Dr. Herdiansyah Hamzah*
Masa jabatan seorang kepala daerah, mulai dihitung sejak saat “pelantikan”. Hal ini disebutkan secara eksplisit, setidaknya dalam 2 norma hukum, yakni: Pertama, ketentuan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), yang menyebutkan bahwa, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Kedua, ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Oleh karena itu, sebelum kepala daerah memangku jabatannya, terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpah/janji. Persoalan kemudian muncul kembali dalam hal pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, di mana dalam ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (PKPU Nomor 8 Tahun 2024), di mana penghitungan periode masa jabatan dimulai sejak saat pelantikan. Dalam ketentuan Pasal 19 huruf e PKPU Nomor 8 tahun 2024, menyebutksan secara eksplisit bahwa, “penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan”. Bagaimana sesungguhnya tafsir norma tersebut? Apakah frase “pelantikan” itu bermakna hitungan masa jabatan hanya berlaku terhadap jabatan-jabatan yang melalui proses pelantikan? Dan apakah jabatan-jabatan yang hanya melalui proses “pengukuhan”, tidak termasuk dalam periodesasi atau penghitungan masa jabatan? Keterangan ini hendak menjawab pertanyaan ini.
Memahami Makna “Pelantikan”
Ada 2 pertanyaan yang mesti dijawab untuk melekatkan konteks terhadap pelantikan kepala daerah ini. Pertama, apa makna pelantikan bagi kepala daerah? Dan kedua, apa akibat hukum dari pelantikan kepala daerah ini? Kita bahas mengenai makna pelantikan terlebih dahulu agar kita semua punya kesamaan pandangan terhadapnya. Secara etimologi, pelantikan dipahami sebagai proses, cara, perbuatan melantik. Di mana melantik sendiri didefinisikan sebagai perbuatan untuk mengangkat (biasanya dengan mengucapkan sumpah dalam sebuah upacara); meresmikan. Dalam black law dictionary, pelantikan dimaknai sebagai upacara formal melantik seseorang untuk menjabat; upacara formal memperkenalkan sesuatu untuk kepentingan umum; permulaan formal suatu periode waktu atau tindakan. Sementara dalam cambridge dictionary, pelantikan diartikan sebagai tindakan resmi menempatkan seseorang pada posisi penting, atau upacara di mana hal ini dilakukan; tindakan sesuatu yang resmi mulai digunakan, yang menandai awal periode. Dalam beragam referensi, pelantikan selalu berkaitan dengan 2 hal, yakni: Pertama, pelantikan pertanda terjadinya proses peralihan kekuasaan dari pejabat yang lama kepada pejabat yang baru. Kedua, peralihan kekuasaan ini bermakna pejabat yang baru telah memulai menjalankan kekuasaannya. Legitimasi diperoleh berdasarkan peristiwa hukum yang disebut sebagai “pelantikan” ini.
Pada dasarnya, dalam sistem kekuasaan pemerintahan kita, hanya kepala daerah definitif, wakil kepala daerah definitif, dan penjabat kepala daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ketentuan. Pertama, dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Guberbur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Kedua regulasi ini hanya mengatur pelantikan kepala daerah dan wakil kepala definitif, serta penjabat (Pj) kepala daerah, tidak mengatur pelantikan bagi pelaksana tugas (Plt), pelaksana harian (Plh), dan penjabat sementara (Pjs). Hal ini karena tidak adanya penyerahan kekuasaan yang ditandai perlihan dari pejabat yang lama kepada pejabat yang baru. Baik Plt, Plh, maupun Pjs, hanya menggantikan pejabat definitif untuk sementara waktu, terutama saat pejabat definitif berhalangan sementara untuk menjalankan tugas rutinnya sehari-hari. Oleh karena itu, terhadap Plt, Plh, dan Pjs hanya dilaksanakan pengukuhan sebelum menjalankan fungsi dan kewenangannya.
Pelantikan dan pengukuhan, jelas merupakan 2 terminologi yang berbeda. Hal ini terutama berkaitan dari mana dan bagaimana kekuasaan itu diperoleh. Jadi bisa diidentifikasi berbadasarkan peristiwa hukumnya masing-masing. Jika pelantikan itu basisnya “peralihan kekuasaan”, maka pengukuhan basisnya “fungsional”, yang konteksnya adalah kekuasaan yang dijalankan hanya untuk sementara waktu, terutama di saat pejabat definitif berhalangan sementara. Hal ini memberikan kejelasan jika hitungan masa jabatan atau periodesasi jabatan kepala daerah, semestinya dimulai sejak saat peralihan kekuasaan berlangsung. Dalam hal ini ditandai dengan proses pelantikan melalui pengambilan sumpah jabatan, sebelum kekuasaannya dijalankan, lalu dilanjutkan dengan serah terima jabatan. Dan hitungan berdasarkan pelantikan ini, hanya mungkin dilakukan terhadap jabatan-jabatan yang mencakup kepala daerah dan wakil kepala daerah definif, serta penjabat kepala daerah. Adapun jabatan yang hanya dikukuhkan, mencakup Plt, Plh, dan Pjs, tidak termasuk dalam periodesasi atau penghitungan masa jabatan.
