BERITAALTERNATIF.COM – Karena karya-karya ilmiahnya—dan terutama bakat intelektualnya yang luar biasa, dan pemikirannya yang berkecenderungan modern, tetapi sekaligus sosialis-religius—ia pun oleh generasi Masyumi yang lebih tua, sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan Mohamad Natsir, sehingga di masa ini ia pun dikenal sebagai “Natsir Muda”, sampai saatnya pada 1970, mereka, golongan tua, kecewa akibat makalah Cak Nur yang mempromosikan paham sekularisasi.
Kita akan melihat gagasan-gagasan apa yang muncul pada masa ini, yang kelak akan membuat sosok Cak Nur ini menjadi pemikir muda pada 1970—walaupun awalnya ia mendapat reputasi buruk akibat tulisan yang disajikan pada 3 Januari 1970, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”
Cak Nur, pada 1968, merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi. Pengertian Cak Nur tentang “modernisasi sebagai rasionalisasi”, dimaksudkan sebagai dorongan kepada umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi kepada ilmu pengetahuan. Dalam tinjauan Islam, menurutnya, modernisasi itu berarti “berpikir dan bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia.”
Dengan kata “rasional” di sini, Cak Nur tak perlu dikaitkan dengan aliran rasional klasik Islam seperti Mu’tazilah, karena itu hanyalah salah satu bentuk saja dari kemungkinan teologi rasional. Pengaitan Cak Nur dengan Mu’tazilah misalnya—yang sering dilakukan para pengkritiknya—akan membuat salah paham terhadap pengertiannya mengenai “rasionalnya” Cak Nur ini. Rasional seperti yang dimaksud Cak Nur, pada hakikatnya berkaitan dengan “penerapan ilmu pengetahuan”—yang kemudian berarti penerjemahan al-islâm dalam terma ilmu—yang menurutnya merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban mutlak, karena merupakan proses penemuan kebenaran-kebenaran mencapai Kebenaran Mutlak, yaitu Allah.
Pikiran yang berasal dari masa ketika ia menjadi Ketua Umum PB HMI 1966-1969 itu, tentu saja bukanlah suatu “rasionalisme”, karena ia memang mengkritik rasionalisme sebagai “paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis.” Sebab “Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran”. Meminjam istilah Karl R. Popper, pemikiran Cak Nur kira-kira sejenis “rasional(isme) yang kritis.”
Maksudnya, ia menganggap Kebenaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dicapai dalam proses. Kebenaran (dengan K besar) adalah tujuan, yang boleh dikatakan, karena keterbatasan manusia tak akan dapat dicapai secara penuh, tapi harus terus-menerus dicari, dan terus maju ke depan, menguak batas-batas akal-budi. Pencarian (dan “penyerahan diri”) yang terus-menerus tentang Kebenaran (al-islâm) itulah yang disebutnya sebagai “sikap yang modern”.
Sebenarnya, artikel Cak Nur yang dipresentasikan pada pertemuan silaturahim antara para aktivis, anggota, dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu Persami, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970, di mana Cak Nur menulis artikel yang berjudul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang kemudian menimbulkan perdebatan besar mengenai sekularisasi-sekularisme, adalah kelanjutan dari pemikirannya sejak 1968 itu. Menurut Cak Nur, tidak seperti yang diduga beberapa pengamat, apa yang ditulisnya itu benar-benar merupakan kelanjutan saja dari pemikiran sebelumnya. Tidak ada suatu paradigm shift yang menggambarkan pergeseran orientasi Cak Nur dari seorang pemikir “konservatif” misalnya, kepada pemikir “liberal”, misalnya yang pernah dikatakan Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam, dan menjadi pandangan para pemikir HMI Yogyakarta pada waktu itu, seperti Djohan Effendi dan M. Dawam Rahardjo.
Dalam artikel “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Cak Nur menggambarkan persoalan-persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyangkut integrasi umat akibat terpecah belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Cak Nur dengan jargon “sekularisasi”—nya dan “Islam, Yes; Partai Islam, No?” hendak mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah, ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu istilah Cak Nur sendiri, psychological striking force (daya tonjok psikologis) yang menumbuhkan pikiran-pikiran segar.
