Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Orang narsis selalu sukses membuat orang-orang baru kenal di sekitarnya terkesan. Kesan awal berupa pujian atau perhatian menjadi oksigen untuk berada dan nyaman di lingkungan itu.
Saat menyadari bahwa orang-orang yang terkesan kepadanya mulai mengetahui bahwa dia hanya punya etalase tapi minim isi dan lemah dalam wawasan, dia menjauh seraya mengemukakan alasan-alasan dusta menutupinya, lalu mencari lingkungan baru dengan orang-orang baru yang akan dibuatnya terkesan dan begitulah seterusnya.
Dia tak punya waktu untuk merenungkan diri apalagi mempertimbangkan pikiran dan perasaan orang lain. Dia menganggap sikap dan perlakuan baik orang lain kepadanya sebagai hasil investasi good impressing-nya. Dia minim empati karena selalu berpikiran pragmatis meski kadang berusaha memperlihatkannya dalam sikap yang direncanakan.
Menurut teori psikoanalisis, terdapat dua tipe narsisme yang sering dibahas, yaitu narsisme primer dan narsisme sekunder. Berikut adalah penjelasan singkat tentang kedua tipe narsisme berdasarkan perspektif psikoanalisis:
Pertama, Narsisme Primer (Primary Narcissism). Narsisme primer merupakan kondisi narsistik yang terjadi pada tahap perkembangan awal individu, khususnya pada bayi dan anak kecil. Menurut Sigmund Freud, narsisme primer terjadi ketika individu mengalami keadaan di mana mereka memfokuskan cintanya pada diri sendiri, sebagaimana contoh hubungan dekat antara bayi dan ibunya karena bayi memandang dirinya sebagai pusat dunia.
Narsisme primer dianggap sebagai keadaan normal pada tahap perkembangan awal yang penting bagi perkembangan pribadi individu. Ini membantu individu membangun rasa percaya diri, identitas diri, dan rasa harga diri yang kuat.
Kedua, Narsisme Sekunder (Secondary Narcissism). Narsisme sekunder mengacu pada bentuk narsisme yang muncul di kemudian hari, biasanya sebagai mekanisme pertahanan atau respons terhadap perasaan inferioritas atau trauma emosional. Narsisme sekunder seringkali terkait dengan pola pikir egois, pandangan yang terlalu tinggi terhadap diri sendiri, kebutuhan akan pujian atau pengakuan eksternal, serta kurangnya empati terhadap orang lain.
Narsisme sekunder dapat muncul sebagai respons terhadap pengalaman negatif dalam kehidupan, seperti penolakan, kegagalan, atau cedera emosional, yang menyebabkan individu menggunakan mekanisme pertahanan narsistik sebagai cara untuk melindungi diri dan menjaga harga diri mereka.
Narsisme sebenarnya memiliki banyak aspek dan ciri-ciri, tidak terbatas pada kecenderungan untuk menarik perhatian orang dengan penampilan fisik saja. Narsisme merupakan kondisi psikologis kompleks yang melibatkan pola pikir, emosi, dan perilaku individu. Berbagai macam kecenderungan narsistik dapat muncul pada individu yang mungkin memiliki kombinasi dari beberapa karakteristik narsistik.
Berikut adalah beberapa aspek dan kecenderungan yang sering dikaitkan dengan narsisme:
Pertama, pencarian perhatian dan pengakuan. Salah satu ciri khas narsisme adalah keinginan yang kuat untuk diperhatikan, diakui, dan dipuja oleh orang lain. Individu narsistik mungkin cenderung mencari perhatian dengan cara menonjolkan diri, merasa lebih unggul dari orang lain, atau mengungkapkan kepercayaan diri yang berlebihan.
Kedua, kebutuhan akan pujian dan validasi. Individu narsistik juga seringkali memiliki kebutuhan yang tinggi akan pujian, validasi, dan persetujuan dari orang lain. Dia mungkin merasa bergantung pada pujian eksternal untuk mempertahankan rasa harga dirinya.
Ketiga, kurangnya empati atau perhatian pada perasaan orang lain. Orang narsistik cenderung kurang memiliki empati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain, dan lebih fokus pada kepentingan dan keinginan mereka sendiri.
Keempat, kesulitan dalam menerima kritik atau penolakan. Individu narsistik seringkali kesulitan menerima kritik atau penolakan, dan dapat merespons dengan defensif, agresif, atau merasa terluka.
Kelima, pola hubungan yang ambivalen atau dominan. Dalam hubungan interpersonal, individu narsistik cenderung memiliki pola hubungan yang ambivalen, yaitu antara mencari keintiman dan pujian dari orang lain, dan pada saat yang sama, menunjukkan sikap dominan atau merendahkan orang lain.
Keenam, persepsi yang terlalu tinggi tentang diri sendiri. Individu narsistik sering memiliki pandangan yang terlalu tinggi tentang diri mereka sendiri, merasa lebih unggul dan penting daripada orang lain.
