Oleh: Dina Sulaeman*
Presiden Soekarno pada tahun 1962 dengan tegas menolak kehadiran Israel (dan Taiwan) dalam Asian Games 1962 di Jakarta. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Bung Karno saat itu.
Penjajahan Israel atas Palestina merupakan aib besar sepanjang sejarah manusia modern pasca PD II. Aib yang dimulai dari Resolusi PBB 181/1947 yang menyetujui dibangunnya sebuah negara khusus Yahudi di atas tanah yang telah ditempati bangsa Arab Palestina selama ribuan tahun.
PBB mengalokasikan 56,5 persen wilayah Palestina untuk pendirian negara Yahudi, 43 persen untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional. Tapi kelak, pada tahun 1967–setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel—Israel menduduki Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.
Begitu Israel ‘disahkan’ untuk berdiri, pasukan Israel pun melakukan pengusiran dan pembunuhan orang-orang Palestina dari tanah mereka. Jutaan orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia didatangkan untuk menjadi warga ‘negara’ yang baru berdiri itu.
Untuk menjustifikasi kisah kelam di balik berdirinya Israel, berbagai upaya pengaburan sejarah dan distorsi opini dilakukan. Akibatnya, sebagian orang masih memandang Israel sebagai entitas yang perlu diakui ‘hak’-nya.
Tak kurang Presiden Obama, saat mengomentari Operasi Cast Lead Israel di Gaza, Januari 2009, justru menyalahkan Hamas.
Obama berkata, “Biarkan saya jelaskan, Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun Hamas telah meluncurkan ribuan roket kepada warga Israel yang tak berdosa.”
Pernyataan senada, menyalahkan Hamas juga diulangi Obama menyusul serangan militer Israel ke Gaza bulan Juli 2019. Pernyataan Obama ini telah melepaskan aksi Hamas dari konteksnya. Bukankah Hamas melempar roket sebagai bentuk perlawanan atas penjajahan Israel? Bagaimana mungkin orang terjajah disalahkan ketika melawan penjajah?
Bangsa Indonesia umumnya membela Palestina dengan landasan argumen UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Namun terkadang ada yang menggugat, “Negeri kita ini masih banyak masalah. Orang Arab saja tidak peduli pada Palestina, mengapa kita harus sibuk membantu?”
Untuk menjawabnya, mari kita dengar dulu apa yang diceritakan John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man. Menurut kesaksiannya, modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang.
Kata Perkins, “Salah satu kondisi pinjaman itu–katakanlah US $ 1 miliar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar”.
Lalu siapakah pemilik Halliburton atau Bechtel yang disebut Perkins? Sebagian saham Halliburton dikuasai Soros, bisnismen Yahudi yang berperan penting dalam ambruknya perekonomian Asia (termasuk Indonesia, tentu saja) tahun 1997. Bechtel pun dimiliki oleh keluarga Yahudi Amerika.
Ini baru dua di antara sekian banyak perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di seluruh dunia. Bila kita mempelajari bagaimana sepak terjang berbagai perusahaan transnasional yang dikuasai oleh pebisnis Yahudi dalam mengeruk uang (sebagiannya telah ditulis oleh Perkins), kita dapat menyimpulkan bahwa mereka melakukan aktivitas ekonomi yang kotor dan menghalalkan segala cara.
Indonesia adalah saksinya. Anda bisa mulai mengecek siapa saja pemilik saham perusahaan-perusahaan minyak transnasional yang mengeruk minyak kita, sementara kita setiap hari harus impor minyak dari luar.
Lalu, ke mana mereka mengalirkan uang itu? Haaretz (koran Israel) pernah menulis bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’.
Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral.
Inilah yang membuat Israel ‘hidup’ hingga hari ini, mampu melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.
Jadi, membela Palestina pada hakikatnya adalah membela diri kita. Kita pun adalah korban dari tatanan ekonomi dunia yang tidak adil, yang diatur oleh para pebisnis Yahudi.
Karena itu, pembelaan pada Palestina seharusnya tidak sekedar histeria mengutuk serangan fisik di Gaza, tapi melupakan aspek ekonomi-politik internasional. Palestina adalah kita karena kita menghadapi musuh yang sama.
***
Frasa ‘Palestina adalah Kita’ saya ambil dari tulisan Gilad Atzmon, seorang penulis Yahudi yang lahir dan besar di Israel. Di masa dewasanya, ia menyadari kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina dan memilih pergi keluar, tinggal di Inggris, lalu aktif menulis mengkritik Israel dan membela Palestina.
