Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Siapa tak kenal “Arab Saudi“? Monarki yang lahir dari rahim, sekaligus pewaris, kolonialisme kerajaan Inggris pada awal abad ke-20 itu dibangun untuk menjadi properti milik klan perompak asal sahara Najd, yaitu Bani Saud.
Terletak di Asia Barat, persisnya di tepi Laut Merah, yang membentang dari Najd hingga Hijaz, kerajaan badui ini didirikan Abdul Aziz lewat penaklukan sejumlah wilayah sekaligus genosida beraroma sektarian. Ia mampu melakukan kebrutalan itu hingga kemudian berkuasa, berkat sokongan militer dan moneter kolonial Inggris seiring runtuhnya dinasti Otoman.
Pada 1902, saat masih berusia 22 tahun, Abdul Aziz bin Saud kembali ke Najd yang kini disebut Riyadh, ibukota moyang dinasti Saud, rival keluarga Rashid. Dari sana, Abdul Aziz menaklukkan al-Hasa, lalu al-Qatif, dan akhirnya Hijaz antara tahun 1913 dan 1926. Pada 8 Januari 1926, Abdul Aziz bin Saud mengklaim dirinya sebagai Raja Hijaz.
Kemudian, pada 29 Januari 1927, sosok badui yang sangat ambisius itu menyematkan pada dirinya gelar Raja Najd (sebelumnya penguasa Najd bergelar sultan). Dalam Perjanjian Jeddah yang diteken pada 20 Mei 1927, Kerajaan Inggris mengakui kemerdekaannya, yang lantas dikenali sebagai Kerajaan Najd dan Hijaz pada 1932, meliputi al-Hasa, Qatif, Najd, dan Hijaz. Sejak itu, wilayah kekuasaannya disebut Kerajaan Arab Saudi.
Namun, ada yang janggal dalam hal kelahiran dan eksistensinya. Momen berdirinya monarki Saud yang menjadi musuh besar demokrasi itu terjadi di akhir abad kolonialisme. Saat banyak bangsa dunia berjuang dan sukses memerdekakan diri dari penjajah, justru klan Saud berkomplot dengan penjajah nomor wahid masa itu, Kerajaan Inggris, untuk menjatuhkan kesultanan yang telah berdiri jauh sebalum era kolonialisme.
Klan Saud yang diawali Abdul Aziz karenanya mendirikan Kerajaan Arab Saudi bukan lantaran mereka sebelumnya dijajah. Melainkan sekadar meneruskan dan mewarisi kolonialisme Inggris di masa setelahnya, atau di era poskolonialisme dewasa ini. Sejarah sendiri membuktikan bahwa bangsa terjajah lalu merdeka umumnya membentuk negara modern yang berdiri di atas konstitusi dan konsensus bersama. Sebaliknya, Arab Saudi malah dibentuk sebagai monarki absolut dan otoriter yang jadi ciri utama abad kolonialisme.
Lebih tak masuk akal lagi, kerajaan yang faktanya melawan arus kemodernan itu sejak dibentuk sangat aktif mengampanyekan diri sebagai pemimpin dunia Arab dan poros dunia Islam. Di balik semua omong kosong itu, kerajaan yang semestinya eksis di zaman batu itu sangat agresif mengeskpor paham wahabisme yang ditampilkan seolah representasi tunggal teologi Ahlussunnah demi menggusur teologi Asyariah yang dianut turun temurun oleh mayoritas Ahlussunnah. Modus ini dilancarkan lewat eksploitasi kesakralan Tanah Suci, letak geografisnya di semenanjung Arab, dan kekayaan minyak yang melimpah.
Selama beberapa dekade, rezim monarki Saud menikmati dominasinya di sebagian dunia Islam. Di sisi lain, kerajaan primitif itu juga mendapat privelese dari dunia Barat karena memberi banyak keuntungan ekonomi dan politik. Terutama selama dekade 1970-1990an dalam melemahkan PLO yang akhirnya memilih opsi berunding dengan rezim kolonial zionis “Israel” (yang juga sama-sama lahir dari rahim kolonialisme Inggris) dan penghancuran faksi-faksi gerakan pembebasan Palestina yang menyulut frustasi di kalangan elit di sana.
