Search
Search
Close this search box.

Kapitalisme Religius di Masyarakat Indonesia

Listen to this article

Oleh: Mohammad Zulfan Tadjoeddin*

Salah satu diktum yang populer dari Marx adalah “agama adalah candu bagi masyarakat (the opium of the people)”. Hal ini dalam pengertian bahwa agama menjadi semacam penenang (comforter) bagi masyarakat ketika berhadapan dengan ketidakpastian/turbulensi kehidupan.

Dia pulalah yang mengonsepkan kapitalisme di tengah bergemuruhnya revolusi industri di Inggris di pertengahan abad ke-19.

Advertisements

Formulasi dua-kelas yang ia tawarkan (kaum kapitalis dan kelas buruh yang bersifat hierarkis), telah menyadarkan kelompok yang berada di bawah dan tak berdaya. Maka terbangunlah agensi (agency) dari kaum buruh dalam melawan eksploitasi kapitalis.

Marx menjadi “nabi” kaum kiri: sosialis. “Kiri” telah menjadikan “kanan” lebih baik dan lebih manusiawi. Negara kapitalis yang baik adalah negara kesejahteraan (welfare state). Kesejahteraan rata-rata masyarakatnya adalah yang terbaik di dunia. Sistem jaminan sosialnya sangat generous. Orang miskin dan rakyat terlantar betul-betul dipelihara oleh negara. Sangat berkeadilan sosial, sehingga terasa sangat Pancasila.

Welfare state hanya bisa dicapai di atas kondisi ekonomi yang maju (berkat kapitalisme) dan diterapkannya pajak yang sangat progresif untuk membiayai semua program-program kesejahteraan itu.

Pajak progresif adalah mekanisme utama redistribusi. Redistribusi setelah akumulasi. Kalau tidak ada yang diakumulasi, apa yang mau diredistribusikan. Dan, redistribusi itu adalah ajaran Marx.

Dalam kadar tertentu, gerakan buruh di Barat telah berhasil memaksa kapitalis untuk “berbagi”. Dalam kerangka welfare state, mekanisme redistribusi diinstitusionalisasikan dengan baik di tingkat negara.

Dalam banyak kasus di Barat, para kapitalis sukses pada akhirnya mendonasikan sebagian besar hartanya. Mereka menjadi pelaku filantropi terkenal. Dari akumulasi ke redistribusi. Setelah puas menumpuk kekayaan, akhirnya semua dibagikan kembali. Filantropi telah menjadi satu model peradaban.

Kekayaan raja minyak John D. Rockefeller abadi menjadi Rockefeller Foundation. Harta warisan raja otomotif Henry Ford mendanai program-program Ford Foundation. Aktifitas Nobel Foundation yang memberikan Hadiah Nobel setiap tahun adalah wasiat dari penemu dinamit dan pengusaha tajir Alfred Nobel.

Cecil Rhodes, seorang imperialis dan kolonialis di selatan Afrika sekalipun, pada akhirnya “mewakafkan” hartanya yang digunakan untuk kemajuan pendidikan dan beasiswa (Rhodes Scholarship). Untuk menyebut yang lebih kekinian, Bill Gates, di hari tuanya lebih sibuk mengurusi lembaga amalnya.

Para filantropis ini adalah pioneer, pebisnis tangguh, dan kapitalis. Semua akumulasi kembali diredistribusikan.

Kapitalisme mengolah perilaku konsumen sebagai subjek, mengapitalisasi kebutuhan dan keinginan mereka untuk membeli produk dan jasa. Produk dan jasa apa saja. Semua ini menjanjikan insentif sehingga memacu kreatifitas.  

***

Zaman berkembang, dunia berubah. Indonesia menawarkan apa yang mungkin bisa disebut sebagai kapitalisme religius. Kapitalisme religius adalah upaya mengapitalisasi semangat masyarakat banyak untuk berbuat baik, mengakumulasi donasi.