Dia bahkan menyebut diri sebagai orang Palestina. “Saya seorang Palestina yang berbahasa Ibrani,” kata Gilad kepada saya, saat kami berjumpa di Bandung tahun 2017.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah penjelasan Gilad mengenai politik identitas yang digunakan oleh elit Yahudi-Zionis untuk kepentingan mereka. Kata Gilad, orang Yahudi dibentuk untuk lebih ‘merasa sebagai Yahudi’, dibanding ‘merasa sebagai yang lain’. Jadi, mereka akan lebih membela ke-Yahudi-an dibanding negara tempat mereka tinggal. Ini yang ngomong orang Yahudi sendiri ya, bukan saya.
Tentu saja, selalu ada perkecualian, misalnya saja Gilad sendiri, atau Miko Peled; atau para Rabi Neturei Karta yang menolak Israel. Banyak juga orang-orang Yahudi yang mendirikan LSM untuk membela Palestina. Mereka berusaha membuka mata saudara seiman mereka tentang kejahatan rezim Zionis.
Nah, politik identitas serupa juga dipakai oleh ‘saudara kembar’ Zionis: kaum Wahabi. Sejak dimulainya Perang Suriah (2012), politik identitas ini digunakan Wahabi untuk mengacau Indonesia. Konflik Suriah diimpor ke Indonesia dengan 3 tujuan utama: merekrut petempur (“jihadis”), menggalang dana untuk “perjuangan jihad”, dan menguasai politik dalam negeri.
Sejak pilpres 2014, jelas sekali, kelompok-kelompok pendukung “jihad” Suriah itu menunggangi konstelasi politik Indonesia untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengedepankan identitas keislaman (itupun Islam versi mereka) untuk menggalang suara atau untuk menjatuhkan rival politik. Sebagian massa yang terlibat mungkin tak sadar karena mereka mengira sedang “membela agama”. Perlu kecerdasan politik untuk menyadari adanya politik identitas.
Belakangan, militer Israel mengakui bahwa mereka menyuplai dana dan senjata pada para “jihadis” Suriah. Tokoh-tokoh politik AS sendiri juga sudah mengecam bantuan dana dan senjata yang diberikan pemerintah AS kepada “jihadis”. Mengapa AS dan Israel yang mengaku ‘demokrasi’ itu malah mendukung para teroris/”jihadis”, lalu AS bahkan membunuh Jenderal Soleimani yang sukses memimpin perang mengalahkan ISIS?
Karena, Assad adalah pembela Palestina di garis depan; artinya, dia adalah salah satu musuh terbesar Israel. Sementara itu, para “jihadis” tidak cukup cerdas memahami ini. Bagai zombie, mereka berperang di Suriah, membunuhi sesama Muslim, umat Kristen, Yazidi, dll.
Itulah sebabnya, ISIS (serta kelompok “jihadis”/teroris lain) tidak pernah menyerang Israel. Bahkan Menteri Perang Israel, Moshe Ya’alon menyatakan, “Di Suriah, jika pilihannya antara Iran dan ISIS, saya memilih ISIS.”
Di Indonesia, para supporter “jihadis” ini terus-menerus menyebarkan narasi politik identitas, agar publik terus marah dan mau disetir ke arah manapun yang mereka inginkan. Kalau perlu, sesekali ledakkan bom untuk meluapkan kemarahan kepada kaum “kafir”.
Ini benang merah pertama yang menghubungkan Israel-Suriah-Palestina-Indonesia.
Selain itu, ada benang merah kedua.
John Perkins, dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man menceritakan bahwa modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang bangsa Indonesia (dan negara berkembang/miskin lain) adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang.
Tulis Perkins, “Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.”
Lalu siapakah pemilik Halliburton atau Bechtel yang disebut Perkins? Silahkan google saja. Google apa saja proyek mereka di negeri-negeri yang sudah diduduki AS (Irak, misalnya). Google juga, siapa pemilik saham Big Oil yang menguasai ladang-ladang minyak di Indonesia. Cek mana saja perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di Indonesia dan seluruh dunia (sebagian dengan cara-cara kotor). Pelajari ekonomi politik global, pelajari bagaimana perekonomian dunia ini dikuasai segelitir manusia; mereka membiayai berbagai perang demi mengeruk keuntungan yang sangat besar.
Dari situ, Anda akan menemukan nama-nama keluarga/dinasti Yahudi pro-Israel atau Kristen Evangelis yang sangat kaya dan merekalah tulang punggung ekonomi Israel. Haaretz (koran Israel) pernah menulis bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ (sedekah) kepada Israel sebagai sebuah kewajiban moral. Umat Kristen Evangelis (sebagian) jadi korban doktrin para pengkhutbah pro-Zionis, sehingga mereka menyumbang uang sangat-sangat besar untuk Israel.
