Oleh: Dedi Nala Arung*
Kata “maju” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring edisi V secara umum dibelah dalam dua definisi. Definisi pertama adalah definisi harfiah. Secara harfiah, kata “maju” dapat dibaca sebagai berjalan (bergerak) ke muka, mendesak pasukan pergi ke medan perang atau lulus dalam ujian. Di sisi lain, secara maknawi, kata “maju” juga dirumuskan sebagai pencapaian pada tingkat peradaban yang lebih tinggi atau telah mengalami perkembangan pemikiran atau berpikir dengan cara yang lebih baik. Sebagai kata dasar, kata ini memiliki banyak turunan, di antaranya memaju, memajukan, pemajuan dan berkemajuan.
KAHMI dalam acara hari ini memajang tema yang mengandung unsur kata maju. Pilihan katanya adalah berkemajuan. Kata berkemajuan ini jika kita lihat kembali ke dalam KBBI dijelaskan dengan kalimat “memiliki kemajuan”. Awalan “ber” dalam hal ini bermakna kata ganti kepunyaan, yang kemudian diartikan “memiliki” sehingga kata “berkemajuan” diartikan sebagai “memiliki kemajuan”. Penggalan kalimat pada tema kita hari ini adalah “Himpunan Yang Berkemajuan”. Kalau diartikan berdasarkan definisi KBBI, maka kalimatnya akan menjadi “himpunan yang memiliki kemajuan”.
Apabila kita melihat geliat dan sepak terjang organ-organ himpunan atau lebih khusus lagi geliat dan sepak terjang organ-organ KAHMI masa kini, maka seharusnya kita percaya bahwa himpunan ini adalah himpunan yang berkemajuan atau memiliki kemajuan. Ada banyak tumbuh dan berdiri gedung-gedung bagus sebagai kantor HMI dan KAHMI.
Di antaranya pada 1 November 2017 diresmikan gedung sekretariat bersama KAHMI-HMI dan Palangkaraya; 14 Desember 2019 dilakukan peletakan batu pertama kantor KAHMI Aceh; 31 Agustus 2020 Pak Jusuf Kalla meninjau pembangunan gedung KAHMI-HMI Bandung.
Kemudian ada banyak muncul pula tokoh-tokoh dengan seribu satu pemikiran dan gagasan sepanjang perjalanan HMI dan KAHMI. Banyak dari mereka yang menjadi inspirator rakyat atau minimal menjadi inspirator bagi komunitas dan keluarganya sendiri-sendiri. Mundur sedikit kebelakang, kita akan berjumpa nama-nama hebat seperti tuan Jimly Asshidiqie atau tuan Yusril Ihza Mahendra di bidang ketatanegaraan, ada tuan Artidjo Alkostar atau tuan Abdullah Hehamahua di bidang penegakan hukum dan penegakan prinsip, ada lagi tuan guru Kak Seto yang pendidik anak-anak, al ustadz tuan Hidayat Nur Wahid yang pendakwah atau tuanku Taufiq Ismail yang mahir bersajak.
Di masa kini, himpunan ini juga tak kekurangan tokoh hebat. Siapakah yang tidak akan berjumpa dengan nama-nama alumni popular hari ini yang terus menghiasi layar ponsel-ponsel kita? Ada tuan Anies Baswedan di Jakarta, ada tuan Mahfudz MD, tuan Airlangga Hartarto, tuan Bahlil Lahadia dan kawan-kawan di Istana, ada tuan Bambang Soesatyo di Parlemen juga tuan Karni llyas yang jurnalis. Ini belum direken tokoh-tokoh lainnya yang bermain peran sebagai artis, pengusaha, dosen, petani, nelayan, pegadang, pegawai negeri, seniman, budayawan, jurnalis sampai barangkali kepada pekerja-pekerja sosial di berbagai level.
Andai saja tuan Lafran Pane dan generasi setelahnya panjang umur dan masih eksis sampai hari ini, bayangkan berapa banyak potensi orang himpunan yang berada di sekeliling kita? Bahkan mungkin kita terkepung sendiri oleh orang-orang himpunan ini. Pergi beli ayam ke pasar, bertemu orang HMI. Sebagian yang jualan ayam orang HMI, distributor ayamnya juga orang HMI. Pergi ke bank untuk mengambil bantuan pemerintah, bertemu orang HMI. Kasir banknya orang HMI, manager banknya orang HMI, satpam banknya orang HMI. Terbang berlibur ke kepulauan Raja Ampat, yang punya kapal orang HMI, di pesawat berpapasan pilotnya orang HMI, bertemu penumpang lagi marah-marah di ruang tunggu bandara ternyata orang HMI juga. Pulang ke rumah istirahat masuk kamar tidur, ketemunya Kohati, orang HMI juga.
