Buddha.
“Kami percaya tak satu pun warga Myanmar yang rela menerima aksi kekerasan politik junta militer,” kata salah satu pemimpin Generation 88 Htay Kywe pada Asia Time. Dan dalam setiap protes massa Myanmar hampir bisa dipastikan USDA dan Generasi 88 (Generation 88) berperan di dalamnya.
Protes kemudian diprakarsai oleh para biksu Budha di Myanmar. Pada awalnya para biksu menolak sumbangan makanan dari para jenderal penguasa dan keluarganya. Penolakan ini menjadi simbol bahwa para biksu tidak lagi mau merestui kelakuan para penguasa militer Myanmar.
Aksi demo juga dipicu oleh naiknya harga BBM beberapa ratus persen akibat dicabutnya subsidi. Demo melibatkan ratusan ribu bikshu, kemudian meletus di berbagai kota di Myanmar, para warga sipil akhirnya juga banyak yang mengikuti.
Pemerintah Junta Militer melakukan aksi kekerasan dalam membubarkan demo-demo besar ini, pagoda-pagoda disegel, para demonstran ditahan, dan senjata digunakan untuk membubarkan massa. Banyak biksu ditahan, beberapa diyakini disiksa dan meninggal dunia.
Sepanjang gelombang protes terjadi belasan orang diyakini menjadi korban, termasuk seorang reporter berkebangsaan Jepang, Kenji Nagai, yang ditembak oleh tentara dari jarak dekat saat meliput demonstrasi. Kematian warga Jepang ini memicu protes Jepang pada Myanmar karena ketidakbertanggungjawaban. Hal mengakibatkan dicabutnya beberapa bantuan dari Jepang ke Myanmar.
Akar Gelombang Protes
Etnis Birma, berasal dari Tibet, merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Namun, etnis Birma adalah kelompok yang datang belakangan di Myanmar, yang sudah lebih dahulu didiami etnis Shan (Siam dalam bahasa Thai).
Etnis Shan pada umumnya menghuni wilayah di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Sebelum etnis Birma datang, selain etnis Shan, sudah ada etnis Mon, yang menghuni wilayah selatan, juga dekat perbatasan dengan Thailand.
Sebagaimana terjadi di banyak negara, di antara tiga etnis utama di Myanmar ini terjadi perang. Satu sama lain silih berganti menjadi penguasa di daerah yang dinamakan Birma—kini Myanmar. Inilah yang terjadi, perebutan kekuasaan, sebelum kedatangan Inggris pada tahun 1885.
Ada juga etnis lain di Myanmar, yang kemudian turut meramaikan ketegangan politik sebelum penjajahan dan pasca-penjajahan Inggris. Misalnya, ada etnis Rakhine, lebih dekat ke Bangladesh.
Saat penjajahan, berbagai kelompok etnis ini berjuang untuk mengakhiri penjajahan. Setelah penjajahan berakhir dan merdeka pada 4 Januari 1948, makin terjadi kontak lebih ramah antara etnis Birma dan semua etnis non-Birma.
Supresmasi Etnis Birma
Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi, bersama U Nu adalah tokoh utama di balik kemerdekaan dan menjadi pemimpin negara. Akan tetapi, pada tahun 1962, militer yang didominasi etnis Birma mengambil alih kekuasaan negara. Ne Win adalah otak di balik kudeta itu.
Cikal bakal junta militer sekarang (disebut sebagai Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan / SPDC) berasal dari kekuasaan Ne Win itu. SPDC sendiri didominasi oleh etnis Birma. Konfigurasi kekuasaan hak pun menjadi tidak berimbang antara etnis Birma yang mendominasi dan etnis non-Birma yang merasa ditindas.
Sehingga muncullah perlawanan dari beberapa etnis non-Birma, termasuk etnis Karen, yang mendominasi wilayah pegunungan di utara, yang dikenal sebagai golden triangle (segitiga emas).
Birma memilih cara apa pun untuk mencegah hal itu terjadi. Sejak 1960-an, terjadilah diaspora warga Myanmar. Berbagai warga Myanmar dari kelompok etnis kini tinggal di Thailand, Bangladesh, Tiongkok, Laos, dan India. Semua negara ini berbatasan langsung dengan Myanmar.
Kemenangan kubu demonstrasi, pimpinan Aung San Suu Kyi pada pemilu tahun 1990, tak dikehendaki oleh kelompok etnis Birma. Kubu Suu Kyi dan dan etnis non-Birma lainnya merupakan ancaman bagi supremasi etnis Birma. Kemenangan Suu Kyi pun dihadang. Kekuasaan direbut. Beginilah yang terjadi seterusnya hingga saat ini.
Penggunaan Nama Negara
Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar secara resmi dilakukan oleh pemerintahan junta militer pada 18 Juni 1989. Junta militer mengubah nama Burma menjadi Myanmar agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari negara.
Walaupun begitu, perubahan nama ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh dunia internasional. Banyak kelompok oposisi dan negara tetap menggunakan nama “Burma” karena tidak mengakui legitimasi pemerintah militer yang berkuasa saat itu.
Bulan April 2016, tidak lama setelah menjabat, Aung San Suu Kyi memberikan klarifikasi bahwa orang asing bisa bebas menggunakan kedua nama. “Karena tidak ada dalam konstitusi kami yang mengatakan bahwa Anda harus menggunakan salah satunya,” tegasnya.
Nama resmi negara ini adalah Republik Persatuan Myanmar (Pyidaunzu Thanmăda Myăma Nainngandaw, diucapkan [pjìdàʊɴzṵ θàɴməda̰ mjəmà nàɪɴŋàɴdɔ̀]). Negara yang tidak menggunakan nama ini, menggunakan istilah “Persatuan Burma”.
Dalam bahasa Inggris, negara ini populer dengan nama “Burma” atau “Myanmar”. Kedua nama ini diturunkan dari etnis mayoritas di Myanmar yaitu Suku Bamar. Nama Burma telah digunakan sejak abad ke-18.
Burma tetap digunakan oleh beberapa negara, seperti Kanada dan Britania Raya. Amerika Serikat secara resmi menggunakan Burma sebagai nama resmi, tetapi situs Departemen Negara menuliskan “Burma (Myanmar)” dan Barack Obama telah menyebut negara ini dengan kedua nama.
Pemerintah Republik Ceko secara resmi menggunakan Myanmar, meski Kementerian Luar Negeri mereka menyebut keduanya di situs web. PBB menggunakan Myanmar, juga Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, Australia, Rusia, Jerman, Tiongkok, India, Bangladesh, Norwegia, Jepang, dan Swiss.
Sebagian besar media berita internasional berbahasa Inggris juga menyebut negara ini dengan nama Myanmar, termasuk BBC, CNN, Al Jazeera, Reuters, RT (Russia Today), dan Australian Broadcasting Corporation (ABC)/Radio Australia. (Sumber: Wikipedia)