Oleh: Dina Sulaeman
Ada saja suara-suara yang bicara “perdamaian” dengan Israel. Memang, Israel ingin sekali membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sebagian orang Indonesia pro-Israel juga menginginkannya. Banyaklah iming-iming dari mereka, “Kita bisa mengakses kecanggihan teknologi Israel; kita bisa belajar teknologi pertanian Israel, bla..bla..bla..”
Buat Israel, jika saja Indonesia, negara dengan populasi-mayoritas-Muslim terbesar di dunia, mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel, ini akan jadi “kemenangan” diplomatik sangat besar bagi Israel.
Ibaratnya, mereka akan bilang, “Lihat nih, Indonesia yang Muslim aja mau damai kok sama kami, kenapa Palestina ga mau damai?!”
[Belum lagi, peluang bisnis yang besar bagi Israel. Orang Indonesia kan suka impor, apalagi mindset yang berusaha dibangun inlander banget: memandang Israel hebat, bahkan pertanian pun belajar ke Israel. Sungguh lucu.]
Ada orang-orang Indonesia yang bilang, “Kalau mau mendamaikan dua pihak, harus berteman dengan keduanya dong!”
Evaluasi atas kalimat ini sangat bergantung pada asumsi dasarnya: apakah isu Palestina-Israel itu “konflik” di mana kedua pihak setara dan saling berseteru sehingga perlu “didamaikan”?
Atau, Anda memandang bahwa ini isu penjajahan? Kalau ini urusannya penjajah vs terjajah, tentu solusinya adalah kemerdekaan di pihak terjajah. Ingat, hukum internasional mengakui hak pihak terjajah untuk melakukan perlawanan.
Yang masih bilang “ini konflik antara dua pihak yang setara; ini akarnya kebencian Muslim terhadap Yahudi; orang Muslim itu harusnya menghilangkan kebencian pada Yahudi”, harap tonton video ini (https://fb.watch/9Wwf9uj866/).
Di dalamnya, ada rekaman kejadian dua hari yang lalu di Sheikh Jarrah, para pemukim/pendatang Zionis melakukan aksi provokatif, mengata-ngatain orang Palestina dan mengusir mereka pergi dari Jerussalem timur.
Bagi para pemukim/pendatang ini, Jerusalem timur adalah “hak mereka”. Hak yang datang dari “kitab suci” mereka. (Jerusalem barat sudah sejak 1948 mereka duduki, melanggar Resolusi PBB 181/1947).
Atas landasan “kitab suci”, Yahudi-Zionis merasa berhak merampas tanah dan rumah bangsa Palestina, termasuk rumah orang-orang di Sheikh Jarrah ini.
Jadi, perdamaian macam apa yang bisa dihasilkan dari kondisi ini? Atau, mau bikin dialog antar-agama? Bagus juga sih, kalau berani menasihati orang Zionis dari sisi kesesatan teologi-versi-mereka (masa Tuhan membenarkan perampasan dan penindasan demi “tanah”?)
Yang saya tahu sih, selama ini yang disalah-salahin oleh mereka (yang suka bawa-bawa “dialog agama” sebagai solusi krisis Palestina-Israel) adalah orang Palestina melulu. Palestina diidentikkan sebagai Muslim yang benci Yahudi, sehingga mereka dinasihati agar “menjauhi kebencian.” Yang diajarin “welas asih” justru orang Palestina.
Cara pandang seperti ini jelas salah kaprah, dan menutupi masalah sebenarnya, yang terlihat jelas di video ini: settler colonalism (penjajahan oleh para pendatang/pemukim).
Kesalahkaprahan istilah “berdamai” dalam isu Israel-Palestina, sudah saya bahas di atas. Sekarang kita bahas “normalisasi.” Mengapa ada pihak yang mendorong Indonesia “menormalisasi” hubungan dengan Israel? Mengapa dipakai kata “normal”?
Kalau dalam teori resolusi konflik, normalisasi artinya mengembalikan hubungan diplomatik, kerja sama di bidang ekonomi, pengaturan keamanan, dll.
Tapi ada hal yang lebih “dalam” di balik kata “normalisasi” ini, yaitu “menganggap normal” atau “proses di mana gagasan dan perilaku yang mungkin berada di luar norma sosial menjadi dianggap normal.”