Di dalam teks atau lirik lagu Garuda Pancasila yang mudah-mudahan kita semua masih menghapalnya dengan baik sampai sekarang, terdapat pula kata maju. “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu, patriot proklamasi, sedia berkorban untukmu. Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentausa. Pribadi bangsaku, ayo maju maju ayo maju maju, ayo maju”.
Siapakah yang disuruh untuk maju dalam lagu Garuda Pancasila tersebut? Apakah ia subjek material? Ataukah yang dimaksud adalah subjek immaterial? Apakah ia berupa tubuh Soekarno-Hatta dan pengikutnya? Apakah diri Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro atau Pattimura? Ataukah maksudnya itu ruh Munir dan Widji Tukul? Atau spirit Marsinah, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidhin Royan serta Hery Hartanto? Saya bisa lebih ngawur lagi untuk urusan seperti ini. Dan kalau mau lebih jauh dan ngawur lagi, maka pertanyaannya adalah, apakah orang-orang HMI termasuk yang disuruh-suruh untuk ayo maju dalam lagu tersebut? Jika iya, apakah orang-orang HMI mau menurut untuk disuruh maju-maju sebagaimana lirik lagu tersebut? Bukankah HMI adalah organisasi independen yang orang-orangnya juga cenderung tak mau dependen pada sesuatu yang tidak konkret?
Pertanyaan nakal berikutnya hadir dalam kaitannya dengan adagium Bhinneka Tunggal lka, yang pada pandangan pertama secara romantik saya capture dari tulisan di atas pita yang dicengkeram oleh lambang Burung Garuda sewaktu di sekolah dasar dulu. Frasa Bhinneka Tunggal lka disarikan dari bahasa Jawa kuno. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin atau kitab bernama Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit pada sekitar abad 14. Istimewanya, kakawin ini mengandung ajaran toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha.
Rwâneka dhátu winuwus Buddha Wiswa; Bhinnéki rakwa ring apan kena parwanosen; Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal; Bhinnéka tunggalika tan hana dharma mangrwa. (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda;Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal; Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran).
HMI secara historis lahir dari keresahan atas kondisi keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan Indonesia pada saat itu. Penyanyi dengan lagu-lagu tentang kegelisahan seperti Fiersa Besari atau bahkan penulis cerita pop semacam Tere Liye bahkan belum lahir ketika itu. Tahun 1947 adalah masa-masa gelisah. Kita baru saja merdeka. Jepang belum sepenuhnya angkat kaki. Sementara itu, Belanda tengah merancang keinginan koloni berikutnya lewat pola agresi militer yang disamarkan dengan dalih bantuan penumpasan pemberontak lokal. Kalau soliditas nasional rapuh, maka jebol pula pertahanan kita. Bisa-bisa terkulai lemas burung garuda digasak perpecahan.
Gerakan syiar Islam yang pada mulanya cukup solid memecah menjadi sekte-sekte politik pasca Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Artikulasi gerakannya menjadi lebih lincah sekaligus juga melebar sehingga mulai melahirkan sekat-sekat di antara motor gerakannya sendiri. Indonesia pasca kemerdekaan adalah sebuah ruangan besar yang ramai dengan beragam manusia dari berbagai latar belakang ideologi dan masing-masing memuja ideologinya sebagai sebuah permodelan yang cocok untuk dijadikan platform pembangunan dan pemajuan bangsa. Pemujaan-pemujaan terhadap ideologi itu membikin ribut suasana di dalam ruangan besar.
Suasana ribut inilah yang membuat Lafran Pane gelisah dan khawatir. Kalau ribut melulu, kapan kita mulai membangun negeri? Selanjutnya, HMI didirikan dengan mengetengahkan konsep gerakan intelektual Islam yang modern dan moderat sebagai desain utamanya. Bagi tuan Lafran Pane, solusinya adalah pemikiran dulu yang harus dikonstruksi. Sebab tuan Lafran Pane tidak pernah membayangkan HMI untuk kelak berkembang menjadi institusi politik praktis.
