BERITAALTERNATIF.COM – Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanahkan proses penyelesaian pelanggaran kodek etik jurnalistik lewat Dewan Pers.
Dosen dan praktisi hukum dari Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong Mansyur menjelaskan bahwa pelanggaran di dunia pers tak boleh ditangani oleh aparat kepolisian.
“Ada beberapa urusan pers yang tidak boleh dicampuraduk dan ditangani oleh aparat penegak hukum,” ucapnya sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Alternatif Talks pada Rabu (15/5/2024).
Menurut dia, pelanggaran di dunia pers bisa berbentuk pelanggaran etik dan hukum. Ketidaktaatan terhadap etik harus diselesaikan lewat Dewan Pers.
“Kecuali pelanggaran-pelanggaran yang tidak berkaitan dengan karya jurnalistik, misalkan pemukulan, penganiayaan, itu pasti berurusan dengan aparat penegak hukum,” jelasnya.
Meski begitu, ia menerangkan, pelapor memiliki hak untuk melaporkan insan pers kepada aparat penegak hukum.
Hal itu merupakan hak setiap warga negara yang keberatan ataupun merasa dirugikan atas pemberitaan yang dilakukan perusahaan pers.
“Kita tidak boleh melarang orang dalam melakukan pelaporan. Nanti redaksilah yang akan menjelaskan ke teman-teman penyidik bahwa dalam Undang-Undang Pers itu tidak boleh diambil alih oleh kepolisian karena ini adalah urusan pers maka harus diambil alih oleh Dewan Pers,” terangnya.
Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan terkait produk pers, menurut dia, pemimpin redaksi memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya lewat jalur hukum maupun Dewan Pers.
“Paling-paling nanti wartawannya hanya dijadikan sebagai saksi,” ucapnya.
Karya jurnalistik, kata Mansyur, memang rentan menuai protes dari pihak-pihak yang merasakan dirugikan.
Dia menjelaskan, karya jurnalistik terbagi menjadi berita yang berasal dari narasumber dan analisis pribadi awak media.
“Ada 2 skema yang sering dipakai wartawan dalam membuat berita, yaitu dengan skema mencari narasumber dan skema melakukan analisis pribadi,” terangnya.
Karya jurnalistik yang dibuat berdasarkan analisis pribadi, ungkap Mansyur, menjadi tanggung jawab penulis.
“Tapi kalau menggunakan skema wawancara maka yang bertanggung jawab adalah narasumber yang memberikan pernyataan,” ujarnya.
Dia berpesan kepada insan pers agar menjadikan prinsip praduga tak bersalah terhadap setiap pelaku yang terduga melanggar hukum.
“Penempatan kata seperti itu yang harus diperhatikan,” pesannya.
Ia juga menyarankan insan pers mempelajari dan memahami hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan pers.
“Berkecimpung dalam dunia pers itu harus memiliki pemahaman hukum dan mental yang kuat,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ilham
Editor: Ufqil Mubin