Kukar, beritaalternatif.com – Langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi adalah menciptakan persatuan. Pada saat itu, seluruh penduduk Madinah belum memeluk agama Islam. Penduduk Madinah belum seluruhnya memeluk Islam. Sebagian besar dari mereka telah memeluk Islam dan sebagian kecil dari mereka tetap menjadi nonmuslim.
Selain itu, terdapat tiga suku penting kaum Yahudi yang tinggal di Madinah, yaitu Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Mereka menempati sebuah perbentengan yang terletak di dekat Madinah. Mereka telah datang ke Madinah pada seratus atau dua ratus tahun sebelum peristiwa hijrah Nabi. Apa alasan kedatangan mereka ke Madinah? Dalam hal ini terdapat kisah yang panjang dan terperinci. Ketika Nabi masuk ke Madinah, ciri-ciri kaum Yahudi ini ada dua atau tiga perkara.
Pertama, harta kekayaan Madinah, pertanian dan cocok tanam terbaik di Madinah, perdagangan dan perindustrian yang banyak menghasilkan keuntungan–peleburan emas dan semisalnya–adalah berada di tangan kaum Yahudi. Sebagian besar penduduk Madinah di saat mereka menghadapi kesulitan keuangan, maka mereka pun akan mendatangi kaum Yahudi dan meminjam uang dengan riba. Dalam hal ini, keuangan berada dalam kekuasaan kaum Yahudi.
Kedua, kaum Yahudi ini memiliki suatu kebudayaan yang lebih tinggi dari penduduk Madinah. Mereka adalah Ahlulkitab, dan mereka juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan permasalahan yang tidak diketahui oleh penduduk Madinah yang setengah primitif. Karena itulah mereka lebih cerdas dan memiliki wawasan luas. Pada dasarnya, jika kita hendak menggunakan istilah saat ini, maka kaum Yahudi di Madinah termasuk kelompok intelektual.
Oleh karena itu, mereka pun mencela, menghina dan bahkan mengolok-ngolok penduduk Madinah. Jelas, ketika mereka menghadapi bahaya dan terancam, mereka pun akan merendahkan diri, tetapi secara normal mereka memiliki posisi lebih tinggi di tengah penduduk Madinah.
Ketiga, mereka memiliki hubungan dengan tempat-tempat jauh dan terpencil. Hubungan mereka tidak hanya terbatas pada penduduk Madinah. Kaum Yahudi memiliki suatu pengaruh dan posisi di Madinah. Oleh karena itu, Nabi pun memperhitungkan keberadaan mereka. Nabi mengadakan sebuah kesepakatan bersama dengan mereka.
Pada awal kedatangan Nabi di Madinah, beliau tidak mengadakan suatu kesepakatan dan perjanjian apa pun, tidak mengharapkan sesuatu dari masyarakat dan tidak pula melakukan pembicaraan tentang masalah kepemimpinan. Telah cukup jelas bagi penduduk Madinah bahwa kepemimpinan masyarakat adalah berada di tangan pribadi mulia ini.
Kepribadian dan keagungan kenabian–secara alamiah–membuat segalanya menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Telah menjadi jelas, bahwa dia adalah pemimpin, dan semua wajib menjalankan dan melaksanakan apa-apa yang disampaikannya. Setelah berada di Madinah, Nabi menulis suatu surat perjanjian, yang diterima oleh seluruh masyarakat. Perjanjian ini berkaitan dengan masalah sosial, transaksi (muamalah), sengketa, denda (diyat), hubungan Nabi dengan para penentang, hubungan Nabi dengan kaum Yahudi dan kaum non-muslim. Semua perjanjian ini ditulis secara terperinci di atas dua atau tiga lembar besar, lembaran buku-buku sejarah kuno.
Langkah kedua dan yang amat penting, adalah menciptakan ikatan persaudaraan. Fanatisme kesukuan dan kasta, perpecahan yang terjadi di antara berbagai lapisan masyarakat, semua ini merupakan bencana besar yang menimpa masyarakat Arab yang fanatik dan jahiliah pada masa itu. Dengan adanya ikatan persaudaraan ini, maka fanatisme jahiliah itu pun terhapus. Nabi mengikat hubungan persaudaraan antara seorang kepala suku yang memiliki posisi amat tinggi dengan seorang yang memiliki posisi rendah ataupun posisi sedang.
Beliau berkata, “Kalian berdua adalah saling bersaudara.” Kemudian mereka berdua pun menerima ikatan persaudaraan ini dengan penuh kerelaan. Para tokoh dan pembesar dipersaudarakan dengan para hamba sahaya yang telah memeluk Islam dan telah dimerdekakan. Dengan menciptakan ikatan persaudaraan ini, maka beliau berhasil menghapus berbagai penghalang yang merintangi jalan bagi terwujudnya persatuan masyarakat.
Ketika mereka hendak memilih seorang muadzin untuk masjid, terdapat orang-orang yang memiliki suara indah dan wajah tampan, banyak pribadi menonjol, tetapi Nabi memilih Bilal Habashy. Bukan dilandaskan pada ketampanan, suara indah, kebangsawanan dan status ayah serta ibunya. Namun, tolak ukur dalam memilihnya karena dia adalah seorang Islam dan beriman, berjuang di jalan Allah Swt, dan mempersembahkan berbagai pengorbanan di jalan ini. Perhatikanlah, bagaimanakah beliau mewujudkan nilai-nilai dalam bentuk nyata. Sebelum beliau menghendaki ucapan dan pembicaraannya berpengaruh di hati dan jiwa masyarakat, sikap dan perbuatannya telah memberi pengaruh pada hati dan jiwa masyarakat.
Sumber: Disunting oleh Ufqil Mubin dari Buku Berjudul Manusia 250 Tahun Karya Pemimpin Agung Republik Islam Iran, Sayid Ali Khamene’i.