Oleh: Dr. Dina Sulaeman*
Menlu Italia pekan yang lalu mengatakan, “Membiarkan Gaddafi dibunuh adalah kesalahan yang sangat serius. Dia mungkin bukan juara demokrasi, tetapi begitu dia tumbang, ketidakstabilan politik terjadi di Libya dan Afrika.”
Yang disebut Tuscany “ketidakstabilan politik” adalah penghalusan dari situasi sebenarnya.
Libya diinvasi NATO pada tahun 2011. Pada tahun 2010, HDI Libya berada di peringkat 57 dunia, dan ini HDI tertinggi di Afrika. Ini adalah posisi yang jauh lebih baik daripada Indonesia yang baru sampai di peringkat 112 di tahun yang sama.
Dalam situs UNDP dicantumkan bahwa pengukuran Human Development Index (HDI) dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kehidupan manusia, dengan berbasis tiga hal berikut ini: kehidupan yang sehat, panjang umur, dan kreatif; memiliki pengetahuan, serta memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk memiliki kehidupan yang layak.
Pada 2010, pendapatan per kapita penduduk Libya adalah US$ 14.582. Bandingkan dengan Indonesia pada saat itu yang hanya US$ 2.149. Warga Libya menikmati pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta subsidi berlimpah di sektor energi dan pangan.
Invasi NATO didahului oleh aksi-aksi demo-demo anti-pemerintah oleh para “mujahidin” Libya yang berafiliasi dengan Al-Qaida. Lalu, setelah terjadi bentrokan senjata dengan tentara pemerintah, mereka meminta kepada PBB untuk turun tangan, mengklaim telah terjadi “kejahatan kemanusiaan”.
Hanya dalam waktu sebulan, di luar kewajaran, Dewan Keamanan PBB merilis Resolusi 1973/Maret 2011, yang memberikan mandat kepada NATO untuk memberlakukan no fly zone. Praktis resolusi ini memberi kesempatan kepada NATO untuk membombardir Libya. Negara yang pernah dijuluki “Swiss-nya Afrika” itu pun luluh lantak. Qaddafi terguling dan korporasi multinasional pun berpesta-pora karena mendapatkan proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak di negara yang amat kaya sumber daya alam itu.
Qaddafi kemudian dibantai secara brutal oleh “mujahidin” di tengah-tengah situasi invasi NATO. NATO (yang dipimpin AS) selalu mendengung-dengungkan alasan bahwa invasi NATO diperlukan untuk melindungi warga sipil dari ancaman Qaddafi tapi sebuah penyelidikan oleh House of Commons Inggris mengakui bahwa “ancaman terhadap warga sipil terlalu dibesar-besarkan”, dan bahwa kekuatan Barat telah mengabaikan bahwa ada “unsur Islamis” di kalangan militan anti-Gaddafi. Maksudnya, mereka mengakui bahwa ada Al Qaida alias teroris yang angkat senjata di Libya.
Jangan lupa, di masa itu, Hizbut Tahrir dan radikalis di Indonesia mengelu-elukan upaya penggulingan Qaddafi ini, kata mereka, Qaddafi adalah thaghut dan firaun.
Apakah kemudian “mujahidin” ini berhasil mendirikan khilafah impian mereka setelah Qaddafi terguling? Tidak. Justru kini negeri yang pernah termakmur di Afrika itu jadi dipenuhi perang, berbagai faksi saling bertempur memperebutkan kekuasaan.
Jangan lupa pula, “mujahidin” Libya tahun 2011 itu langsung dikirim ke Suriah untuk mendirikan milisi-milisi jihad menggulingkan Assad; tapi berkat persatuan rakyat Suriah, dan bantuan Rusia, Iran, dan Hez, skenario “Libya kedua” itu gagal.
Dampak lainnya dari invasi NATO ke Libya, terorisme yang mengatasnamakan Islam bangkit di Afrika. Mereka pakai nama Negara Islam (Islamic State), bukan lagi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Tapi, ya sama saja ideologi dan cara-cara terornya: sama saja, yang diserang justru sesama Muslim yang mereka kafirkan; bukannya para imperialis Barat yang ratusan tahun mengeruk kekayaan alam negeri mereka.
IS alias ISIS, alias nama-nama lokal (misal, di Nigeria punya nama “Boko Haram” awalnya gerakan lokal, lalu bersekutu dengan ISIS) merajalela ke berbagai negara Afrika.
Khusus untuk negara-negara bekas jajahan Prancis di Afrika Tengah, seperti Niger, Mali, dan Burkina Faso, Prancis mengirimkan militernya dengan alasan “membantu memerangi ISIS”.
Namun, ISIS malah semakin merajalela, padahal konon Prancis punya militer sangat kuat. Ini seperti yang terjadi di Suriah dan Irak, AS datang sejak 2014 mau melawan ISIS tapi ISIS semakin luas wilayah kekuasaannya. ISIS baru kalah setelah Rusia, Iran, Hez, bersama militer Irak dan Suriah, dan milisi-milisi sukarelawan rakyat sejak 2015 bahu-membahu berperang melawan ISIS.
Kini, rakyat Niger bangkit melawan. Pertama, mereka menggulingkan pemerintahan yang pro-Prancis dan Barat. Lalu mereka mengusir tentara Prancis keluar.
Mereka bertekad akan melawan ISIS dengan kekuatan sendiri. Tapi, tujuan Prancis di Niger bukan melawan ISIS, melainkan untuk mengendalikan Niger, supaya lebih leluasa mengeruk kekayaan alam negeri itu.
Prancis dan AS memaksa negara-negara Afrika lainnya–yang masih mau tunduk—untuk menyerang Niger. Banyak pengamat yang memperingatkan, kalau Niger diperangi, akan terjadi Libya kedua. Kekacauan dan bencana kemanusiaan akibat penghancuran Libya oleh NATO + jihadis masih belum beres; apa mau ditambah lagi dengan kekacauan baru di Niger?
Burkina Faso dan Mali, sudah pasang badan. Rusia juga sudah kasih peringatan. Aljazair sudah kasih pernyataan: tidak akan mengizinkan Prancis melewati udaranya untuk menyerang Niger. Rakyat Afrika juga sudah punya kesadaran soal kejahatan imperialisme Barat yang berkolaborasi dengan elite lokal; sehingga mereka memprotes pemerintah mereka yang masih mau tunduk pada Barat.
Kali ini, Niger tidak sendirian; tidak seperti yang terjadi di Libya dulu. (*Pengamat Politik Internasional)