Status Israel adalah menjajah [dokumen resmi PBB dipakai istilah “occupy” atau “menduduki”] tanah bangsa Palestina. Israel melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan terhadap orang Palestina dan melakukan sistem apartheid. Karena dilandasi keyakinan bahwa ras Yahudi lebih unggul dan istimewa dibanding ras lain sedunia, Israel memberlakukan aturan-aturan apartheid terhadap orang Palestina. Human Rights Watch sudah melaporkan soal ini, April 2021.
Nah, Israel dengan berbagai cara berusaha “menormalkan” ini semua. Di antara caranya, membayar buzzer-buzzer pro-Israel. Cara lain, mengadakan event seni/hiburan berskala internasional. Misalnya, mengundang penyanyi terkenal dunia untuk show di Israel, atau yang terbaru, mengadakan Miss Universe 2021.
Menariknya, Miss Greece (Yunani) menolak hadir ke Israel. Jelas Miss Yunani ini tidak bisa dikatai “kadrun” oleh buzzer pro-Israel (kan biasanya itulah cara mereka menghina orang-orang pro-Palestina).
Miss Yunani bernama Rafaela Plastira ini menulis: “Saya tidak bisa naik ke panggung dan berpura-pura tidak ada yang terjadi sementara orang-orang [Palestina] berjuang untuk mempertahankan hidup mereka di luar sana.”
“Saya sangat sedih, karena saya menunggu bertahun-tahun untuk mewujudkan impian saya … Saya mencintai semua negara di dunia, tetapi hati saya bersama orang-orang yang berjuang untuk hidup mereka di Israel dan Palestina.”
[note: ada orang Palestina yang menjadi warga Israel, termasuk kaum Arab Badui; mereka mengalami diskriminasi/apartheid; ini dilaporkan antara lain oleh Human Rights Watch 2021]
Keputusan Rafaela Plastira ini disambut luas oleh para pendukung Palestina dari berbagai penjuru dunia. Lalu dia menulis lagi: “Sangat indah melihat betapa banyak cinta dan dukungan serta pengertian yang saya dapatkan dari kalian semua.”
“Palestina, kamu tidak hanya ada di pikiranku setiap hari, tetapi kamu memiliki tempat terindah di hatiku selamanya.”
Plastira juga menuliskan kalimat ini, “Kemanusiaan berada di atas kontes kecantikan.”
Sebaliknya, ada banyak Miss negara lain yang tetap datang ke Israel [untungnya Indonesia tidak mengirim wakilnya].
Para Miss itu mempromosikan “visit Israel“. Di salah satu foto terlihat salah satu promosinya, yaitu “jalan-jalan melihat kampung Arab Badui”. Mereka memakai “baju tradisional Arab Badui” (padahal itu baju tradisional Palestina) dan memasak “makanan tradisional Arab Badui” (padahal itu makanan tradisional Palestina).
Inilah upaya menormalisasi Israel secara budaya. Menciptakan citra bahwa Israel “sama saja dengan negara normal lainnya.” Padahal, jelas Israel bukan negara normal. Israel punya “basic law” (hukum dasar), yaitu: Israel adalah negara khusus untuk orang Yahudi [Israel as the Nation-State of the Jewish People]. Ini jelas sebuah rasisme terang-terangan.
Israel adalah negara pelaku “settler colonialism.” Secara rutin Israel mengadakan program “pulang kampung” (Aaliyah), orang-orang Yahudi dari berbagai negara didatangkan, dijadikan warga Israel, lalu ditempatkan di perumahan-perumahan ilegal di Tepi Barat.
[Note: perumahan ilegal/illegal settlement adalah pelanggaran hukum internasional; sudah berkali-kali dikecam oleh resolusi PBB. Harap maklum, PBB memang cuma bisa mengecam, tapi minimalnya secara hukum internasional ada dokumen resmi soal kejahatan Israel ini].
Nah, apakah bangsa Indonesia, yang katanya “menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moral” kalah cerdas dan kalah empati dari Miss Yunani? Apa mau “menormalisasi” Israel? Jelas tidak. (*Pengamat Timur Tengah)