Oleh: Ahmad Fauzi*
Negeri yang tertutup oleh dunia luar, dikuasai oleh bajak laut Binatang Buas, rakyatnya terpinggirkan bahkan rakyat itu meminum racun hasil limbah eksploitasi sumber daya alam dan pengolahan persenjataan. Inilah kondisi yang menggambarkan nasib yang dialami rakyat Wano dalam serial anime One Piece.
Penduduk Wano, terutama di daerah pinggiran yang jauh dari Ibu Kota Bunga, mengalami penindasan akibat penaklukan yang dilakukan oleh Kaido dengan memanfaatkan Kurozomi Orochi sebagai bidaknya untuk menjadi Shogun yang memimpin Negeri Wano. Alhasil Kotsuki Oden yang seharusnya memimpin Negeri Wano dibunuh dan rakyat-rakyatnya terlantar, tinggal di gubuk-gubuk tua, di tanah gersang, tidak mendapatkan akses makanan yang layak dan tidak ada harapan hidup bagi generasi setelahnya.
Hal ini serupa dengan yang dialami oleh Negeri Kutai atau Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), di mana negeri yang damai ini, daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah, hutan yang banyak, tanah yang luas, lautan yang kaya, sungai yang panjang, cadangan minyak dan batu bara yang tinggi hingga menjadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, kini mengalami nasib yang sama seperti masyarakat di Negeri Wano.
Sama halnya dengan penjajahan yang dilakukan Kaido terhadap Negeri Wano, awalnya Kukar ditaklukkan melalui kolonialisme pada tahun 1844. Belanda berhasil mengusai Tenggarong yang menjadi pusat pemerintahan Kutai. Sultan Muhammad Salehuddin I terpaksa menandatangani perjanjian Tepian Pandat Traktat. Perjanjian itu menjadikan Kesultanan Kutai Kartanegara tunduk kepada Belanda.
Kekayaan kerajaan ini dikeruk hingga pada tahun 1863 Sultan Sulaiman memimpin Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura menggantikan ayahnya, Sultan Muhammad Salehuddin I. Ia melakukan reformasi administrasi besar-besaran di Kesultanan. Sultan Sulaiman dibantu oleh ahli hukum dan administrasi yang merupakan Perdana Menteri yang bernama Aji Sayid Hamid bin Ja’far Baraqbah yang bergelar Pangeran Sukmawira III, yang menertibkan izin-izin pertambangan batu bara, bahkan menggugat Belanda di mahkamah internasional sehingga Belanda membayar royalti sebesar 60.000 gulden per bulan kepada Kesultanan Kutai Kartanegara.
Kutai Kartanegara Ing Martadipura pernah ditaklukkan, namun bangkit melawan dengan kekuatan dan kecerdasan para tokoh saat itu. Ini fakta sejarah yang bisa dijadikan pelajaran bagi generasi sekarang.
Kini, zaman berubah dan pola dominasi kekuasaan politik serta ekonomi pun ikut berubah. Kutai Kartangera Ing Martadipura pada tahun 1947 dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara telah bergabung dengan NKRI hingga terbitlah Peraturan tentang Pemerintah Daerah dari tahun 1999 hingga mengalami perubahan di tahun 2014, yang intinya mengatur tentang kewenangan-kewenangan daerah. Peraturan ini sering disebut dengan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Setelah sekian lama melebur menjadi satu kesatuan dalam Republik Indonesia hingga saat ini, Kukar masih mengalami diskriminasi pembangunan dan pembagian hasil yang relatif rendah. Sedangkan daerah mempunyai penghasilan sumber daya alam yang tinggi dari investasi nasional dan asing yang begitu besar pada minyak dan batu bara. Yang tak kalah unggul adalah daerah ini begitu luas. Karena itu, Kukar mempunyai potensi-potensi yang bisa menghidupi Republik ini.
Sayangnya, setelah sekian lama daerah ini terpinggirkan, tidak sedikit media yang memberitakan tentang banyaknya jalan yang masih rusak parah antar-kabupaten, kecamatan dan desa; masih terdapat wilayah yang tidak mempunyai jaringan telekomunikasi; masalah air bersih, jaringan listrik, infrastruktur sekolah, dan problem lain di daerah kaya raya ini. Sebagaimana keluhan hampir semua daerah lain, selama ini pembangunan tersentral hanya di Pulau Jawa.
APBD Kukar yang hanya sekitar Rp 4 triliun tentu saja tidak mampu untuk membiayai membangun daerah yang luasnya 40 kali lipat dari luas Jakarta ini. Oleh karenanya, perlu ada keadilan pembangunan. Di situlah seharusnya pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan keuangan melalui APBN untuk lebih memprioritaskan pembangunan di Kukar.
Selama ini, Kukar dirugikan dengan pembagian hasil antara pusat dan daerah. Padahal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kukar mencapai Rp 162 triliun. Daerah yang merupakan salah satu penyumbang dana terbesar bagi Indonesia ini justru terpinggirkan. Negeri Wano atau Kukar terjajah untuk kedua kalinya.
Isu-isu tentang ketidakadilan ini berpotensi memecah belah bangsa ketika pemerintah mengabaikannya. Syukurnya, Kelompok Bajak Laut Topi Jerami atau pemerintah pusat era ini menetapkan kebijakan untuk membuka keterbatasan akses di daerah menuju keterbukaan peluang secara global dengan menempatkan ibu kota baru bernama Nusantara ke jantung Indonesia, yaitu Kalimantan Timur, yang secara historis lokasi tersebut merupakan bagian dari wilayah Kekuasaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam proses pemindahan IKN Nusantara tersebut bagi masyarakat lokal, di antaranya: pertama, infrastruktur bagi daerah-daerah penyangga IKN.
