Oleh: Mansyur
Hukum pidana yang berlaku hingga saat ini adalah hukum pidana peninggalan kolonial Belanda dengan karakternya yang tertulis (written law). Secara sosio-historis eksistensi hukum pidana tertulis yang diperkenalkan bersamaan dengan kedatangan Belanda merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Karena bentuk utama hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu itu adalah hukum pidana adat yang sebagian besar tidak tertulis.
Setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, hukum pidana Belanda masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dan selang beberapa saat, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang secara eksplisit dimaksudkan untuk memberlakukan hukum pidana Belanda.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 pada dasarnya mengulang kembali dualisme hukum pidana di Indonesia seperti yang pernah terjadi sebelum tahun 1918, yaitu dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen 1886 yang diperuntukkan bagi orang Eropa dan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmee Gelijkgestelden 1872 yang diperuntukkan bagi orang Indonesia asli dan orang timur asing. Namun dualisme ini berakhir pada 29 September 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Peryataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagai aturan hukum pidana yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Sudah puluhan tahun upaya rekodefikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tepatnya saat digelarnya Seminar Hukum Nasional 1 di Semarang pada tahun 1963. Salah satu poin yang dibahas dalam seminar tersebut adalah Rancangan KUHP selain daripada Rancangan KUHAP, KUHPerdata dan KUHDagang. Seminar ini disebut-sebut menjadi cikal bakal rencana pembaruan KUHP di Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumusakan oleh tim pemerintah.
Substansi RUU KUHP yang ada saat ini sebagian besar masih mengacu dari seminar tersebut, di antaranya menambah atau memperluas delik-delik kejahatan terhadap negara, delik ekonomi, hukum adat (living law), dan delik kesusilaan. Beberapa tahun kemudian muncul delik korupsi, delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah, penghinaan kepala negara (presiden), contempt of court, kualifikasi delik penghinaan dan beberapa delik lain yang tersebar di luar KUHP.
Yang menarik untuk dibahas adalah terkait munculnya delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden (Pasal 217-219 RUU KUHP) yang mana delik ini tercantum dalam Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 dengan putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Putusan MK tersebut adalah putusan yang menguji konstitusionalitas delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden berdasarkan sistem hukum Indonesia yang terdapat di dalam KUHP. Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang diuji berada pada Bab II tentang kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
Pengujian ini memberikan dampak yang besar terhadap publik yang hendal menyampaikan kritik terhadap presiden/wakil presiden. Karena Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dianggap mengancam kebebasan untuk mengkritik baik lisan maupun secara tulisan terhadap kinerja presiden/wakil presiden.
Dengan demikian, pengaturan delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dianggap inkonstitusional berdasarkan putusan MK nomor 013-022/PUU-IV/2006. Putusan tersebut memberikan argumentasi yang kuat (strong argumentation) untuk menghapuskan delik penghinaan presiden/wakil presiden. Hal ini dapat dilihat melalui pertimbangan dalam putusan Mahkamah halaman 61.
Bunyinya, “Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD NRI 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah merencanakan pengesahan draf final RUU KUHP pada September 2019, tepat di akhir masa jabatan anggota DPR RI 2014-2019. Akan tetapi pengesahan tersebut mendapatkan penolakan dari para mahasiswa yang berdemonstrasi di depan gedung DPR RI. Karena itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk menunda pengesahan RUU KUHP sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Penolakan pengesahan RUU KUHP karena delik-delik yang diatur dalam RUU KUHP mengandung kontroversi, seperti pasal yang mengatur tentang tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Argumentasi yang kuat untuk menolak pengaturan delik penghinaan presiden/wakil presiden karena delik tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK dalam putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. Namun sekarang pembahasan RUU KUHP itu kembali digulirkan di DPR RI.