[Catat: yang dipersoalkan bukan Yahudi-nya atau Kristen-nya, melainkan dukungan mereka pada rezim yang melakukan kejahatan kemanusian di Palestina].
Sumbangan dana raksasa dari mereka, serta dukungan politik-militer AS, yang membuat rezim Zionis Israel bertahan hingga hari ini, terus melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.
Semoga bisa dilihat dua benang merah itu. Penjelasan soal para pebisnis pro-Israel ini bisa dibaca lebih lanjut di tulisan Gilad, supaya bisa lebih paham mengapa ia sampai menulis: “kita semua adalah Palestina, karena kita menghadapi musuh yang sama”.
Begini, frasa ‘Palestina adalah Kita” saya ambil dari seorang penulis Yahudi yang lahir dan besar di Israel, Gilad Atzmon. Di masa dewasanya, ia menyadari kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina dan memilih pergi keluar, tinggal di Inggris, lalu aktif menulis mengkritik Israel dan membela Palestina. Dia bahkan menyebut diri sebagai orang Palestina. “Saya seorang Palestina yang berbahasa Ibrani,” kata Gilad kepada saya, saat kami berjumpa di Bandung tahun 2017.
Bertemu Gilad, yang sudah saya kenal via Medsos beberapa tahun sebelumnya, cukup mendebarkan. Saya membaca bukunya, The Wandering Who, dan bisa merasakan pergulatan batin dan pikirannya terkait ras/leluhur/agama-nya sendiri. Ini perjumpaan kedua saya dengan orang Yahudi; yang pertama kali, bertahun yang lalu, di Tokyo.
Saya mengajak teman baik saya, Syarif, seorang penstudi HI. Kami berbincang akrab di lobby Hotel Papandayan, karena Gilad akan manggung di hotel itu malam harinya. Sikapnya hangat dan menyenangkan.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah penjelasan Gilad mengenai politik identitas yang digunakan oleh elite Yahudi untuk kepentingan mereka. Orang-orang Yahudi dibentuk untuk lebih ‘merasa sebagai Yahudi’, dibanding ‘merasa sebagai yang lain’. Jadi, mereka akan lebih membela ke-Yahudi-an dibanding negara tempat mereka tinggal.
Sikap/pandangan seperti ini diistilahkan dengan ‘politik identitas’. Inilah yang menjelaskan mengapa orang-orang Yahudi seluruh dunia merasa terikat pada Israel, menjadi pembela Israel, dan menyumbangkan uang ‘tzedakah’ untuk kejayaan Israel.
Itu pula sebabnya mereka tutup mata dan telinga melihat kebrutalan yang dilakukan tentara Israel di Palestina, karena yang penting adalah ‘mereka’ (kaum Yahudi).
Tentu saja, selalu ada perkecualian, misalnya saja Gilad, atau Miko Peled yang pernah juga saya ceritakan; atau para Rabi Neturei Karta yang menolak Israel. Banyak juga orang-orang Yahudi yang mendirikan LSM untuk membela Palestina.
Gilad bertanya pada saya, apa di Indonesia juga ada politik identitas? Ada, jawab saya.
Aksi demo 212 adalah bentuk paling gamblang dari politik identitas di Indonesia. Dengan mengedepankan identitas keislaman (itu pun Islam versi sebagian ustad yang berpolitik), publik digalang untuk mendukung kelompok politik tertentu.
Sebagian pelaku demo tentu tak sadar: mereka semata-mata hanya merasa sedang membela agama. Perlu kecerdasan politik untuk menyadari adanya politik identitas.
Diskusi dengan Gilad memberi saya inspirasi untuk menuliskan hal-hal berikut ini.
Politik identitas atau memanfaatkan identitas tertentu dalam menggalang dukungan politik, adalah sebuah langkah berbahaya. Sebuah bangsa akan dipecah-pecah oleh identitas itu.
Yang diperjuangkan bukan lagi bangsa, tetapi kelompok dengan identitas yang semu, dikonstruksi sesuai kehendak para penyandang dana.
Seolah yang syar’i adalah yang ikut demo 212, yang lain tidak. Yang Islam adalah yang dukung si anu, yang lain tidak. Sehingga yang tidak dukung si anu dianggap bukan Islam dan ditolak jenazahnya oleh masjid tertentu.