Tidak bisa dipungkiri IKN Nusantara adalah pembangunan kota yang berdampak pada dunia luar (global). Hal ini tertuang dalam kajian-kajian dan program pemerintah yang telah mendesainnya. Semua perencanaan itu akan tampak mewah jika daerah-daerah penyangga setidaknya mempunyai infratruktur yang memadai dan berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah pusat, sebagaimana disampaikan di atas, harus mengupayakan pembangunan berskala besar melalui APBN di daerah penyangga.
Daerah penyangga juga harus mempersiapkan produk-produk infrastruktur apa saja yang bisa diperjuangkan dan yang bisa dieksekusi. Misalnya jalan, sekolah, fasilitas kesehatan, pariwisata, infrastruktur pertanian, dan lain-lain yang mempunyai dampak terhadap publik secara berkelanjutan. Juga perlu pemetaan dan pendataan potensi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang ditentukan secara teliti. Jangan sampai daerah penyangga, dengan adanya Ibu Kota Negara (IKN) mempunyai masalah kemacetan, banjir yang diakibatkan kesalahan dalam menata pembuangan air, dan masalah-masalah yang akan timbul di kemudian hari.
Kedua, investasi asing. Hal yang menjadi isu strategis dalam pembangunan IKN Nusantara adalah investasi. APBN saja tidak cukup untuk membangun IKN yang begitu luas. Pemerintah harus menetapkan standar berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi. Tidak boleh ada tangan Israel yang masuk dalam pembangunan IKN Nusantara. Mengingat negara itu adalah bentuk kolonial di era ini yang masih hidup dan dipertahankan oleh pemerintah dunia. Secara jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kita menyebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Pemerintah pusat harus memperhatikan posisi negara agar mempunyai kekuatan untuk mengelola pembangunan itu. Jangan sampai investor yang mendikte negara. Jika itu yang terjadi, apa bedanya kita dengan Orochi yang diatur oleh Kaido yang berefek pada kesengsaraan rakyat? Di sinilah nasionalisme elite Istana diuji.
Ketiga, Kepala Otorita dan Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara. Presiden Jokowi selaku kepala pemerintahan, jika memutuskan sesuatu, pasti berdasarkan riset dan kemaslahatan bangsa. Apalagi sesuatu yang bersifat urgen seperti penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN setingkat kementerian ini. Pertimbangan akan investasi, keamanan, kelancaran proses pembangunan dan lain-lain harus ditangani oleh orang yang tepat. Orang yang loyal dengan kepentingan negara; negarawan sejati; progresif; tidak memandang suku ras agama, melainkan kompetensi dan kualifikasi; orang yang mempunyai track record yang jelas dengan karya-karya nyata; orang yang mampu mengondisikan potensi-potensi konflik rasial yang akan muncul di kemudian hari.
Presiden Jokowi harus lebih mendalami tokoh-tokoh daerah dan putra bangsa yang mempunyai kompetensi tersebut. Jokowi harus beraliansi dengan Kozuki Momonosuke yang sudah mempunyai pengikut yang loyal dan sistem yang jelas untuk mengusung Shogun di IKN Nusantara.
Keempat, pemberdayaan masyarakat yang proporsional. IKN Nusantara selayaknya menjadi rumah besar Indonesia. Di mana semua etnis, suku, agama dilibatkan dalam proses pembangunan dan pengelolaannya. Jangan ada monopoli kelompok dan kekuatan ekonomi tertentu untuk menguasai potensi-potensi di sana. Jangan ada kesenjangan sosial ekonomi di dalamnya. Jadikan semuanya merasa memiliki IKN ini.
Langkah yang perlu menjadi prioritas pemerintah pusat adalah melakukan peningkatan kualifikasi SDM lintas profesi, terutama di daerah penyangga IKN agar menghilangkan kecemburuan sosial antar sesama anak bangsa.
Kelima, identitas. Dengan terealisasinya IKN Nusantara, bukan berarti identitas lokal dihilangkan dari roadmap pembangunannya. Karena itu sama halnya dengan genosida kultural. Suku Kutai yang jauh hari mempunyai peradaban di sana, suku Dayak, Paser dan lain-lainnya harus mempunyai tempat untuk terus dilestarikan dalam IKN Nusantara. Ada monumen-monumen dan ruang (space) khusus bagi mereka untuk mengembangkan kearifan lokal yang mengglobal ini.
Pembangunan identitas kultural dengan kearifan lokal tersebut justru merangsang seluruh elemen bangsa untuk belajar, saling berbagi (sharing) kekayaan budaya, bersatu dan berkolaborasi membangun IKN Nusantara.
Pembangunan ini tidaklah mudah dan memerlukan uluran tangan seluruh elemen anak bangsa. Kukar dan masyarakat Kalimantan Timur secara sosio-kultural terbukti terbuka dengan kehadiran seluruh anak bangsa. Keterbukaan ini perlu diapresiasi secara khusus dengan regulasi-regulasi yang bijak agar nuansa kekeluargaan anak bangsa bisa terus berlanjut. (*Chief Executive Officer Beritaalternatif.com)