Artikel ini, yang selanjutnya menimbulkan kontroversi besar—dan sempat membuat Cak Nur kehilangan reputasi baik, di kalangan tua yang konservatif—menarik untuk dibahas dan diberikan konteks dalam keseluruhan pemikirannya. Karena artikel ini sangat substansial—termasuk artikel-artikel yang menyusul, yang memberi penjelasan dan elaborasi dari artikel ini, yaitu “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, yang muncul tidak lama setelah heboh kertas kerja 3 Januari 1970 itu, dan “Sekali Lagi tentang Sekularisasi” (1972), juga “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” (1972) dan “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” (artikel ditampilkan dalam acara sastra Dewan Kesenian Jakarta, 28 Oktober 1972).
Pembahasan tentang gagasangagasan liberal awal Cak Nur ini, akan dituliskan kemudian, menyangkut pandangan-pandangan Cak Nur mengenai Islam di Indonesia. Dalam bagian ini, cukuplah digambarkan suasana yang diakibatkan dari diskusi-diskusi atas artikel-artikel tersebut, seperti diceritakan sendiri dalam penggambaran pribadi, oleh Cak Nur dalam suatu artikel “The Issue of Modernization among Muslim in Indonesia: From a Participant’s Point of View”, yang menjadi bahan diskusi di Amerika Serikat, pada 1979. Berikut akan dikutipkan panjang untuk melihat gambaran suasana pada waktu itu.
“Pada tahap-tahap permulaan, pembahasan mengenai modernisasi terbatas pada kalangan anak-anak muda Muslim yang bergabung di dalam keempat organisasi yang telah disebutkan (Persami, HMI, GPI, dan PII). Tapi, berbeda dengan kesan umum, kami selalu menyatakan bahwa diskusi tentang masalah tersebut hanya melibatkan individu-individu yang tidak mesti mewakili pandangan-pandangan organisasi dari mana ia berasal. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar diskusi tersebut berjalan secara bebas dan terbuka, dan tidak menjadikannya sebagai semacam kursus yang kaku, atau semacam indoktrinasi. Isu tersebut telah menjadi perhatian di kalangan seluruh pemuda Muslim, dan sebagaimana diharapkan dan diduga, anggota-anggota dari HMI berdiri di bagian terdepan di dalam diskusi di atas, dan kemudian diikuti oleh anggota PII”.
“Pada tahap berikutnya, pembahasan masalah tersebut telah melibatkan setiap orang, baik dari generasi muda maupun generasi tuanya. Di samping reaksi-reaksi yang bersifat lisan, yang disampaikan dalam bentuk tabligh dan khutbah Jumat, dua buku ditujukan untuk memberikan bantahan atau komentar terhadap gagasan saya mengenai pembaharuan atau reformasi. Yang pertama berjudul Pembaharuan Pemikiran Islam, berisikan tulisan saya dan komentar atau reaksi dari wakil-wakil organisasi-organisasi lain di luar HMI. Buku ini diterbitkan oleh Islamic Research Institute, tahun 1970. Buku kedua berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, berisikan analisis beliau yang tajam dan kritis terhadap gagasan-gagasan saya. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1972 oleh penerbit terkenal, Bulan Bintang, yang pimpinannya adalah seorang anggota Masyumi”.
“Tiga hal tampak di hadapan saya menyangkut komentar keras Rasjidi, dan reaksi pahitnya terhadap gagasan-gagasan saya. Pertama adalah diskusi keras yang diselenggarakan oleh pimpinan HMI dan PII pada bulan Agustus 1972. Diskusi tersebut diselenggarakan dengan ketidakhadiran saya, ketika saya sedang mengadakan kunjungan ke beberapa negara Asia, sementara pihak panitia penyelenggara tidak memberitahukan saya sebelumnya. Sebagai akibatnya, absennya saya di dalam diskusi tersebut—yang pertama kali diadakan bersama generasi tua seperti Rasjidi—dijadikan alasan oleh beberapa orang peserta yang menyangka, bahkan menuduh saya sebagai pengecut”.
“Insiden kedua adalah elaborasi yang secara lebih jauh di dalam gagasan sekularisasi di dalam buletin yang diterbitkan oleh saya dan kawan-kawan pada tahun 1972. Nama buletin tersebut adalah Arena. Yang ketiga adalah penyajian makalah saya pada tanggal 30 Oktober 1972 di auditorium Taman Ismail Marzuki. Tema pembicaraan pada saat itu adalah Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”.
