Oleh: Dr. Muhsin Labib
Alkisah, ada seorang teman yang suka membuat konten video. Namanya cukup populer. Ia cukup konsisten menyuarakan ajakan melawan intoleransi. Sampai di sini, dia oke.
Tapi, kemarin ia membuat konten video yang sepertinya lebay. Entah kenapa, ia memuji UEA yang menyumbangkan masjid mewah, megah dan glamour dengan ragam sebutan manis. Yang pasti, katanya, UEA itu sukses dalam hal moderasi dan toleransi, membangun kesejahteraan, sistem profesional. Lebih absurd lagi, ia malah memvonis dengan ekspresi sinis beberapa negara lain, terutama Yaman yang sedang berjuang melawan penjajahan, sebagai negara gagal.
Pujian berlebihan kerap difungsikan sebagai pedang beracun bermata dua; selain mengglorifikasi satu pihak, juga dihunuskan sebagai sindiran, cemooh, dan hinaan terhadap pihak lain.
Padahal tak perlu melek geopolitik amat untuk paham bahwa kesejahteraan dan kemakmuran kerajaan yang berlagak republik di Teluk Persia ini justru dibangun dari puing-puing kehancuran Yaman yang diagresi UEA secara brutal. Lagi pula, kegagalan (kemelaratan) Yaman, yang kerap diolok-olok para penganjur toleransi (karena terbiasa mengidentikkannya dengan beberapa ekstremis yang dicap kadal gurun) adalah buah agresi, penjarahan, dan intervensi UEA dan saudara kembar minarkisnya, yaitu Arab Saudi.
Padahal, Yaman dengan kemelaratannya, adalah satu dari 8 negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia saat UEA belum lahir. (dikutip dari Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan oleh Yudi Latif, Sumber: Detik)
Terlepas dari fakta itu, orang mulia tak menghina agama, mazhab, daerah, negara, bangsa, suku, ras, bahasa, budaya, dan profesi apa pun atas dasar fakta partikular individu-individu. Karena, hanya orang hina yang menghina(kan) dan hanya orang mulia yang memuliakan.
Kumpulan orang-orang mulia adalah kelompok mulia yang diekspresikan dalam aneka frasa; masyarakat mulia, bangsa mulia, komunitas mulia, dan sebagainya.
Allah mengecam sikap arogan individual dan komunal. “Hendaklah sebuah kelompok tidak mencela kelompok lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS. al-Hujurat: 11)
Tak seorang atau kelompok pun, baik berupa bangsa, suku, etnis, ras, dan lainnya yang berhak menghina dan merendahkan kelompok lainnya dengan dasar fakta atau klaim keunggulan ekonomi dan sebagainya.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut, Allah Swt menegaskan bahwa keunggulan apa pun selain takwa adalah palsu dan irasional. Karena takwa adalah entitas abstrak yang tak kasat mata. Maka tak ada yang berhak mengklaim keunggulan. Dan karena hanya Tuhan sebagai juri tunggal yang berhak menilai dan menentukan siapa yang unggul dalam ketakwaan maka dunia bukan arena penentuan. Sesama manusia secara individual dan komunal tak berhak merasa unggul dalam ketakwaan.
Ketakwaan adalah situasi intelektual dan spiritual yang merupakan kombinasi dua elemen entitas abstrak sebelumnya, yaitu iman (kepercayaan) dan amal (pengamalan). Karenanya, kepercayaan dan pengamalan mendahului ketakwaan.
Karena penentuan nilai ketakwaan dilaksanakan kelak di akhirat, maka dunia diciptakan sebagai arena tanding bagi setiap insan untuk mencapai nilai tertinggi ketakwaan dalam kebaikan.
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. al-Maidah: 48)
Karena kehidupan dunia adalah masa kompetisi dalam kebaikan, maka kompetisi selainnya adalah palsu. Dus, klaim keunggulan atas nama bangsa atas bangsa lain, suku atas suku lain, dalam keunggulan ekonomi, teknologi, kesejarahan adalah absurd dan nihil.
Alih-alih balapan mengklaim keunggulan sebagai bangsa dalam kesejahteraan dan lainnya, bangsa yang mulia lebih sibuk menegakkan keadilan, melawan hegemoni global demi mempertahankan independensi, kedaulatan dan kehormatan sebelum kesejahteraan dan kemajuan teknologi dan lainnya. Inilah nasionalisme yang selaras dengan kerendahan hati dan kehormatan.
Orang hipokrit memuji seseorang dengan menghina orang lain. Orang tulus memuji seseorang tanpa menghina orang lain. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)