BERITAALTERNATIF.COM – Pemberitaan tentang Aleppo pernah diwarnai oleh histeria ‘dokter anak terakhir’. Perang memang akan terasa sangat kejam manakala memunculkan korban dari kalangan anak-anak. Anak-anak tak berdosa itu sama sekali tidak paham, mengapa manusia harus saling membunuh. Mereka tidak berdaya dan paling terguncang saat menghadapi dentuman mortar dan bom. Karena itu, mereka yang paling harus dilindungi. Karena itu pula, dokter-dokter anak adalah para pahlawan di tengah kerumunan dan kebuasan sebuah peperangan.
Sebuah video bertajuk “The Last Pediatrician” (Dokter Anak Terakhir) diviralkan pada April 2016 di media sosial dan diberitakan secara masif oleh semua media terkemuka di dunia, serta diterjemahkan oleh media-media nasional berbagai negara, termasuk Indonesia. Dikisahkan bahwa ada seorang dokter anak (konon bernama dokter Moaz atau Maaz) yang menolak meninggalkan rumah sakit Al Quds yang dibombardir oleh tentara Suriah dan Rusia. Sang dokter dilaporkan tewas. Gedung rumah sakit di Aleppo timur itu konon hancur. Namun hebatnya, rekaman CCTV masih selamat dan tersebarlah video Sang Dokter Anak ke seluruh dunia.
Empat bulan kemudian, pada Agustus 2016, ada lima belas dokter dari Aleppo timur mengirim surat terbuka kepada Obama, memintanya agar segera meluncurkan ‘intervensi kemanusiaan’ di Suriah. Mereka menyatakan, “Kami adalah 15 dokter terakhir yang melayani 300.000 warga Aleppo timur. Tentara rezim Assad telah memblokade bagian kota ini.”
Anehnya, enam dari lima belas dokter yang menandatangani surat itu adalah dokter anak. Hey, bukankah pada tanggal 28 April dikatakan bahwa ‘dokter anak terakhir’ sudah tewas?
Di sini, kita kembali mencium adanya intrik dan keculasan. Berita tentang dokter anak terakhir yang dirilis pada April 2016 jelas hoax, karena ternyata, empat bulan kemudian, masih ada 6 orang dokter anak yang berkirim surat kepada Obama, meminta agar AS melakukan penyelamatan terhadap Aleppo.
Tapi, klaim ini pun patut diragukan. Apakah lima belas orang yang berkirim surat kepada Obama adalah para dokter yang melayani warga sipil Suriah? Jika memang demikian, apakah hanya mereka dokter terakhir di Aleppo?
Faktanya, di bagian Aleppo barat, ada dokter-dokter yang bekerja dalam sunyi. Tidak ada media mainstream yang meliput mereka. Salah satu dokter itu bernama Nabil Antaki. Dia punya pilihan untuk pergi ke luar negeri, namun bertahan karena menurutnya, “Justru di saat inilah warga paling membutuhkan saya”.
Pada 30 September 2016, di tengah masifnya bombardir dari milisi ‘mujahidin’ ke kawasan Aleppo barat, dr. Nabil menulis artikel berikut ini.
“Meskipun perang melawan bangsa Suriah dimulai pada Maret 2011, perang ini awalnya tidak terlalu berpengaruh di Aleppo, sampai Juli 2012. Itulah saat milisi bersenjata menduduki Aleppo timur dan memaksa 500.000 warga yang menolak hidup di bawah kontrol milisi takfiri mengungsi ke wilayah Aleppo barat”.
“Sejak itu, Aleppo terpecah dua. Kawasan timur adalah 25% kota Aleppo dan saat ini dihuni 200.000 orang. Semua yang lainnya sudah melarikan diri ke Aleppo barat, area yang luasnya 75% keseluruhan kota dan dihuni 1,5 juta orang. Aleppo barat dikuasai oleh pemerintah Suriah”.
“Sejak 2012, ‘pemberontak’ Islamis setiap hari meluncurkan misil, mortar, dan kaleng berisi bahan peledak ke Aleppo barat dan menyebabkan banyak kematian dan luka-luka serius”.
“Lebih jauh lagi, mereka memotong suplai air bersih ke Aleppo barat selama dua tahun terakhir. Pemerintah kota harus mengebor 300 sumur bor di pusat kota untuk memenuhi kebutuhan air warga. Para ‘pemberontak’ juga memutus aliran listrik ke Aleppo barat. Dalam berbagai kesempatan, mereka telah memblokade Aleppo barat dan mencegah masuknya berbagai barang, bahan bakar, dan makanan. Ini adalah bentuk ‘hukuman kolektif’ dari mereka untuk warga Aleppo barat”.
“Tentara Suriah, dibantu oleh sekutunya, telah berjuang untuk membebaskan Aleppo timur dari ‘pemberontak’ selama empat tahun ini, namun belum berhasil. Aleppo telah terjebak di tengah pengeboman dan penembak jitu (sniper) sehingga kehidupan di Aleppo menjadi bagaikan neraka”.
“Sebulan yang lalu (Agustus 2016), ‘pemberontak’ bersenjata mengambil alih kendali atas satu-satunya jalan yang menghubungkan Aleppo barat dengan dunia luar. Sebagaimana sebelumnya, operasi ‘pemberontak’ ini telah mengepung Aleppo barat, menghalangi penghuninya keluar-masuk kota, dan menimbulkan penderitaan yang besar”.
