Oleh: M. Dudi Hari Saputra*
Jika kita kaji pemikiran developmentalisme di Asia Timur, inti persoalan masyarakat Asia bukan diproduksi dan pasca produksi sebagaimana pandangan Marx klasik, melainkan pra-produksi. Karenanya, Hatta membuat buku Persosindo atau Tan Malaka dengan Madilog-nya, bahwa problem Indonesia tidak sama dengan gambaran Marx-Engels terkait konteks masyarakat Eropa yang sudah mengalami Aufklarung/Renaissance. Fakta mayoritas masyarakat secara pemikiran masih stuck di dark ages, dengan menjadikan superstition dan simbol sebagai logosentris.
Salah satu budaya pra-produksi yang menghambat proses progresifitas ini adalah budaya feodalisme, dan untuk menggeser budaya feodalisme ini butuh perjuangan. China, Korsel dan Jepang melaluinya dengan proses evolusi budaya yang luar biasa, beberapa ajaran Konfusius dan Shinto yang dianggap menghambat dan tidak sesuai dengan pandangan realis (baca: materialis) dikritisi, hirarki budaya feodal tertutup diganti dengan kultur kelas sosial terbuka meritokrasi. Dan selama Indonesia tidak melakukan proses ini, maka akan terus terjebak pada ersaatz capitalism (kapitalisme semu), yang oleh Sukarno disebut neokolim.
Mungkin tulisan dan diskusi seperti ini dianggap tabu dan kurang dipahami, bahkan ada yang anti dengan cara stigmatisasi sebagai “kiri”. Dan gerakan anti diskusi dan anti pengetahuan hanya membawa alur berfikir yang semakin abai dalam dialektika melihat realitas sosial, dan hal ini memang diinginkan oleh pihak-pihak yang sudah mapan, dan tidak ingin kemapanannya diganggu.
Term kiri sendiri cenderung tidak dipahami secara epistemik, melainkan politis dan asosiatif ke komunis, padahal kiri sendiri banyak sekali derivasinya, kesalahpahaman ini mungkin karena masih lemahnya budaya literasi.
Dan jika kita coba kaji lebih dalam namun singkat, ada beberapa perbedaan pemahaman terkait kiri atau dalam hal ini adalah sosialis. Misal kenapa gerakan kiri awal disebut strukturalis, karena concern mereka hanya kepada merebut dan mengubah alat dan sistem negara (struktur). Karenanya, Mazhab Frankfurt (Adorno, Horkheimer dan Habermas) mengkritisi ini karena USSR pun pasca Lenin malah menjadi rezim fasis dalam bentuk tangan besi Stalinis. Problemnya, bukan di struktur, melainkan “super-struktur” (baca: ideologi dan budaya).
Sebab itu, kata Tan Malaka, kita belum merdeka 100 persen, karena walau kalangan sosialis-nasionalis seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir sudah handle negara, tapi budaya feodalisme masih ada.
Umpamanya, HP kita smartphone, tapi yang menggunakan masih kolot, jadi mudah percaya hoaks, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, baik Sukarno, Hatta maupun Sjahrir memahami permasalahan ini, hanya mereka berbeda pandangan di dalam metodologi, ada yang sindikalis (terdesentralisasi dan berproses) dan ada yang revolusionlis (terpusat dan cepat).
Dan akan lebih mudah bagi kita menganalisis Indonesia dengan menggunakan pendekatan WST (World System Theory) dari Wallerstein, karena akan terpahami bahwa negara peripheral (selatan) seperti Indonesia, cuma jadi sumber bahan mentah bagi negara-negara maju (core/inti). Jadi, sebenarnya kita belum memasuki fase kapitalis-neoliberal, melainkan masih terjebak pada kapitalisme primitif (baca: neokolim) ala VOC (Revrisond Baswir, 2016), yang mengandalkan SDA dengan prinsip: eksplorasi, eksploitasi, akumulasi dan monopoli.
Lantas bagaimana dengan pandangan pemikiran sosialis dan agama di Indonesia, terutama Islam? Karena bukankah menurut Steevlit (pendiri Sosial-Demokrat di Indonesia yang berasal dari Belanda) kepada Tan Malaka bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan pemikiran sosialis? Lantas dari mana ada anggapan gesekan itu?
Hal ini terjadi karena kesalahpahaman cara membaca realitas, bahwa realitas itu tidak tunggal dan statis, melainkan ia bervariasi dan bergerak. Karenanya, jika kita mencoba memahami pernyataan Marx bahwa “agama adalah candu”, maka jangan dipahami secara tekstual seperti yang dilakukan oleh Aidit dkk., yang memaksakan gerakan Bolshevik ke Indonesia. Yang membuat kalangan sosialis-nasionalis Indonesia menentang keras ide itu, seperti Sukarno, Sjahrir bahkan Tan Malaka.
Kita harus memahaminya secara kontekstual, misal kenapa menurut Marx agama adalah candu, karena dia merujuk agama Christendom di Eropa yang mendominasi dan menjadi alat kapitalisme dan penindas masyarakat Eropa. Tapi bukan agama sebagaimana an sich, hal ini bisa kita rujuk dalam tulisannya di The German Ideology. Jadi, ada istilah agama pembebasan, karena agama itu bukanlah candu selama ia memiliki prinsip membebaskan, dalam hal ini menurut Foucault dan Ali Syariati ada pada Islam.
Tapi bukankah materialisme (baca: ekonomi) adalah logosentris yang mendeterminasi aspek-aspek yang lain? Sebenarnya pandangan ini secara epistemology fallacy, karena material bukan kausalitas sebagaimana dipahami sebab mutlak (kausa prima), melainkan resiprokal (timbal-balik), ibarat pisau sebagai materi, akan berbeda dipahami di tangan seorang pembunuh dan koki dapur (kajian hermeneutika).
Jadi, material itu bukan sebab tunggal, ia hanya salah satu sebab dari sebab-sebab yang lain (bisa mengacu pada 4 sebab Aristoteles: forma/ide, final, efisien dan material, bahkan ada yang lebih). Karenanya, faktor ekonomi dan faktor-faktor lain itu saling mempengaruhi dan mendeterminasi satu sama lain, seperti pernyataan Marx: ekonomi itu tidak hidup di ruang yang kosong, ia bersentuhan dengan faktor-faktor yang lain. Dalam hal ini seperti ilmu pengetahuan (ide) dan budaya (kultur). (*Dosen Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)