“Tetapi pada analisis finalnya, koreksi Rasjidi memperlihatkan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap Islam di Indonesia, dan timbul dari hasratnya yang tinggi untuk ‘menyelamatkan’ generasi muda Muslim di negara ini (bukunya didedikasikan kepada pelajar-pelajar Muslim). Meskipun demikian, saya tidak setuju dengan beberapa koreksi dan komentarnya. Untuk satu hal, sebagian besar dari koreksi dan komentar tersebut bersifat sangat personal. Walaupun demikian, atas nasihat seorang pimpinan kaum Muslimin yang sangat saya hormati, Abdul Ghaffar Ismail, saya tidak pernah menghubungi Rasjidi dalam bentuk bahan-bahan tertulis. Kami sampai pada kesimpulan bahwa semacam tanggapan akan lebih mengundang polemik yang berkepanjangan, yang bisa saja ongkos sosial politik yang harus dikeluarkan akan terlalu besar”.
“Menoleh ke belakang, melihat pengalaman-pengalaman pahit kami, saya berkeinginan sekali untuk tidak melakukan kesalahan taktis sebagaimana terjadi pada tanggal 2 Januari 1970. Biaya sosial yang dikeluarkan sangatlah mahal, dan kami menderita kerusakan reputasi kami yang sulit diobati di hadapan masyarakat Muslim. Jika saya bisa kembali ke zaman itu, saya pasti akan menggunakan pendekatan-pendekatan saya yang sebelumnya, yaitu penetrasi secara perlahan-lahan (penetration pacifique) atau ‘metode penyelundupan’ di dalam upaya memperkenalkan gagasan-gagasan baru. Metode inilah yang saya tempuh ketika menulis buku NDP”.
“Tetapi waktu telah lewat, dan saya beserta kawan-kawan telah berusaha mengadakan pemecahan terhadap banyak dan berbagai kesulitan, dan membangun kembali reputasi kami dalam hal kepercayaan masyarakat. Hal ini berjalan tanpa ada perubahan apa pun dalam komitmen kami mengenai perubahan sosial dan pembaharuan. Sejauh itu, para pimpinan Masyumi masih terus kami anggap sebagai sumber inspirasi. Kami tetap percaya bahwa para pimpinan partai politik yang telah dibubarkan itu, adalah orang-orang terbaik di negeri ini. Kehidupan mereka adalah contoh yang baik bagi para pemuda Muslim. Mereka adalah orang-orang yang dengan sangat berhasil telah mengkombinasikan unsur-unsur terpenting dari dua pandangan hidup: Islam dan westernisasi, atau dalam ungkapan yang lebih baik, Islam dan modernisasi. Dari Islam, mereka mempelajari kesalehan dan ketakwaan; dan dari Barat, mereka telah berhasil mengapresiasi gagasan-gagasan seperti demokrasi, hak-hak asasi, dan aturan-aturan hukum. Secara umum, mereka telah belajar mengenai hal-hal tersebut secara lebih baik daripada orang-orang Indonesia lainnya. Mereka adalah orang-orang yang akan dicatat sejarah sebagai orang-orang yang penuh kebijaksanaan dan jujur di Indonesia, dan saya berpendapat bahwa etika mereka adalah sangat dibutuhkan di dalam membangun kebijaksanaan ekonomi”.