Pelantikan sebagai awal hitungan masa jabatan sendiri, bukanlah hal yang baru. Dalam PKPU sebelumnya, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (PKPU Nomor 9 Tahun 2020), pelantikan sudah dijadikan patokan dalam menghitung masa jabatan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 1 PKPU Nomor 9 Tahun 2020, disebutkan bahwa, “penghitungan 2 (dua) kali masa jabatan dihitung berdasarkan jumlah pelantikan dalam jabatan yang sama, yaitu masa jabatan pertama selama 5 (lima) tahun penuh dan masa jabatan kedua paling singkat selama 2 ½ (dua setengah) tahun, dan sebaliknya”. Hal ini kemudian diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020, yang menyatakan eksplisit bahwa, “penghitungan 5 (lima) tahun masa jabatan atau 2 ½ (dua setengah) tahun masa jabatan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dihitung sejak tanggal pelantikan sampai dengan akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang bersangkutan”.
Penghitungan masa jabatan sejak saat pelantikan, juga disebutkan eksplisit dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Bahwa yang bersangkutan belum pernah menjabat dua kali masa jabatan di daerah yang sama atau daerah lain dan penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan”. Hal ini ditegaskan dalam ratio decidendi putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang menegaskan bahwa, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak”. Hal ini diperkuat kembali dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak”. Berdasarkan hal tersebut, tafsir MK berkaitan dengan dimulainya masa jabatan kepala daerah, dihitung sejak saat pelantikan.
Kedudukan PKPU
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) memang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Namun demikian, PKPU dikualifikasikan sebagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, yang menyebutkan bahwa, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Frase “badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang” dalam ketentuan a quo, memberikan legitimasi dan kekuatan hukum terhadap PKPU sebagai salah satu jenis produk perundang-undangan. Untuk mendapatkan daya ikat, maka peraturan perundang-undangan harus berdasarkan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibuat berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang menyatakan bahwa, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”. Pertanyaannya adalah, kekuataan hukum mengingat PKPU datang dari mana? Tidak mungking turun begitu saja dari langit. PKPU dibentuk berdasarkan keduanya sekaligus, baik berdasarkan perintah peraturan yang lebih tinggi maupun berdasarkan kewenangannya.
Pertama, jika ditinjau dari segi kewenangannya, KPU merupakan lembaga yang diberikan tanggung jawab penuh dalam bentuk tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan, baik pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Dan salah satu kewenangan tersebut berwujud dalam bentuk pembuatan PKPU dalam rangka memperlancar proses penyelenggaraan pemilihan. Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada, kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada, yang menyebutkan bahwa, “tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilihan, salah satunya untuk menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”. Kedua, jika dilihat berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut melalui PKPU. UU Pilkada mendelegasikan kepada KPU untuk membuat peraturan lebih lanjut berkaitan dengan aspek tertentu dalam penyelenggaraan Pilkada.
Namun jangan lupa, KPU juga berkewajiban menyesuaikan akibat-akibat hukum yang lahir dari putusan pengadilan, terutama yang lahir dari pengujian peraturan perundang-undangan baik di MK maupun di Mahkamah Agung. Hal ini lebih khusus putusan MK yang menguji norma dalam UU Pilkada sebagai aturan payung dari PKPU. Putusan MK wajib untuk diintegrasikan ke dalam PKPU. Bukan hanya karena putusan MK bersifat mengikat, tapi juga karena PKPU merupakan peraturan pelaksana dari UU Pilkada sehingga wajib memberikan “kepastian hukum” dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Dalam hukum administrasi negara, sifat dan tujuan PKPU adalah mengoperasionalkan pelaksanaan pemilu dan pilkada. Jadi, konteks negara dalam keadaan bergerak, diinternalisasi oleh peraturan KPU. Secara teoritik, jika hukum tata negara mengkaji negara dalam keadaan diam atau staat in rust, maka hukum administrasi negara mengkaji negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging. Kapasitas PKPU, adalah merespons putusan MK agar pemilu dan pilkada dapat diselenggarakan sebagaimana yang diperintahkan peraturan perundang-undangan. PKPU menerjemahkan bagaimana tata kelola pemilu dan pilkada bisa terus dijalankan. (*Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)