“Setelah tiga pekan bertempur, tentara Suriah berhasil membebaskan jalan itu lalu mengepung Aleppo timur. Selama dua pekan terakhir, ‘pemberontak’ benar-benar terkepung di Aleppo timur, bersama warga sipil yang tersisa, yang tidak bisa keluar, atau tidak mau keluar”.
“Kali ini, pemerintah Suriah benar-benar bertekad membebaskan total Aleppo timur dari teroris Al Nusra yang menguasai kawasan itu”.
“Setelah area yang dikuasai teroris dikepung, tentara pemerintah melakukan serangan bom dari udara dan serangan darat. Sebelum operasi pembebasan Aleppo timur dilakukan, tentara terlebih dahulu menjatuhkan leaflet dan mengirim SMS kepada warga sipil, agar mereka mengungsi ke Aleppo barat”.
“Pemerintah bahkan membuka tujuh koridor kemanusiaan (jalur evakuasi yang dilindungi tentara) dan banyak yang berhasil keluar Aleppo timur. Para teroris mencoba menghalangi-halangi mereka keluar karena mereka dibutuhkan sebagai ‘perisai manusia’ bagi para teroris. Adalah niscaya, dalam kondisi perang seperti ini, korban kematian dialami kedua pihak, baik teroris, maupun warga sipil”.
“Di sisi lain, para teroris di Aleppo timur juga meningkatkan serangan bom mereka ke Aleppo barat, yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban setiap hari. Pada hari Rabu, 28 September, rudal dan mortir menghujani kawasan penduduk Kristen, Azizia, menewaskan sepuluh orang dan melukai dua puluh lainnya”.
“Hari ini, pada 30 September, semua wilayah Aleppo menjadi mangsa ‘pemberontak’. Tiga puluh enam warga tewas, dan banyak lainnya yang terluka parah”.
“Media Barat hanya memperlihatkan gambar Aleppo timur, yang menunjukkan kehancuran dan penderitaan di sana, dan kemarahan komunitas internasional. Mereka diam di hadapan penderitaan yang dialami penduduk Aleppo barat; mereka diam menyaksikan kematian dan luka-luka yang diakibatkan oleh bom-bom yang diledakkan oleh ‘pemberontak’”.
“Warga Kristen Aleppo selama ini selalu tinggal di kawasan pusat dan barat Aleppo. Dalam lima tahun perang ini, tiga perempat warga Kristen sudah meninggalkan Aleppo. Kini, hanya 40.000 dari mereka yang tinggal di kota ini. Bombardir yang baru-baru ini dilakukan oleh ‘pemberontak’ telah membuat komunitas ini menjadi korban”.
“Mayoritas warga Aleppo barat mendukung pembebasan yang dilakukan tentara Suriah sepenuh hati. Mereka selama empat tahun terakhir sudah sangat menderita akibat sabotase air, pemutusan listrik, pemblokiran bantuan kemanusiaan, dan serangan mortar yang membunuh atau melukai istri, suami, anak-anak, dan teman mereka. Serangan-serangan ini telah memaksa warga Aleppo mengungsi. Warga memandang bahwa adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya dan membebaskan kota dan desa [dari tangan teroris]”.
“Kami mengutuk berbagai kejahatan perang dan kami sangat ketakutan atas berbagai penderitaan ini. Namun, kami juga sangat marah melihat betapa bias dan berpihaknya pemberitaan tentang perang Aleppo oleh media Barat”.
“Semua warga Suriah, terkhusus Aleppo, hanya menginginkan perdamaian. Mereka memiliki kenangan atas Suriah sebelum perang: negeri yang indah, stabil, aman, makmur, dan sekuler. Tidak ada warga Suriah yang ingin hidup di bawah ‘pemerintahan Islamis’ [ala teroris] dan semua menginginkan penyelesaian ‘konflik’ melalui langkah politik dan diplomatik. Konflik ini telah mengakibatkan kematian 300.000 orang, 600.000 lainnya terluka dan cacat. Delapan juta warga mengungsi [di dalam negeri] dan tiga juta lainnya menjadi pengungsi di luar negeri, dari total populasi 23 juta”.
Jurnalis Kanada, Eva Bartlett, mewawancarai dokter-dokter dari Aleppo Medical Association (didirikan 1959), di Aleppo barat. Menurut dr. Zahar Buttal, ketua Asosiasi Dokter Aleppo, kisah ‘dokter anak terakhir’ yang disebarluaskan oleh media Barat adalah kebohongan. Aleppo memiliki 180 dokter anak yang masih bekerja. “Kami telah mengecek nama dokter ‘terakhir’ itu [Maaz/Moaz] dan dia tidak ada dalam daftar Asosiasi Dokter Aleppo,” kata dr. Buttal.
Total dokter di Aleppo adalah 4.160 orang. Sebagiannya mendapat gaji dari pemerintah, sebagian dari mereka bekerja sukarela. Semuanya bekerja keras merawat korban bom, mortar, dan kaleng gas; setiap hari jatuh korban puluhan orang.
Keberadaan dr. Nabil bersama ribuan rekannya di Aleppo diabaikan dengan sengaja oleh media mainstream. Namun mereka tetap bekerja dalam sunyinya pemberitaan dan di tengah riuhnya suara ledakan. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)