“Dari sudut ini, reaksi pahit para pemimpin Masyumi terhadap gagasan modernisasi saya adalah sesuatu yang mengejutkan. Bagaimanapun juga, anggota HMI adalah para mahasiswa di perguruan tinggi yang secara natural mewarisi kepemimpinan Masyumi. Mereka adalah kelompok Muslim yang terdekat cara berpikirnya dengan Masyumi, yang paling memahami aspirasi-aspirasi mereka. Tetapi ada dua hal dari Masyumi yang tidak bisa disepakati oleh generasi Muslim yang lebih muda. Pertama, adalah gagasan mengenai apa yang disebut “Negara Islam”. Adalah merupakan keyakinan pokok kaum Muslim bahwa ajaran-ajaran agama mereka, mengilhami mereka di dalam seluruh aktivitas-aktivitas dunia ini, termasuk yang berhubungan dengan masalah-masalah kenegaraan atau politik. Tetapi untuk menyuarakan apa yang disebut Masyumi dengan negara Islam, bagi mereka adalah terlalu formalistik dan tidak fleksibel. Keberatan yang kedua, terletak dalam hal sikap keras kepala yang kaku dari pimpinan Masyumi di dalam menghadapi masalah-masalah politik praktis. Sikap tidak fleksibel ini membawa mereka untuk cenderung melihat persoalan secara hitam-putih; yaitu sejauh konsep halal dan haram, tindakan yang boleh atau terlarang dalam ajaran-ajaran Islam. Kami menganggap hal ini sebagai terlalu banyak campur tangan agama di dalam kejadian praktis sehari-hari. Sesungguhnya, jika saat itu para pemimpin Masyumi bersikap lebih fleksibel dan relativistik, maka posisi politis mereka akan lebih baik saat ini; dan implementasi dari kebijaksanaan pembangunan pemerintah pasti akan dipengaruhi oleh orang-orang yang lebih bijaksana dan jujur”.
“Tetapi waktu telah berlalu, ketika para pemimpin Masyumi mengabaikan hadis yang berbunyi, ‘Dalam masalah-masalah keagamaan, kamu harus bertanya kepada saya; tetapi dalam masalah-masalah keduniawian, kamu lebih tahu daripada saya.’ Kiai dan ulama adalah orang-orang yang menjadi tempat bertanya bagi masalah-masalah keagamaan, tetapi para pemimpin Masyumi—sesuai dengan latar belakang mereka—mestinya mengetahui lebih banyak mengenai masalah-masalah politik daripada guru-guru agama mereka. Dan itu merupakan salah satu gagasan terpenting yang kami—generasi muda—ingin merealisasikannya. Tetapi pada waktunya, sungguh menyedihkan bagi kami, nyata bahwa terma-terma yang kami pergunakan di dalam pembahasan kami mendatangkan dampak yang lebih jauh, dari apa yang kami maksudkan. Bahkan di negara-negara yang lebih maju, terma-terma sekularisme dan sekularisasi masih ditanggapi secara emosional dan kontroversial—sesuatu yang kami ingin melupakannya”.
Kalau melihat gagasan pemikiran Cak Nur mengenai sekularisasi ini, sebenarnya ide sekularisasi pada mulanya dimaksudkan sebagai “devaluasi” atau “demitologisasi” atas apa saja yang bertentangan dengan ide tawhîd, yaitu pandangan yang paling asasi dalam Islam. Jargon Cak Nur yang terkenal, “Islam, Yes, Partai Islam, No”, misalnya mau mengatakan, partai Islam itu (sekarang) bukan hal yang esensial, dan (sama sekali) tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna “sekularisasi”, yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang profan, sebagai profan. Politik Islam yang tadinya dianggap “sakral”, yaitu merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang “didesakralisasi”. Tapi ternyata kemudian salah paham atas ide ini terus meluas dan bergulir menjadi polemik bahkan koreksi. Karena itu, gagasan yang sudah digulirkan pun menjadi tidak berkembang secara produktif. Maka dari itu, kita perlu melihat latar belakang sosiologis apa yang mendorong Cak Nur menggunakan kata kunci sekularisasi sebagai upayanya untuk apa yang nanti disebut “pembaruan pemikiran Islam” di Indonesia. Apalagi kemudian Cak Nur juga dituduh seperti menjustifikasi gagasan pembangunan Orde Baru, yang konsepnya dibuat Ali Moertopo Cs. dari CSIS.
Tentang hal ini Cak Nur mengatakan: “Mengenai pandangan beberapa pengamat bahwa pemikiran saya saat itu menjustifikasi tatanan sosial politik Orde Baru, saya kira pengaruh itu memang ada. Karena seperti kata pepatah Perancis, ‘Kawan dari kawan saya adalah kawan saya. Musuh dari musuh saya adalah kawan saya.’ Karena kebetulan waktu itu Orde Baru tidak cocok dengan Masyumi, dan saya tidak cocok dengan Masyumi, maka sepertinya saya menjadi ‘teman’ dari Orde Baru. Di situ ada persoalan klaim. Itu terutama klaim-klaim dengan gaya covert operation; intelijen. Mereka biasa selalu mengklaim, ‘O, itu orang saya.’ Jadi ada paralelisme saja”.
