Oleh: Poltak Hotradero*
Bisa enggak suatu negara tanpa utang? Apa negara akan ambruk kalau enggak berutang? Pertanyaan senada, kalau terpaksa berutang, sampai ukuran berapa sebaiknya utang negara? Lalu, nanti siapa yang bayar? Gimana kalau enggak dibayar?
Semua negara tentu punya pengeluaran: mulai dari membiayai aparatur negara PNS berbagai lembaga dan kementerian, penegak hukum, tentara dan polisi, sampai ke pengeluaran membangun infrastruktur dan subsidi. Disebut belanja pemerintah.
Dampak ekonomi dari belanja sangat penting. Belanja kesehatan berkontribusi menjaga kesehatan masyarakat agar tetap produktif; belanja keamanan dan hukum membuat perniagaan kondusif; belanja berbentuk subsidi menolong daya beli masyarakat kelompok ekonomi rendah.
Belanja infrastruktur membuat ekonomi lebih efisien. Bahkan belanja menggaji PNS berdampak ekonomi, karena gaji PNS yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan menjadi pendapatan bagi masyarakat non-PNS.
Aliran uang yang selanjutnya mengalir ke seluruh masyarakat dalam bentuk penciptaan daya beli. Ketika pemerintah belanja modal semisal kendaraan dinas, furniture, sampai alat tulis, atau membangun fasilitas fisik mulai dari kantor, stadion, laboratorium dan satelit adalah juga aliran uang dari pemerintah ke masyarakat umum sebagai pekerja dan penyedia fasilitas.
Ambil contoh sederhana sebuah mobil dinas pemerintah. Saat mobil dibeli akan menimbulkan aliran uang dari pemerintah ke penjual mobil. Saat masuk bengkel, akan menggerakkan bisnis bengkel dan suku cadang. Bahkan saat diparkir pun menciptakan penerimaan bagi tukang parkir.
Di berbagai negara, pemerintah selalu menjadi aktor ekonomi terbesar dan juga pembelanja tunggal terbesar. Itu sebabnya dampak ekonomi pemerintah menjadi sangat besar. Bila pemerintah naik belanjanya, maka volume uang pun mengalir lebih besar dan menggerakkan ekonomi.
Tentu pelaku ekonomi di suatu negara bukan cuma pemerintah. Ada juga aktor non-pemerintah berasal dari berbagai kalangan dan tersedia dalam berbagai skala dan ukuran.
Berbeda dengan aktor pemerintah, aktor ekonomi non-pemerintah selalu berhadapan dengan kompetisi terus-menerus. Semakin besar dan beragam sektor non-pemerintah, biasanya semakin efisien ekonomi suatu negara. Mengapa? Karena dengan kompetisi akan selalu tersedia output lebih besar (atau lebih baik) untuk setiap rupiah yang sama.
Dari aktivitas ini maka muncul keuntungan dan pertumbuhan. Aktivitas ekonomi non-pemerintah (biasa disebut swasta) ini sangat besar dan dinamis. Kenapa? karena yang terlibat di dalamnya adalah masyarakat yang jauh lebih luas dan beragam dibandingkan pemerintah.
Contoh sekolah: swasta ada mulai dari pra-sekolah dan TK sampai universitas. Mulai dari sekolah jahit, sekolah masak, dan setir mobil. Ada kursus bahasa sampai ke sekolah dan universitas berkurikulum internasional.
Intinya, ada banyak sekali aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh aktor non-pemerintah, yang tidak disediakan oleh pemerintah. Cara paling gampang kontras ini adalah dengan melihat apa yang dijual orang di warung ataupun pasar swalayan.
Akan kelihatan banyak sekali produk yang dibuat dan disediakan bukan oleh pemerintah. Ini berarti sektor swasta pun punya kontribusi besar bagi ekonomi.
Gabungan keduanya: belanja aktor pemerintah dan non-pemerintah (swasta) akan membentuk total aktivitas ekonomi suatu negara.
Dalam kasus Indonesia, seluruh aktivitas ekonomi baik swasta maupun pemerintah di tahun 2021 senilai Rp 16.971 triliun berdasarkan laporan resmi BPS.
Dari nilai aktivitas ekonomi Indonesia tahun 2021 senilai hampir Rp 17 ribu triliun itu, berapa besar aktivitas yang didorong dari belanja pemerintah? Tentu besar. Oke, tapi sebesar apa? Kalau kita pakai acuan realisasi APBN 2021, akan ketemu angka Rp 2.786 triliun.
Bagaimana kalau belanja pemerintah dikecilkan? Apakah output ekonomi Indonesia akan membesar? Tentu tidak. Lebih mungkin ikut mengecil.
Mengapa? Karena semata-mata dari aktivitas belanja pemerintahlah uang rupiah dicetak. Makin banyak belanjanya, makin banyak rupiahnya.
Belanja atau pengeluaran pemerintah inilah yang disebut sebagai fiskal. Secara umum fiskal bukan cuma sisi belanja pemerintah, tapi juga pembiayaannya. Karena uang keluar harus dibiayai juga oleh uang masuk.
Mirip seperti rumah tangga, maka negara pun harus punya pendapatan. Dari mana pendapatan pemerintah? Bisa kita lihat pada keterangan dari Kementerian Keuangan.