Padahal kemudian diketahui, kelompok politik yang diusung 212 ternyata juga berbaik-baik dengan taipan etnis China. Lihat betapa semu identitas yang dibangun: etnis China di dalam kelompok ‘kami’ berbeda identitas dengan etnis China yang berada di luar kelompok ‘kami’.
Identitas ‘kami’ dan ‘mereka’ telah membuat bangsa ini tercabik-cabik, friksinya meluber ke mana-mana. Tidak lagi sebatas Pilkada, tapi masuk ke berbagai ranah sosial.
Di Palestina ini pun terjadi. Hamas, yang awalnya pejuang kemerdekaan Palestina, mendapat dukungan luas dari kaum Muslimin dunia, tiba-tiba saja memilih berpihak kepada para pemberontak (teroris) Suriah. Ketika front pembela Palestina sudah mati-matian membela dan mendukung Hamas, elite Hamas malah melempar kotoran kepada mereka.
Apa sebabnya? Tak lain: politik identitas. Elite Hamas lebih mengedepankan identitas sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, lalu bergabung dengan teroris di Suriah yang juga berasal dari IM.
Front pejuang Palestina pun kocar-kacir. Energi Suriah, Hizbullah, dan Iran, yang selama ini fokus membela Palestina terpaksa dikuras selama 8 tahun untuk berperang melawan ISIS, Al Qaida, FSA, Jaish al Islam, dll. Palestina terabaikan.
Berita-berita kebrutalan tentara Israel terhadap warga Palestina terabaikan. Dunia lebih sibuk ‘mengurus’ Bashar Assad yang dituduh diktator, firaun, kejam, dll. [Tapi sekarang Hamas sudah ‘tobat’ dan lebih fokus mengurus Palestina].
Ini pun terjadi di Indonesia. Sebagai bangsa, kita menikmati keleluasaan untuk bergerak sebagai satu kesatuan. Kita punya Pancasila yang menjadi perekat dari berbagai keragaman yang ada. Tentu, masih banyak yang harus dibenahi, terutama di bidang kedaulatan ekonomi.
Tapi, front tertentu tiba-tiba saja menggunakan politik identitas ini dan merobek kerekatan itu. Prosesnya berbarengan dengan konflik Suriah, tapi semakin tereskalasi pada Pilpres 2014 sampai sekarang.
Siapakah orang-orang yang sangat aktif mengusung politik identitas keagamaan ini di Indonesia? Sudah sering saya ceritakan: tak lain, mereka yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang angkat senjata di Suriah: Ikhwanul Muslimin, HTI, ISIS, Al Qaida (di Indonesia mereka menjelma dalam berbagai nama).
Saya juga sudah sering menuliskan bahwa para teroris di Suriah itu mendapatkan dana dan senjata dari AS dan sekutunya (terutama Saudi, Turki, Qatar). Para tokoh elite AS sudah mengakui hal ini, media mainstream pun sudah memberitakan.
***
Sebelumnya, saya sudah tulis bahwa segala kebijakan perang AS adalah demi Israel. Kekacauan di Timteng dilakukan oleh kelompok-kelompok ‘jihad’ yang sebenarnya didanai oleh AS dkk.
Setali tiga uang: di Indonesia, rusaknya atmosfer kebangsaan diprovokasi oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ‘jihad’ Suriah. Entah sadar atau tidak sadar, tapi merekalah pelaku utamanya. [Oiya, mereka ini juga hobi mengusung isu Palestina, terutama untuk menggalang dana, semoga kini Anda sudah tahu posisi asli mereka].
Di Indonesia, ketika publik gaduh bertengkar akibat isu agama/sektarian, adakah yang peduli pada manuver kapitalis global dalam mengeruk kekayaan alam kita?
Adakah yang mengawasi apa yang terjadi di pegunungan Kendeng, atau pertambangan-pertambangan yang memperkaya segelintir, tetapi menimbulkan dampak ekologi yang sangat buruk bagi masyarakat?
Adakah yang peduli pada nasib masyarakat yang kekeringan karena airnya dikuras oleh perusahaan penjual air yang terafiliasi dengan Israel? Siapakah pemilik saham perusahaan-perusahaan transnasional yang mengeruk kekayaan alam Indonesia?
Tidak ada yang peduli. Karena kita sibuk berdebat soal agama. Rakyat sibuk bertengkar, para kapitalis berpesta pora. Alangkah bodohnya kita.
Tulisan ini sudah terlalu panjang. Tapi semoga bisa dilihat benang merahnya, sehingga bisa paham mengapa Gilad sampai menulis: kita semua adalah Palestina, karena kita menghadapi musuh yang sama. (*Pengamat Asia Barat)