Mengukur Sifat Putusan MK
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan negara berdasar atas hukum (rechtssstaat). Aristoteles mengatakan, kekuasaan harus bersumber hukum dan karena itu, hukum sebagai sumber kekuasan bukan hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang tertinggi, melainkan juga harus menjadi dasar dan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perubahan di bidang kekuasan yudikatif juga cukup drastis, baik di bidang kelembagaan maupun fungsi dan kewenangannya. Di bidang kelembagaan, lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjalankanya adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam segi kewenangan, di samping sebagai badan peradilan, lembaga kekuasaan kehakiman juga diberikan kewenangan sebagai badan penguji peraturan perundang-undangan, baik peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang maupun undang-undang terhadap UUD. Pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang menjadi kewenangan MA. Sedangkan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 menjadi kewenangan MK.
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 adalah bagian kekuasaan kehakiman untuk mengontrol dan mengawasi secara normatif lembaga eksekutif dan legislatif sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk membuat produk hukum dalam bentuk undang-undang, supaya produk hukum (UU) yang dibuat harus berkesesuaian secara vertikal dengan UUD NRI tahun 1945 sehingga produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945.
Konsep constitusional review merupakan gagasan tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separations of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Dengan kata lain, constitusional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan dan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara.
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 merupakan salah satu kewenangan MK yang dilindungi oleh UUD NRI tahun 1945 dan undang-undang. Namun dalam realitas, ada banyak putusan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 tidak dijalankan oleh lembaga negara yang lain. Misalnya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Pencabutan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pencabutan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP.
Padahal putusan MK adalah putusan yang bersifat mengikat dan terakhir, bahkan Ramadhan Kasim menyatakan, putusan MK merupakan ketentuan norma undang-undang. Singkatnya, putusan mk adalah undang-undang.
Pasal 10 ayat (1) huruf a menyebutkan, “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945”. Secara teoritis putusan yang bersifat final adalah putusan MK berkekuatan hukum tetap setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan itu.
Pertanyaannya, apakah pembuatan produk hukum lewat DPR adalah upaya hukum atau tidak? Jika itu adalah upaya hukum, maka putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 harus dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR sehingga Pasal 217, 218 dan 219 tidak dimasukkan lagi dalam RUU KUHP.
Harus Ditiadakan dalam RUU KUHP
Perubahan UUD NRI tahun 1945 yang cukup mendasar pada Pasal 1 ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma tidak berdiri sendiri, tetapi harus dibangun, dikawal bahkan harus didasarkan pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol secara normatif oleh paradigma hukum.
Jimly Asshiddiqie mengattakan, paradigma demokrasi yang dibangun adalah berbanding lurus dengan paradigma hukum dan inilah paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis.
Negara demokrasi yang berdasar atas hukum telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat bahkan mengkritik presiden/wakil presiden selama itu berkaitan dengan kebijakan dan keputusannya dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya sebagai lembaga negara. Karena presiden/wakil presiden merupakan jabatan yang melekat pada diri seseorang yang telah dipilih secara langsung oleh masyarakat lewat pemilu.
Menurut saya, ada empat alasan mengapa pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden harus ditiadakan dalam RUU KUHP: pertama, pasal penghinaan terhadap presiden berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena berpotensi melahirkan tafsir yang bermacam-macam atas suatu perbuatan atau pernyataan kritik atau penghinaan tersebut.
Selain itu, munculnya pasal tersebut dalam RUU KUHP berpotensi menghambat hak menyampaikan pikiran dan pendapat yang merupakan salah satu hak yang dilindungi oleh Pasal 28, 28E ayat (3) UUD NRI tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum.
Kedua, MMK melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa delik tentang penghinaan terhadap presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan.
Ketiga, perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RUU KUHP tidak menghilangkan problem utama bahwa pasal tersebut merupakan pasal karet yang berpotensi menghambat kebebasan dalam negara demokrasi.
Hibnu Nugroho menilai pemberlakuan kembali terhadap pasal penghinaan terhadap presiden merupakan kemunduran. Sebab, Indonesia telah memilih sistem demokrasi, sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi mestinya dilindungi.
Keempat, memaksa masuk pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP tidak tepat karena presiden adalah jabatan dan harus dibedakan dengan individu seseorang yang mengisi jabatan presiden tersebut. Sebagai sebuah jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa dihina. Karena setiap komentar, sentimen, cibiran maupun pujian masyarakat terhadap presiden merupakan bentuk penilaian atas kinerjanya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. (*Dosen Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)