Selama masa itu pula wahabisme menyusup ke seluruh negeri Muslim Sunni. Modusnya lumayan bervariasi. Mulai dari mendirikan organisasi dan lembaga pendidikan, merekrut sejumlah anak negeri untuk dicetak sebagai propagandis wahhabisme, hingga membangun aneka proyek berlabel agama melalui Rabithah al-Alam al-Islami, misalnya.
Ribuan pemuda lugu diberi beasiswa untuk studi keislaman (versi Wahhabisme) di sejumlah lembaga pendidikan formal maupun non formal di Mekah, Madinah, dan Riyadh. Tak hanya itu, monarki Saudi juga dipandang super kaya sehingga dijadikan destinasi paling favorit untuk mengais nafkah.
Puluhan ribu warga kebanyakan negara Islam, terutama dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, laki-laki maupun perempuan, berlomba-lomba mendaftarkan diri sebagai tenaga kerja amatir hingga profesional. Saudi benar-benar dipuja sebagai juragan umat dan kulakan uang.
Tapi tampaknya masa kejayaan dan dominasi itu mulai redup dan perlahan eksistensinya surut ke sudut gelap sejarah. Kini, dunia sedang menyaksikan kerajaan itu memasuki fase sakratul maut akibat tercekik sejumlah faktor ekonomi dan politik, baik yang bersifat domestik, regional, maupun global.
Tumbangnya monarki Iran yang diwarisi Shah Pahlevi, sekutu kuat Amerika dan pasangan intim monarki Saudi, yang disusul berdirinya Republik Islam Iran, oleh revolusi terbesar di abad 21 yang dipimpin Ayatullah Khomeini menjadi peristiwa monumental. Publik dunia harap-harap cemas dengan revolusi paling akbar di abad modern ini. Namun bagi musuh-musuh kemanusiaan dan kemodernan seperti dinasti Saudi dan laskar hore-horenya berupa rezim-rezim hipokrit Teluk, revolusi Islam itu justru adalah ancaman bagi eksistensinya.
Sejak awal 1980an, Republik Islam Iran kemudian Islam Syiah yang semula asing dan lenyap di panggung dunia, termasuk di Indonesia, mendadak tenar dan menyedot perhatian khalayak internasional, terutama umat Muslim.
Setelah berkali-kali lolos dari bekapan konspirasi global pimpinan rezim arogan AS, seperti sukses mempertahankan kedaulatannya saat diagresi dan dianiaya selama 8 tahun oleh rezim Irak pimpinan Sadam Hosein yang disokong penuh rezim Saudi dan sekutu Teluknya, bahkan mayoritas dunia Arab, Iran justru kian perkasa, terlatih, dan makin percaya diri sebagai satu-satunya negara yang terbebas dari sangkar besi hegemoni Amerika. Lebih dari itu, Iran mencanangkan resistensi vis-a-vis neokolonialisme dan zionisme sebagai platforn politik luar negerinya. Target utama yang dibidik resistensime Iran tak muluk-muluk, yaitu menghapus rezim ilegal dan okupasionis milik klan zionis (yang menyebut dirinya “Israel”) dari peta dunia.
Sebagaiman sejarah menjadi saksi, rezim zionis sengaja dilahirkan dari dan untuk kolonialisme. Begitu pula dengan Rezim Saudi yang lahir bukan untuk memerdekakan Hijaz, melainkan malah untuk memasungnya dalam cangkang kolonialisme di tengah abad modern. Maka, wajar saja bila rezim monarki kembaran rezim zionis itu ikut terancam oleh kehadiran Iran berikut ideologi resistensinya. Maka, untuk menghambat laju pengaruh Iran yang begitu fenomenal, bahkan merubuhkan Republik Islam itu, hanya tersisa satu-satunya cara bagi rezim Saudi yang boleh dibilang mengkoloni Hijaz itu. Itu tak lebih dari membangun kerjasama strategis yang lebih intim dengan rezim arogan Amerika Serikat, kawanan zionis “Israel”, serta para sekutunya di kawasan.