Kita tahu bersama, praktek politik praktis tidak membutuhkan cara berpikir yang dalam. Yang lebih penting adalah modal organ tubuh berupa mulut, sedikit referensi dari berita online serta kemampuan berakting tingkat dasar yang bisa dipelajari dengan mudah lewat televisi dan YouTube. Tuan Lafran Pane sama sekali tidak tertarik dengan iming-iming gemerlap pesta semacam itu, dan Tuhan Yang Maha Kuasa rupanya senang dengan hal itu.
Ada kekosongan dimensi sosial, lalu HMI ditulis takdirnya untuk mengisi kekosongan tersebut. Tuan Lafran Pane percaya sejak semula bahwa Pancasila adalah ideologi yang tepat untuk Indonesia, tetapi konstruksi dasar nasionalisme bukanlah Pancasila sebagai sebuah simbol, melainkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang terkandung didalam Pancasila itulah bahan dasarnya.
Kedua nilai ini pastilah bukan hasil dari pemikiran akrobatis. Pemikiran tersebut jika ditarik lebih jauh ke masa lampau tentu bisa kita yakini lahir dari hikmah-hikmah pemikiran atas kajian keislaman yang mendalam. Dalam konteks keislaman sendiri, dimensi kemanusiaan dan keadilan ini menempati tempat-tempat prioritas dalam hukum-hukumnya, dan diaplikasikan dengan kerangka konsep yang jelas. Islam telah sejak lama membincangkan isu-isu kemanusiaan dan keadilan secara tegas dalam aspek seperti perbudakan, poligami, pembunuhan hingga pengelolaan harta.
Berangkat dari hal inilah HMI membentuk karakternya dan membangun misinya. Pemikiran dikonstruksi untuk menegaskan derajat kemanusiaan orang-orang HMI sekaligus orang-orang Indonesia. Kemerdekaan hanyalah sebuah momentum pesta yang membuat senang, yang lebih substansif dari itu adalah bagaimana menempatkan derajat kemerdekaan tersebut menjadi sesuatu yang membuat kita bangga dan terhormat.
Jika menjadi orang kaya itu dianggap terhormat dan memiliki derajat, maka bukan uang dan harta yang harus ditumpuk, melainkan gagasan tentang kekayaan itulah yang harus dibangun terlebih dahulu, karena ketinggian derajat dengan parameter harta akan hilang saat parameternya juga hilang. Tetapi gagasan akan tetap bertahan secara loyal meskipun parameternya menghilang sebab gagasan baru segera lahir setelah itu.
Dari kelindan pemikiran-pemikiran seperti itulah HMI lahir. Ada dua tujuan awal dilahirkannya HMI berdasarkan catatan tuan Lafran Pane. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan serta mengembangkan ajaran Islam. Inilah sebabnya mengapa saya harus memberi titik tekan pembicaraan kita pada hari ini pada kata derajat.
Dalam pandangan sempit saya dari pedalaman Kalimantan terhadap spektrum besar bernama himpunan ini, derajat himpunan berikut orang-orang di dalamnya telah berada pada suatu keadaan yang degradatif. Peradaban kontemporer yang tengah kita jalani bersama saat ini disambut oleh himpunan dengan sikap yang gagap. Sikap gagap ini disebabkan oleh kondisi infrastuktur politik mapan yang dari tahun ke tahun terus tersedia melalui jaringan himpunan dan dimanfaatkan secara sadar dan berjemaah untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek. Ini menjadi semacam tradisi baru yang sub-odinatif dari tradisi intelektual yang pernah ada dalam tubuh kita. Pelan-pelan, kita menggeser posisi kita menjauh dari tematika-tematika sosial dulu menjadi ruh bersama pergerakan; kita menjauh dari soal-soal ekonomi kelas bawah dan sedu sedan orang lapar yang dulu jadi weker bagi nurani kita; kita bahkan menjauh dari problematika spiritualitas yang sejatinya adalah motif awal dan dasar pergerakan kita.
Satu hal yang menurut saya menggelikan adalah, kita kerap kali membincangkan konsep pemikiran keislaman dan ke”an Indonesia tuan Nurcholish Madjid, tetapi kerap kali pula menolak merumuskan bentuk-bentuk aplikatifnya bagi suasana berkehidupan. Apalagi saat ini, di tengah tren polarisasi sosial yang dikendalikan oleh masyarakat internet atau netizen yang terhormat, kita seperti ketakutan bersikap jantan. Khawatir dipandang tak sejalan dengan kehendak umum, khawatir di-bully, khawatir dipandang aneh. Kebhinnekaan erat kaitannya dengan toleransi.