“Saya sendiri sangat sadar bahwa pemikiran saya itu menjustifikasi Orde Baru. Tapi, alternatifnya, pilihan lainnya buruk sekali, macet sama sekali. Jadi, kalau dihitung pilihan harga, pilihan itu masih lebih murah. Dengan demikian, sebagian kritik orang terhadap makalah saya itu sebagian dipengaruhi oleh motif itu, yaitu kemarahan orang terhadap Orde Baru. Dan memang waktu itu Soeharto benci sekali terhadap orang Islam. Soeharto itu betul-betul abangan, tipe yang sengit terhadap Islam santri. Dengan Pak Natsir saja dia tidak mau berjabat tangan. Sampai sejauh itu sikap Pak Harto”.
“Jadi kita bisa mengerti kemarahan mereka itu dari segi psikologi politik. Cuma memang karena situasinya seperti itu, yang kita harapkan terjadinya dialog yang dingin tidak dapat terlaksana karena yang dominan itu psikologi politik, sehingga bersifat emosional. Susahnya di situ”.
“Berkenaan dengan tuduhan bahwa saya merupakan bagian dari CSIS karena ide-ide saya sejalan dengan, misalnya, kebijakan tentang parpol, yang didesain oleh Ali Moertopo Cs., saya kira hal itu hanya kebetulan saja, kebetulan paralel saja. Lagi pula substansi pemikiran saya yang bisa dirujuk sangat sedikit sekali, kalau bukan tidak ada sama sekali. Kecuali bahwa partai itu tidak boleh lagi mengklaim simbol-simbol eksklusif terutama simbol keagamaan. Itu saja, yang barangkali digunakan oleh mereka [yang melontarkan tuduhan]. Mengenai komentar para analis semisal William Liddle yang mengatakan bahwa kemenangan kelompok Islam ‘modernis’ antara lain karena didukung atau berjalan bersamaan dengan kebijakan politik ekonomi pemerintah Orde Baru, menurut saya, itu hanya menyangkut masalah statistik. Karena sebagian besar bangsa Indonesia adalah umat Islam, maka sebagian besar yang menerima benefit itu adalah umat Islam. Kemudian dari kelompok umat Islam ini, sebagian besar yang memiliki kemampuan teknis untuk menyerap itu ialah mereka yang biasanya diidentifikasikan sebagai kaum modernis, untuk tidak mengatakan golongan menengah. Tetapi, itu sama saja dengan mengatakan bahwa kemajuan China sekarang itu berkat politik Orde Baru. Demikian pula kemajuan Kristen berkat Orde Baru. Kemajuan pesantren juga bisa dikatakan berkat Orde Baru. Sama saja”.
“Tetapi sebaliknya, saya juga sangat tidak yakin bahwa sekiranya kita mengeluarkan pikiran-pikiran yang bisa dikatakan mendukung kelompok-kelompok yang menentang Orde Baru (misalnya, kelompok Dewan Dakwah waktu itu), hasilnya akan baik. Saya kira hasilnya malah akan hancur-hancuran. Sebab hal itu merupakan psikologi penciptaan solidaritas karena de-fence mechanism. Kalau Soeharto, yang notabene bisa di-extend menjadi militer, diserang terus dengan menggunakan gaya-gaya mereka [kelompok Islam itu], maka Soeharto dapat menjadi semakin keras. Jadi orang seperti Benny [Moerdani] akan mendapatkan semacam legitimasi”.
“Boleh dikatakan sekarang ini wacana Islam itu menjadi wacana nasional, wacana umum. Di kalangan militer pun sekarang tidak tabu lagi untuk mengutip ayat-ayat Alquran dan sebagainya, seolah-olah di dalam HMI saja. Makanya secara simbolik menarik sekali bahwa jargon-jargon HMI menjadi jargon nasional, seperti wa billâhi al-tawfîq wa al-hidâyah itu. Memang semua itu bersifat hipotetis. Dan biaya yang dibutuhkan untuk membuktikan bahwa hipotesis mereka itu benar, mahal sekali”.
Karena itu, membaca pikiran Cak Nur memang tak bisa secara sepotong-potong, diperlukan suatu frame yang diharapkan bisa memberi terang dan konteks atas pikiran-pikirannya yang tersebar. (*)
Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid