Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Konflik di Yaman memang seolah terlupakan oleh publik Indonesia. Padahal sejak Arab Saudi membombardir Yaman pada 26 Maret 2015 hingga hari ini, puluhan ribu penduduk negeri itu tewas dan terluka, mayoritas perempuan dan anak-anak. Laporan PBB menyebutkan bahwa target bom Saudi adalah objek-objek sipil, termasuk kamp pengungsi, pesta pernikahan, mobil-mobil sipil, kawasan permukiman sipil, fasilitas medis, sekolah, masjid, pasar, pabrik, gudang makanan, airport, dan pelabuhan. Kondisi semakin diperburuk oleh embargo ekonomi, sehingga separuh populasi Yaman (total 28 juta) mengalami kelaparan dan anak-anak kekurangan gizi. Berbeda dengan konflik Suriah di mana foto-foto palsu diedarkan oleh media mainstream dan media pro-jihadis selalu berhasil membuat publik histeris, foto-foto asli anak-anak Yaman yang kurus kering kelaparan diabaikan begitu saja.
Penting diperhatikan bahwa AS adalah sponsor utama dalam serangan brutal Arab Saudi, dan hal ini sudah diakui Menlu Saudi, Adel al-Jubeir, “Ada pejabat-pejabat Inggris dan AS dan negara-negara lain di pusat komando kami. Mereka tahu daftar target pengeboman.”
Bom yang digunakan adalah bom cluster buatan AS, jenis bom yang dilarang PBB karena dampaknya yang sangat mematikan, sehingga Sekjen PBB menilai aksi Saudi hampir dapat dikategorikan “kejahatan perang” (may amount to a war crime).
Perang Sunni-Syiah atau Perang demi Minyak?
Media massa dan para pengamat umumnya memotret konflik Yaman sebagai perang antara Saudi melawan proxy Iran di Yaman, pasukan Al Houthi. Arab Saudi digambarkan tengah khawatir pengaruh Syiah dan Iran semakin kuat di Yaman, dan akan meluas ke negaranya. Pendapat seperti ini sangat menyederhanakan masalah, atau bahkan telah menggeser opini publik dari akar masalah yang sesungguhnya.
Bila motif Arab Saudi membombardir Yaman semata-mata demi “membantai Syiah”, jelas bertentangan dengan fakta bahwa mayoritas korban pembombardiran dari udara itu adalah warga sipil sehingga yang tewas sama sekali tidak bisa “dipilih”. Populasi Muslim di Yaman adalah 55% Sunni dan 40% Shiah Zaidiyah (berbeda dari Syiah Iran).
Selain itu, bila kita meneliti sejarah Yaman, terlihat bahwa di negara ini sudah terjadi banyak konflik internal yang melibatkan banyak faksi, baik antara faksi Ikhwanul Muslimin (IM), faksi Imam Yahya (Syiah-Zaidiyah), faksi Sosialis, antara rezim Saleh (yang awalnya didukung IM, namun kemudian berseteru dengan IM), faksi suku Al Houthi (Syiah-Zaidiyah). Saat ini kubu yang berseteru adalah Ansharullah (suku Al Houthi dan faksi-faksi Sunni Syafii) melawan kelompok-kelompok berhaluan Wahabi, Al Qaida, ISIS, dan Arab Saudi.
Faktor Barat sebagai pihak di balik layar pun, sebagaimana terjadi dalam perang-perang lain di Timur Tengah, tak bisa diabaikan. Yaman tadinya berada di bawah kekuasaan imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut). Sementara itu, Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Inggris pun mem-backing gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman” di Yaman utara.
Di Yaman selatan, kelompok sosialis membentuk Republik Rakyat Demokratik Yaman pada 1967. Pada Mei 1990, akhirnya kedua Yaman (utara dan selatan) bersatu di bawah nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden.
Namun pemerintahan baru tak langgeng, terlebih karena pemerintahan Saleh yang despotik dan memperkaya diri. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu. Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5.000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak. Akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman.
Dari sekilas sejarah Yaman ini kita bisa lihat bahwa polarisasinya sama sekali bukan Sunni-Syiah. Pada 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk gerakan Ansarullah (yang beranggotakan berbagai faksi, baik Syiah Zaidi maupun Sunni). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi dan gerakan Ansarullah meneruskan demo melawan pemerintah. Akhirnya, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu AS, negara-negara Teluk, dan Israel, membombardir Yaman, hingga hari ini.
Ada hal penting yang terlewat dalam dinamika politik Yaman. Menjelang serangan Arab Saudi, faksi-faksi di Yaman sudah hampir menandatangani kesepakatan damai dan pembagian kekuasaan di antara 12 faksi, termasuk suku Houthi. Hal ini disampaikan oleh mantan utusan khusus PBB di Yaman, Jamal Benomar. Seandainya Saudi tidak menyerang Yaman, kemungkinan besar pemerintahan demokratis saat ini telah terbentuk di Yaman. Serangan ke Yaman menunjukkan bahwa Saudi, AS, Inggris, sama sekali tidak menghendaki proses demokratis terjadi di Yaman. Tuduhan bahwa Iran berada di balik suku Houthi sebenarnya sudah dibantah oleh intel AS sendiri. Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS mengatakan bahwa Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas kelompok Houthi.
Perang adalah sebuah aktivitas yang sangat mahal. Karena itu potensi ekonomi dan geopolitik yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor (penyebab utama) bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman. Aktor asing terkuat di Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima rezim Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar). AS juga menginvestasi dana dan perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk. Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak (seperti yang terjadi di Libya dan Irak).
Pada Maret 2015, konsultan militer AS dan NATO, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and International Studies menjelaskan bahwa, “Yaman memiliki nilai yang sangat penting dan strategis bagi AS, dan penting bagi stabilitas Arab Saudi di tengah negara-negara Teluk. Wilayah Yaman dan pulau-pulaunya memainkan peran kritis dalam keamanan lalu-lintas global, Bab el-Mandab.”
Selat Bab el-Mandeb adalah “a chokepoint” antara tanduk Afrika dan Timur Tengah dan penghubung strategis antara Laut Mediterrania dan Laut Hindia, yang membawa hampir semua ekspor dari Teluk Persia menuju terusan Suez dan jalur minyak Suez-Mediterranean (SUMED).
“Keberadaan kekuatan ‘kasar’ di Yaman akan mengancam seluruh lalu lintas yang melewati terusan Suez, temasuk minyak dan produk turunannya,” kata Cordesman.
Mimpi Pembangunan Pipa Minyak Yaman
Pengamat geopolitik Nafeez Ahmed menjelaskan bahwa ada tujuan besar lain di balik serangan Saudi ke Yaman, yaitu upaya membangun jalur pipa migas baru agar “ketergantungan pada Selat Hormuz dapat dialihkan.” Hal ini diketahui dari kabel rahasia dari Kedubes AS di Yaman kepada Menlu AS tahun 2008, yang menginformasikan bahwa Saudi berniat membangun jalur pipa migas yang sepenuhnya dikuasai dan dioperasikan Arab Saudi, melewati Hadramaut (salah satu provinsi di Yaman) hingga ke Teluk Aden. Namun rencana ini ditolak Presiden Saleh.
Tak heran dalam aksi bombardir Yaman ini, provinsi Hadramaut tidak pernah jadi sasaran. Hadramaut adalah provinsi terbesar di Yaman yang sangat kaya sumber daya migas. Rencana pembangunan pipa migas ini tidak pernah diangkat oleh pejabat Barat, mereka selalu mengedepankan konflik proxy Saudi-Iran sebagai alasan perang di Yaman.
Pada 2 Juni 2015, Joke Buringa, staf ahli Timur Tengah di Kemenlu Belanda menulis bahwa AS selalu menekan negara-negara Teluk agar membangun jalur alternatif pipa migas. Pada 2007, Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman bersama-sama meresmikan proyek bersama Trans-Arabia Oil Pipeline. Proyek ini direncanakan dibangun dari Saudi (Ras Tannurah) dan UEA menuju Teluk Oman, dan menuju Teluk Aden. Pada 2012, jalur Abu Dhabi-Fujairah (UEA) telah beroperasi, namun di saat yang sama Oman justru menandatangani kerja sama pembangunan pipa migas dengan Iran. Karena itulah opsi pipa migas Saudi-Hadramaut semakin diprioritaskan Saudi.
Namun, Presiden Saleh menolak adanya pipa migas di wilayahnya yang dikontrol langsung oleh Saudi. Saudi pun selama bertahun-tahun telah memberikan dana kepada suku-suku di Yaman, berharap agar ketika Saleh tidak lagi menjadi presiden, suku-suku itu mau mendukung proyek Saudi. Gelombang Arab Spring dan proses demokratisasi di Yaman jelas menghalangi rencana ini, demikian tulis Buringa dalam artikel di website pribadinya.
Menariknya, tulisan Buringa yang mengungkap informasi penting ini, sekaligus website-nya, telah dihapus. Namun beberapa web telah mengopi tulisan ini. Patut diduga hal ini disebabkan karena banyak perusahaan Belanda yang beroperasi di Arab Saudi, antara lain Shell. Selain itu, tingkat ekspor-impor kedua negara juga sangat tinggi.
Terungkapnya rencana rahasia ini sekaligus memberi jawaban, mengapa Al Qaeda tiba-tiba muncul di Yaman, seiring dengan bangkitnya rakyat Yaman melawan rezim Saleh.
Seperti ditulis Buringa, “Pelabuhan dan airport internasional al-Mukalla di Hadramaut sama sekali terbebas dari bombardir Saudi dan berada di bawah kontrol Al Qaeda. Arab Saudi juga mengirimkan senjata kepada Al Qaeda.”
Aliansi antara Arab Saudi dan Al Qaeda dalam agenda penguasaan Yaman terungkap jelas ketika bulan Juni 2016, pemerintahan Mansur Hadi (pemerintahan transisi pasca Saleh) mengirim utusannya ke Jenewa dalam perundingan di kantor PBB. Sang utusan, Abdulwahab Humayqani, tak lain adalah tokoh yang terdaftar di list anggota teroris internasional. Ia aktif merekrut dan mendanai Al Qaeda Yaman. Humayqani juga dicurigai berada di balik pengeboman Al Qaeda di markas militer Yaman pada 2012.
Semua ini kembali menjadi bukti, yang diinginkan AS dan sekutunya bukanlah demokrasi, melainkan penguasaan sumber daya migas. Dan rakyat Yaman yang selama ini sudah berada dalam kondisi miskin dan terpinggirkan, semakin mengalami nestapa. Namun mereka tetap teguh melawan, hingga hari ini. (*Direktur Indonesia Center for Middle East Studies)