Bagian terbesar pendapatan pemerintah di 2021 yang Rp 2.003 triliun adalah dari perpajakan, yaitu tiga per empat dari pendapatan pemerintah. Ada juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Rp 452 triliun. Plus hibah.
Pendapatan negara Rp 2.003 triliun, tapi belanjanya Rp 2.786 triliun, lebih besar pengeluaran daripada pendapatan? Iya benar. Makanya bisa terlihat posisi defisit Rp 783,7 triliun.
Kenapa defisit? Karena Indonesia ingin ekonominya bertumbuh tetap apalagi saat pandemi. Cukup banyak komponen belanja pemerintah tahun 2021 terkait dengan penanganan pandemi. Mulai dari penyelenggaraan vaksinasi massal sampai ke penyaluran BLT, bantuan UMKM, dan program Keluarga Harapan.
Tujuannya apa? Supaya bagian masyarakat termiskin terbantu. Kalau pemerintah tidak melakukan belanja ekstra seperti itu, maka ongkos penanganan pandemi akan ditanggung sendiri oleh masyarakat.
Konsekuensinya apa? Akan menggerogoti kemampuan belanja mereka. Saat belanja mereka mengecil, ekonomi kita ikut mengecil juga.
Buat masyarakat yang mampu, mereka punya tabungan yang bisa digunakan di masa sulit. Bayar sendiri perawatan rumah sakit atau vaksinasi pun mampu. Tapi yang demikian mungkin tidak lebih dari 20% rakyat Indonesia. Sisanya yang 80% cuma hidup dari gaji ke gaji.
Itu sebabnya menjadi tugas pemerintah membantu bagian masyarakat ekonomi terlemah ini supaya beban hidup mereka lebih ringan dan ekonomi tetap tumbuh.
Maka pemerintah pun harus lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Jadi, memang harus defisit. Itu tugasnya pemerintah.
Berikut hal-hal menarik dari APBN 2021. Ada bagian APBN dan ada realisasi sementara. Bedanya apa? APBN 2021 adalah anggaran yang disusun tahun 2020 dan disetujui DPR. Seiring waktu, belanja dan pendapatan di tahun 2021 pun bersifat dinamis. Sebelum diaudit maka berstatus sementara. Bisa kita perhatikan di APBN defisit semula diproyeksikan sebesar Rp 1.006 triliun.
Jadi, sebenarnya pemerintah bisa belanja lebih besar dari pendapatan sampai sebesar itu. Tapi berkat penghematan dan efisiensi, maka defisit menjadi Rp 783,7 triliun. Berkurang 22,13%!
Apa yang membuat defisit berkurang? Karena ternyata realisasi pendapatan negara meningkat! Dari semula ditargetkan Rp 1.742 triliun malah bisa dapat Rp 1.998 triliun. Paling istimewa datang dari PNBP yang naik 51,5% dari target.
Kok bisa? Karena ekonomi pulih lebih cepat. Yang juga istimewa, kendati pendapatan negara naik lebih tinggi 14,67%, ternyata pos belanja negara walaupun ikut naik, ternyata cuma naik 1,34%. Ini berarti pengawasan belanja negara tetap dilakukan dengan baik. Jangan karena pendapatan naik lalu belanja malah ugal-ugalan.
Mungkin ada yang bertanya: kenapa penerimaan pajak tahun 2021 yang melampaui target disimpulkan berasal dari ekonomi yang telah pulih? Karena penerimaan pajak di Indonesia dominan berasal dari korporasi. Saat mencetak laba, perusahaan akan bayar pajak.
Dan tentu sulit bagi perusahaan membukukan keuntungan, kalau aktivitas ekonomi masih belum bergerak karena terhalang pandemi.
Itu sebabnya strategi vaksinasi massal baik bagi ekonomi, karena investasinya cepat kembali lewat pulihnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Sekarang coba kita bedah penerimaan pajak Indonesia yang Rp 1.546 triliun. Kalau kita bagi dengan ukuran ekonomi Indonesia yang Rp 16.970 triliun, maka kita akan memperoleh apa yang disebut tax ratio, yaitu pendapatan pajak dibagi PDB.
Berapa tax ratio Indonesia? Besarannya 9,11%. Tax ratio 9,11% itu rendah atau tinggi? Tax ratio Indonesia salah satu yang terendah di dunia! Tax ratio Thailand 17,5%, Singapura 13,2%, Malaysia 12,5%, bahkan Papua Nugini 12,1%. Indonesia? Di bawah 10%.
Jadi, cukup jelas bahwa pendapatan negara Indonesia sebenarnya relatif rendah untuk bisa membiayai belanja negara. Itu sebabnya anggaran pemerintah menjadi defisit 4,65%.
Kalau penerimaan pajak masih kurang, lalu bagaimana belanja pemerintah bisa tertutupi? Maka kita akan masuk ke bagian pembiayaan anggaran.
Terlihat jelas bahwa dibutuhkan penerimaan sebesar Rp 868,6 triliun supaya belanja pemerintah bisa tertutupi. Secara teknis, inilah yang kita kenal dengan nama utang pemerintah yang timbul pada pelaksanaan APBN 2021. (*Lulusan S2 Keuangan, Ekonomi dan Manajemen dari University of Bristol, United Kingdom)