Tuan Nurcholish Madjid sendiri misalnya melihat toleransi dalam perpektif rasionalitas. Jika ada orang lain mengurusi cara beragama orang lain menurutnya itu adalah absurd dan tidak rasional. Logika toleransi dalam pemahaman tuan Nurcholish Madjid adalah saling pengertian dan penghargaan yang pada urutannya mengandung logika titik temu, meskipun tentu saja hanya terbatas pada hal-hal yang prinsipil. Hal-hal yang bersifat intern, mempunyai idiom yang khas dan bersifat esoterik tentu tak bisa dipertemukan.
Berarti kesadaran pemahaman terhadap majemuknya asal-usul masyarakat, beragamnya cara dan adat istiadat dalam merespons perkembangan peradaban, berbeda-bedanya ekspresi religiusitas orang dan kemauan melakukan self management terhadap lingkungan sosial. Di manakah posisi himpunan dalam persoalan ini?
Saya tidak akan menguraikan jawaban apa pun atas lontaran-lontaran pertanyaan tersebut dalam perbincangan singkat ini. Terlalu luas untuk membincangkan korelasi antara kebhinnekaan Indonesia dengan kemegahan himpunan. Terlalu sempit pula waktunya untuk membongkar lebih jauh kerak-kerak pemikiran kita terhadap isu-isu eksistensi dan kemajuan himpunan.
Saya hadirkan perbincangan ini sebagai sebuah refleksi saja. Tentu dari sudut pandang saya sebagai orang yang lebih senang membaca sesuatu dari jendela budaya, yang barangkali tidak punya peralatan cukup lengkap untuk membaca apalagi mendiagnosa keadaan terkini negara maupun himpunan. Satu hal yang menyedihkan bagi saya barangkali adalah kita seperti kehilangan karakter, seperti kehilangan gaya pada saat-saat sekarang ini.
Sebagai penutup, saya ingin bercerita sedikit. Soal pengalaman kalau berada di tengah lautan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Dulu ada seorang teman, seorang selebritis, seorang seniman yang juga artis, punya nama besar, beken dan sangat populer. Setiap kali ia harus berurusan di tempat-tempat tertentu di Jakarta untuk mengejar jadwal pertunjukannya, ia menggunakan kendaraan pribadinya yang bagus. Yang menarik, ketika ia terjebak pada kemacetan luar biasa, ia biasa dengan cepat dan adaptif untuk menyuruh supirnya berhenti di pinggir jalan, kemudian ia keluar dari mobilnya dan segera bergegas mencari tukang ojek yang selanjutnya ia bayar untuk mengantarkannya ke tempat petunjukan.
Dengan strategi itu, ia bisa tetap tiba tepat waktu, tujuan utamanya tetap tercapai, ekosistem ekonomi di sekitarnya bergerak, tidak ada aturan yang dilanggar dan mobilnya tiba dengan selamat. Dan satu hal lagi, tidak ada nilai derajat yang terabaikan, baik secara historis, sosial maupun politik. la tetaplah artis yang disegani dengan segala nama besarnya. Ia mendapatkan ekspresi positif dari rekan kerjanya dan posisi politiknya juga aman dalam konteks ketaatan terhadap aturan.
Kalau mau, kita mungkin bisa belajar dari cerita ini. Sekali lagi, ini soal kemauan. Kita punya kekuatan super yang bernama sejarah dan jaringan untuk berkemauan seperti itu. Akan lain ceritanya kalau kita tak mau.
Semoga Indonesia segera bisa melewati lubang jarum kelucuan demokrasi ini dengan gagah dan tetap berwibawa. Semoga kita semua diberkati Allah dengan akal yang cair dan selalu kaya akan gagasan baru, dilepaskan dari kejumudan intelektual dan kemanjaan pada sejarah. (*)
*Dedi Nala Arung dikenal secara formal sebagai Dedi Sudarya. Pernah menjabat Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong periode 2000-2001. Saat ini dikenal sebagai pegiat literasi dan ekonomi kreatif serta wirausahawan bidang wisata di Kalimantan Timur.