Donasi dikumpulkan dari segala lapisan, dari yang receh sampai yang besar. Niatnya redistribusi untuk membantu yang lemah, tetapi sambil mengakumulasi. Dan, donasi telah menjadi industri. Industri yang sangat menggiurkan.

Baru-baru ini, Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia menurut Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021.

Bukan hanya itu, Indonesia adalah negara yang paling religius sejagad raya menurut hasil survei Pew Research Center tahun 2020.

Dermawan dan religius adalah kombinasi yang sangat pas untuk menjadi sasaran empuk berkembangnya kapitalisme religius. Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan platform donasi Kita Bisa adalah contohnya. Indonesia adalah tempatnya.

Tahun 2020, ACT berhasil mengumpulkan Rp 519 miliar donasi, yang berasal dari lebih 348 ribu donatur. Tempo melaporkan di pertengahan tahun 2020 bahwa Kita Bisa berhasil mengumpulkan Rp 130 miliar donasi. Seorang yang bernama Rifdah Rahmah yang berdonasi Rp 15 ribu berkata, “Inginnya yang banyak, tapi saya belum mampu karena saya masih kelas 6. Semoga bisa membantu.” Kita Bisa memotong donasi sebanyak 5% untuk biaya platform dan administrasi.

Para donatur yang baik hati itu bisa jadi tukang bakso, sopir taksi, pegawai pemerintahan, pelajar, ibu rumah tangga, atau pengusaha. Donatur berasal dari segala lapisan: all walks of life.

Dalam kerangka kapitalisme religius, donatur “membeli” sebuah perbuatan baik (good deed) melalui donasi yang diberikan. Tidak ada patokan “harga” untuk sebuah good deed, bisa dibeli semampunya. Makanya jangkauan pasar dari good deed bisa sangat luas dan masif.

Berbeda dengan konsumen barang normal (consumer goods), konsumen good deed biasanya tidak rewel. Umumnya, mereka tidak mempermasalahkan layanan purna jual: bayar donasi, dapatkan perasaan baik di hati karena sudah beramal, dan move on.

Dalam hal ini, justru, para donatur yang banyak dan tersebar itu perlu disadarkan bahwa mereka harus mengetahui bagaimana mengalirnya donasi yang mereka berikan. Para donatur harus melek dan berdaya. Mereka tidak boleh dibiarkan menjadi objek eksploitasi dari pelaku industri donasi dalam kerangka kapitalisme religius.

Di samping industri donasi, varian lain dari kapitalisme religius adalah berbagai produk dan jasa yang terkait dengan agama atau dengan embel-embel agama. Contohnya adalah perumahan syariah, investasi syariah, perjalanan ke tanah suci, dan lain-lain. Pemasarannya dan motivasi konsumen dikaitkan dengan semangat beragama. Dalam banyak hal, terjadi eksploitasi mengatas-namakan agama.

Tahun 2017, ketika uang dari puluhan ribu calon jemaah umrah ditipu oleh pemilik biro perjalanan First Travel, kita mendengar nasehat/saran untuk mengikhlaskan saja uang yang ditilap tersebut. “Ikhlaskan saja, semoga niat untuk melaksanakan umrah dicatat malaikat, dan tetap menjadi amal saleh,” begitu kira-kira bunyi nasehat itu.

Dalam hal ini, agama betul-betul telah menjalankan fungsinya sebagai penenang (comforter) saat berhadapan dengan turbulensi. 

***

Seandainya Marx tinggal di Petamburan dan menyaksikan berkembangnya kapitalisme religius di Indonesia di abad ke-21 ini, kira-kira apa yang akan dia lakukan?

Saya duga, mungkin dia akan garuk-garuk aspal.

Tetapi seorang kawan yang juga seorang ustaz menyela, “Tidak, dia akan langsung jadi mualaf”. (*Dosen senior di bidang studi pembangunan di University of Western Sydney, Australia)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA