Oleh: Ibrahim Amini*
Kita telah katakan bahwa definisi pendidikan ialah mengembangkan dan mengantarkan maujud (makhluk) secara bertahap kepada kesempurnaan, dan mengubah potensi dirinya menjadi kemampuan nyata. Berdasarkan definisi ini maka seluruh maujud kasatmata, yaitu manusia, tumbuhan dan bahkan benda mati menjadi objek pendidikan. Karena mereka semua bergerak pada jalan menuju kesempurnaan dan mengubah berbagai potensi dirinya menjadi kemampuan nyata.
Dengan begitu, maka objek pendidikan meliputi binatang, tumbuhan, benda mati dan manusia, namun yang akan menjadi objek pembahasan kita dalam buku ini hanya manusia.
Adapun berkenaan dengan pengajaran, maka kita harus katakan bahwa benda mati dan tumbuhan sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk belajar, sementara binatang sebagian mereka seperti burung kakaktua, monyet dan gajah mempunyai kemampuan belajar namun terbatas.
Manusia, Objek Pendidikan dan Pengajaran
Mengajar dan mendidik merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dan rumit, yang menuntut kecerdasan, keahlian, pengalaman dan pengetahuan yang luas. Oleh karena itu, para pendidik harus mengetahui beberapa poin berikut: Pertama, mengenal dengan baik esensi dan hakikat manusia; kedua, mengenal dengan baik berbagai potensi jiwa manusia; ketiga, berdiri teguh pada tujuan mendidik manusia sempurna, dan mengetahui betul tujuan yang harus diraih dalam mendidik dan mengajar manusia.
Keempat, mengetahui faktor-faktor dan fasilitas-fasilitas apa saja yang harus digunakan dalam usaha mencapai tujuan; kelima, mengetahui hal-hal yang merintangi pencapaian tujuan dan sekaligus mengetahui cara-cara mengatasinya.
Hakikat Manusia
Banyak sekali definisi dan penjelasan yang diberikan kalangan ilmuwan tentang esensi dan hakikat manusia. Sebagai contoh, sebagian dari mereka menganggap manusia tidak lebih dari seekor binatang yang tidak mempunyai perbedaan substansial dengan binatang-binatang lain.
Dalam keyakinan mereka, manusia adalah binatang yang telah memperoleh kesempurnaan namun belum melewati batas-batas kebinatangannya, sehingga seluruh perbuatan, perilaku, karakter dan bahkan ilmu dan pemikirannya tidak lebih bersumber dari pengaruh-pengaruh dan kebutuhan-kebutuhan materi.
Mereka meyakini manusia itu maujud materi dan hanya mempunyai satu dimensi, dan tidak mempercayai sedikit pun akan adanya ruh, dan bahkan mereka mengatakan bahwa ruh dan jiwa manusia tidak lebih bersumber dari reaksi kimiawi materi.
Atas dasar keyakinan ini lalu mereka mendefinisikan manusia sebagai hewan pembuat alat, hewan pembangun, hewan penghasil barang dan hewan yang dapat berbicara. Namun di sini, kita tidak bermaksud mengritisi definisi-definisi tersebut.
Di sisi lain, sekelompok ilmuwan lain menganggap manusia sebagai maujud yang bebas, spesial, luhur dan mulia, yang memiliki kelebihan substansial dari seluruh hewan yang lain. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan manusia sebagai berikut: Hewan yang mempunyai jiwa yang dapat berpikir dan memahami hakikat-hakikat universal. Jiwa dan akal inilah, yang merupakan zat dan hakikat manusia, yang menjadikannya berbeda dari seluruh hewan yang lain.
Seluruh nabi dan agama samawi mendefinisikan manusia seperti di atas, dan kita pun dalam pembahasan ini akan mengkaji manusia dari sudut pandang Islam.
Manusia, dari Sudut Pandang Filsafat
Manusia adalah maujud kompleks yang mempunyai beberapa dimensi wujud. Dari satu sisi, manusia adalah jisim unsur yang mempunyai sifat-sifat seperti: berat, panjang, lebar, kedalaman, bentuk, warna dan sifat-sifat lainnya.
Dari sisi lain, ia adalah jisim yang dapat tumbuh dan berkembang (jisim nâmi), yaitu makan, tumbuh dan melahirkan. Oleh karena itu, selain manusia merupakan jisim unsur ia juga mempunyai ruh tumbuhan yang membedakannya dari benda-benda mati.
Di sisi lain, ia juga seekor hewan yang mempunyai gerak, keinginan dan emosi. Dan, diri hewani inilah yang membuatnya berbeda dari benda mati dan tumbuhan. Untuk memahami dan berhubungan dengan objek luar ia juga mempunyai lima pancaindra lahir, yaitu kemampuan penglihatan, pendengaran, perabaan, perasaan dan penciuman.