Penting untuk memahami bahwa narsisme merupakan kondisi psikologis kompleks yang memerlukan pemahaman yang lebih dalam dan pendekatan yang holistik dalam pengelolaan dan perubahan perilaku narsistik.
Dalam psikoanalisis, narsisme dipahami sebagai spektrum kompleks perilaku dan pola pikir yang berkembang dari tahap perkembangan awal hingga ke masa dewasa. Pengertian terhadap narsisme, baik primer maupun sekunder, dapat membantu individu dalam memahami asal-usul dan implikasi dari perilaku narsistik serta membantu dalam upaya perubahan dan pertumbuhan menuju kesehatan mental yang lebih baik.
Menurut teori psikoanalisis, narsisme merupakan dorongan untuk menciptakan citra diri yang sempurna dan mengagumkan untuk menyembunyikan perasaan rendah diri yang mendasar. Orang yang bersikap narsistik cenderung sangat membutuhkan pujian dan pengakuan dari orang lain untuk memperkuat citra diri yang konon sempurna tersebut. Ketika citra diri tersebut terancam atau diragukan oleh orang lain, dia mungkin merasa terancam dan melarikan diri ke lingkungan baru di mana mereka bisa menjaga dan memperkuat citra diri mereka. Ketika panggung atraksi narsismenya makin sempit, dia drop dan menyalahkan orang-orang yang meninggalkannya.
Para pakar perilaku cenderung memandang narsisme sebagai suatu pola perilaku yang dipelajari. Individu yang bersikap narsistik mungkin telah belajar bahwa dengan menampilkan sifat-sifat narsistiknya, seperti kepercayaan diri yang berlebihan dan rasa superioritas, dia dapat mendapatkan perhatian dan pujian dari orang lain. Dia kemudian terus memperkuat perilaku narsistik ini karena hasilnya yang positif dalam mendapatkan perhatian dan pengakuan.
Dari sudut pandang psikologi sosial, perilaku narsistik seringkali terkait dengan kebutuhan untuk pengakuan sosial dan pemenuhan kebutuhan diri. Orang yang bersikap narsistik mungkin memandang hubungan sosial sebagai alat untuk memperkuat citra diri atau memenuhi kebutuhan dirinya. Dia cenderung mencari orang-orang baru yang bisa memberikan pujian dan perhatian bagi mereka, dan akan mencari lingkungan yang mendukung citra dirinya.
Dari berbagai perspektif ini, perilaku narsistik dalam interaksi sosial bisa dipahami sebagai hasil dari kombinasi faktor-faktor psikologis, perlakuan belajar, dan kebutuhan diri yang kompleks.
Mengarahkan anak remaja yang menunjukkan perilaku narsistik untuk berubah dapat menjadi tantangan yang kompleks, tetapi ada beberapa strategi yang bisa Anda terapkan dalam membantu mereka mengembangkan pola pikir dan perilaku yang lebih sehat.
Narsisme dalam psikologi dan ujb (ujub) dalam akhlak Islam memiliki beberapa kesamaan dalam hal ciri-ciri dan konsepnya, meskipun berasal dari perspektif yang berbeda.
Narsisme dalam psikologi adalah kondisi psikologis di mana individu memiliki kecenderungan berlebihan untuk mencintai dan memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Narsisisme seringkali melibatkan pandangan yang terlalu tinggi tentang diri sendiri, kebutuhan akan pujian dan pengakuan eksternal, serta kurangnya empati terhadap orang lain. Individu dengan narsisme biasanya memiliki rasa harga diri yang rapuh yang bergantung pada pujian dari luar dan perasaan superioritas.
Ujb dalam akhlak Islam merujuk pada sikap menyombongkan diri atau merasa bangga dengan diri sendiri yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Ujb merupakan bentuk kesombongan yang membuat individu merasa lebih unggul dari orang lain, merasa bahwa pencapaian atau kualitas dirinya adalah yang terbaik, dan kurangnya rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan. Ujb dianggap sebagai salah satu penyakit hati yang harus dihindari dalam ajaran Islam.
Meskipun berasal dari konteks yang berbeda, narsisme dalam psikologi dan ujb dalam akhlak Islam memiliki kesamaan dalam hal penekanan pada sikap yang berlebihan terhadap diri sendiri, perasaan superioritas, dan kurangnya empati terhadap orang lain. Kedua konsep tersebut menyoroti bahaya dari pembentukan harga diri yang berlebihan, keinginan akan pengakuan eksternal, dan kurangnya keseimbangan antara penghargaan terhadap diri sendiri dan kesadaran akan keberadaan dan hak-hak orang lain.
Dengan demikian, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, narsisme dalam psikologi dan ujb dalam akhlak Islam memiliki kesamaan konsep dalam hal sikap terhadap diri sendiri yang berlebihan dan perlu adanya upaya untuk mengendalikan dan membentuk perilaku yang lebih seimbang dan bermanfaat bagi individu dan masyarakat. (*Cendekiawan Muslim)