Tiga serangkai musuh besar Iran berbagi tugas dan peran dalam agenda besar ini. Rezim AS memainkan kekuatan militer, ekonomi, dan media serta pengaruhnya di Eropa dan organisasi-organisasi dunia untuk mengisolasi Iran dalam pergaulan internasional. Secara militer, AS mengerahkan pasukan dan mesin perangnya besar-besaran ke kawasan Teluk Persia serta membangun pangkalan militer di sejumlah kerajaan sebagai postur yang mengancam Iran.
Secara ekonomi, embargo dan sanksi menjadi senjata psikologis dan politis yang siap ditembakkan ke negara manapun yang menjalin kerja sama ekonomi dengan Iran. Di sela-sela semua itu, rezim AS melalui media mainstream dan agen-agen rahasianya secara intensif, ekstensif, dan masif memuntahkan disinformasi dan manipulasi demi mendemonisasi Iran sekaligus mencipta ketegangan politik domestik, hingga kerusuhan sosial, aksi teror, dan separatisme.
Monarki Saudi sendiri memanfaatkan pengaruh primordial agama dan kekuatan petro-dolarnya untuk mengalienasi Iran dari dunia Islam. Modus utamanya dengan melancarkan propaganda rasis anti Persia di dunia Arab dan memproduksi fitnah sektarian berupa penyesatan dan pengkafiran Syiah di dunia Islam, khususnya di negara-negara yang mayoritas bermazhab Sunni.
Iran akhirnya dipaksa menghadapi tekanan maksimum multi-dimensi dan kepungan multi-direksi. Negaranya terus dirongrong, dianiaya, dan dikucilkan di dunia internasional. Sementara mazhab yang mayoritas dianut rakyatnya rutin dikafir-kafirkan di dunia Islam.
Tapi bukan Iran namanya jika tak mampu menghadapi semua kejahatan tingkat dewa yang digencarkan musuh-musuhnya itu. Bukan hanya mampu bertahan dan menghadang, Iran bahkan menganggap semua tekanan itu sebagai tantangan untuk mengubahnya jadi peluang dan kesempatan, antara lain:
1. Mengantisipasi ancaman nyata rezim zionis “Israel”, Iran kebut program swasembadanya dalam segala bidang, terutama tekonologi nuklir dan persenjataan militer.
2. Seraya mengabaikan rentetan sanksi sepihak dan ilegal rezim arogan AS terhadapnya, Iran berusaha menerobos blokade melalui penguatan hubungan bilateral dengan Rusia, Tiongkok, dan sejumlah negara yang relatif mempertahankan kemandiriannya di hadapan AS, termasuk Indonesia serta sejumlah negara Amerika Latin.
3. Aktif menyebarkan ide persatuan umat Islam yang visioner melalui konferensi, seminar, dan forum ilmiah yang diselenggarakan dengan mengundang para ulama dan pemikir Sunni papan atas demi mematahkan fitnah sektarian, membongkar falasi hingga fantasi wahabisme, sekaligus giat mengklarifikasi sejumlah isu kemazhaban yang sensitif.
4. Memperkenalkan resistensi vis-a-vis hegemoni dan kerakusan rezim AS serta koloni zionis “Israel” sebagai cara logis dan realistis bagi kemerdekaan Palestina, dus memperkuat faksi-faksi Palestina yang menolak proposal damai palsu yang diobral AS.
Seiring berputarnya waktu dan berkat ketabahan maksimal, visi resistensi yang dianut secara konsisten oleh Iran, kendati harus dibayar super mahal dengan hidup di tengah kompleks kesulitan akibat rentetan embargo dan fitnah.
Kian tegarnya Iran, membuat Rezim Saudi cemas bukan kepalang. Kepanikan mulai terlihat di wajah gurem rezim Saudi yang telah jor-joran menggelontorkan banyak uang demi melaksanakan agenda memojokkan Iran dan Syiah di seantero dunia Islam.
Sejarah umat manusia sepertinya mulai membalik telapak tangannya! (*Cendekiawan Muslim Indonesia)