Dari dimensi materi, manusia memiliki seluruh yang dimiliki jisim unsur, jisim nâmi dan hewan. Selain semua itu, manusia juga mempunyai permata yang sangat berharga yaitu yang dinamakan diri berakal (nafs ‘âqilah). Diri berakal manusia adalah maujud yang terbebas dari materi dan sifat-sifatnya, yang dengannya manusia dapat berpikir dan memahami hakikat-hakikat dan pemahaman-pemahaman universal.
Dengan permata yang sangat berharga inilah manusia memiliki kelebihan dari hewan-hewan lain, dan permata yang sangat berharga ini merupakan zat dan esensi manusia, bukan sifat yang dapat terlepas darinya. Oleh karena itu, manusia adalah spesies tersendiri yang dari sisi zat dan esensinya berbeda dari seluruh hewan lainnya.
Perlu saya sebutkan di sini bahwa manusia mempunyai banyak dimensi wujud, namun dari sisi zat ia tidak lebih dari satu hakikat. Bukan berarti bahwa diri berkembang (nafs nâmi), diri hewani dan diri insani pada manusia merupakan tiga wujud yang benar-benar ada dan manusia mempunyai tiga diri. Tidak demikian, melainkan yang dimaksud ialah manusia tetap hanya merupakan satu hakikat, namun hakikat yang mempunyai tiga peringkat wujud.
Peringkat terendah diri manusia adalah melaksanakan pekerjaan tumbuhan, peringkat yang lebih tinggi dari itu melaksanakan pekerjaan hewan, dan peringkat tertinggi adalah berpikir dan mengerjakan segenap pekerjaan manusia.
Pada saat mengatakan berat, bentuk, warna dan dimensi materi, maka ia sedang memberitahukan tentang peringkat jasmani atau jisim unsurnya. Pada saat ia mengatakan makanan, pertumbuhan dan melahirkan, maka ia tengah menceritakan tentang peringkat jisim nâmi-nya. Pada saat ia mengatakan gerak, keinginan dan emosinya, maka ia sedang memberitahukan tentang peringkat hewaninya. Dan pada saat ia mengatakan pemikiran dan pemahamannya, maka ia sedang menceritakan tentang ruh abstrak (mujarrad) dan peringkat kemanusiaannya.
Oleh karena itu, di samping manusia itu merupakan satu hakikat namun ia mempunyai beberapa diri: diri jasmani, diri tumbuhan, diri hewani dan diri manusia, namun yang menjadi substansi dan kelebihan manusia ialah diri manusianya.
Ruh manusia adalah substansi mujarrad yang berasal dari alam malakut yang tidak akan terkena kerusakan dan ketiadaan, dan akan tetap ada untuk selamanya. Ruh manusia adalah maujud mujarrad namun bukan mujarrad sempurna melainkan mujarrad tidak sempurna, yang dari sisi peringkat rendah wujudnya mempunyai kaitan dengan jisim dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan materi.
Oleh karena itu, manusia harus bergerak menuju kesempurnaan. Dari satu sisi manusia adalah hewan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan hewan, sementara dari sisi lain manusia adalah manusia dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manusia.
Maujud yang mengagumkan ini pada awal wujudnya tidak sempurna, namun secara bertahap ia membangun dan mengembangkan dirinya. Keyakinan dan karakter yang bersumber dari perbuatan dan gerak akan menyampaikan wujud manusia kepada kesempurnaan.
Masalah-masalah yang disebutkan di atas dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan diri (nafs) telah dibahas dalam buku-buku filsafat dan buku-buku ilmu kalam, dan para cendekiawan dan filosof Islam telah membahas masalah-masalah ini secara rinci dan panjang lebar, namun memasuki pembahasan tersebut akan membuat kita terhalang melanjutkan apa yang menjadi pokok pembahasan kita yaitu mengenai pendidikan dan pengajaran.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam masalah ini alangkah baiknya bagi para pembaca budiman menelaah buku-buku filsafat dan ilmu kalam, dan pembahasan ini kita lanjutkan dengan menjelaskan pandangan Islam dan Alquran tentang manusia.
Manusia dalam Pandangan Islam
Islam juga memandang manusia sebagai suatu maujud yang mempunyai beberapa dimensi, yang penciptaannya dimulai dari materi yang tidak mempunyai kecerdasan, namun setelah meniti peringkat-peringkat kesempurnaan ia berubah menjadi satu bentuk maujud yang lebih utama dari materi.
Allah Swt menggambarkan penciptaan manusia sebagai berikut, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang paling baik.” (QS. al-Mukminun: 12-14)
Pada ayat di atas, setelah menjelaskan tahapan-tahapan kesempurnaan materi manusia dan sampainya manusia kepada ujung batas potensinya dan menerima ruh mujarrad, Allah Swt berfirman, “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain.” Allah Swt menyebut makhluk baru itu dengan makhluk yang lain, yang berbeda dengan dasar ciptaan-ciptaan sebelumnya—yang merupakan ciptaan yang bersifat materi.
Maksudnya, ciptaan baru yang berbentuk diri manusia lebih baik dari ciptaan-ciptaan sebelumnya. Dengan kata lain, lebih sempurna dan terbebas dari materi. Di sini, penciptaan sesuatu yang mujarrad dari sesuatu yang materi dan berubahnya suatu bentuk materi menjadi bentuk mujarrad sungguh sesuatu yang sangat penting dan amat mencengangkan. Pada akhir ayat di atas Allah Swt berfirman, “Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang paling baik.” Perlu diperhatikan, bahwa Allah Swt menggambarkan penciptaan manusia dengan ungkapan ansya’ânu, yang berarti mencipta dengan tanpa perantara.
Pada ayat yang lain Allah Swt menjelaskan kisah penciptaan manusia sebagai berikut, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. as-Sajdah: 7-9)
Ayat di atas memberi isyarat kepada satu poin penting: Pertama, pada saat ruh manusia hendak ditiupkan, tubuh ini disempurnakan terlebih dulu dan begitu juga kemampuan menerimanya. Kedua, ruh manusia sedemikian penting dan berharganya sampai Allah Swt menisbahkannya kepada Diri-Nya. Maksudnya, ruh itu berasal dari alam yang tinggi dan mujarrad.
Pada ayat lain Allah Swt juga memberi isyarat kepada dua poin penting di atas, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr: 29)
Pada ayat ini pun Allah Swt menyebutkan kemampuan dan kelayakan materi sebagai syarat ditiupkannya ruh, dan memperkenalkan bahwa ruh adalah maujud luhur yang dinisbahkan kepada Diri-Nya. Dan disebabkan keistimewaan besar inilah manusia memperoleh kedudukan di mana para malaikat layak bersujud kepadanya.
Dalam ayat lain Allah Swt menyebut ruh manusia sebagai wujud terbaik, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra: 85)
Pada ayat di atas, Rasulullah saw diperintahkan bahwa dalam menjawab orang yang bertanya tentang ruh mengatakan, bahwa ruh adalah bersumber dari ciptaan khusus Tuhanku, yang tidak melalui tahapan waktu dan tidak membutuhkan perantara.
Berkenaan dengan ayat di atas, Almarhum Allamah Thabathaba’i melakukan pembahasan secara rinci dan mendalam tentang alam amr dan ruh. Beliau mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ruh dan amr. Dengan meneliti dan membandingkan di antara ayat-ayat tersebut, beliau menarik kesimpulan, bahwa amr yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut adalah perbuatan dan penciptaan Allah Swt yang tidak memerlukan kepada sebab-sebab dan faktor-faktor tabiat, serta tidak memerlukan kepada gerak, proses dan waktu, melainkan tercipta hanya dengan penciptaan takwînî dan semata-mata dengan kata kun (jadilah).
Allah Swt berfirman dalam Alquran Karim, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah’, maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Yasin: 82-83)
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman, “Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata.” (QS. al-Qamar: 50)
Oleh karena itu, penciptaan dengan satu perintah adalah lebih tinggi dan lebih baik dari penciptaan secara bertahap dan alami, karena tidak memerlukan kepada gerak, potensi dan waktu, melainkan dengan serta merta tercipta. Dengan demikian, maka perkara yang seperti ini sudah tentu terlepas dari materi dan waktu.
Atas dasar itu, Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah saw bahwa dalam menjawab orang yang bertanya tentang ruh cukup dengan mengatakan, ruh itu termasuk kategori amr (perintah), yaitu lebih baik dari materi, gerak dan waktu.
Dari ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah maujud mulia dan istimewa, karena hakikat dirinya terbentuk dari ruh mujarrad, yang merupakan maujud yang lebih baik dan lebih utama dari materi.
Masalah ke-mujarrad-an diri dan ruh manusia adalah masalah filsafat yang pelik yang membutuhkan pembahasan yang panjang, yang tentunya berada di luar pembahasan buku ini. Bagi kalangan yang berminat, mereka dapat merujuk kepada buku-buku filsafat, tafsir dan ilmu kalam. (*Tokoh Pendidikan Islam)