Kukar, beritaalternatif.com – Pemerintah Desa (Pemdes) Rempanga, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara (Kukar), mempertanyakan kejelasan reklamasi kolam pasca tambang seluas 10 hektar dengan kedalaman sekitar 70 meter di desa tersebut.
Kolam yang sebelumnya disepakati untuk dikelola dengan baik tersebut ditinggalkan begitu saja oleh pemilik perusahaan asal Balikpapan itu dari tahun 2008 hingga 2014 karena pelimpahan wewenang dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
Beberapa kali Pemdes Rempanga berupaya memfasilitasi seperti melakukan Forum Group Discussion (FGD) dengan pihak yang terlibat di antaranya Inspektorat Tambang, Camat dan Dinas ESDM Kaltim, namun belum ada titik terang karena pelimpahan wewenang dari provinsi ke pusat.
“Harusnya selesai kontrak itu diperbaiki lagi, tapi kan kalau hitungan kita enggak mungkin. Kalau menutup lubang 10 hektar dengan kedalaman 70 meter itu perlu dana Rp 300 miliar, sementara jaminan reklamasi berdasarkan data BPK itu cuma Rp 94 juta,” terang Kades Rempanga, Norsari, kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Sementara itu, lanjut dia, dana jaminan pasca tambang tersebut juga tidak diketahui penyetorannya. Hal tersebut membuat masyarakat bingung, sebab di wilayah itu rawan bencana.
“Dulu kabupaten melimpahkan ke provinsi. Sekarang provinsi melimpahkan ke pusat. Itu yang jadi permasalahan. BLHD juga enggak berani berbuat karena belum ada pelimpahan,” paparnya.
Karenanya, sambung dia, masyarakat yang tinggal di sekitar kolam mengaku resah dengan hal tersebut. Pemda juga kebingungan dalam menyelesaikan persoalan ini. Sebab, reklamasi pasca tambang harus dilakukan, namun sampai sekarang belum terlaksana.
Berdasarkan pengkajian melalui FGD dengan berbagai pihak, ia juga berharap agar Pemda melakukan kajian, tetapi setelah dirinya mengonfirmasikan kepada BLHD Kukar, tidak mungkin hal itu dilakukan karena kewenangan Dinas ESDM Kaltim sudah dilimpahkan ke pemerintah pusat. “Harusnya ada pelimpahan balik,” ucapnya.
Sebagai Kades, Norsari kerap mendapat laporan dari masyarakat yang jarak tinggalnya dengan kolam tersebut sangat berdekatan. Beberapa kali ketika truk lewat, tanah ditempati warga di sekitar kolam itu bergoyang.
Sehingga ia membayangkan bila suatu saat terjadi bencana yang menimbulkan korban jiwa, dia mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab.
“Ini kan bom waktu. Kita enggak berharap demikian, tapi bagaimana caranya kalau kewenangn itu harus dipikirkan oleh pusat karena kewenangan dilimpahkan ke pusat,” ujarnya.
Ia pun berharap kepada Pemda Kukar agar warga yang tinggal di sekitar kolam tersebut segera direlokasi dan menanggung ganti rugi bagi pemilik lahan di sekitar kolam.
Norsari menyebutkan, ada sekitar 30 orang yang mempunyai hak atas tanah di situ, sementara yang tinggal ada sekitar ratusan Kepala Keluarga (KK), belum termasuk di desa Sepakat.
“Bagusnya kalau direlokasi, ganti rugi dan dipindahkan ke mana gitu. Lebih bagus paling tidak itu dikaji dulu aman enggak tinggal di situ. Kalau suatu saat ada masalah, artinya bukan hanya warga di situ yg bermasalah. Citra buruknya pun ke Pemda itu harus dipikirkan,” ungkapnya.
Dengan keterbatasan SDM dan wewenang, Norsari berharap Pemda Kukar mengkaji kembali masalah ini agar pelimpahan wewenang dari ESDM ke Pemda Kukar melalui BLHD bisa segera dilakukan, mengingat kolam tersebut pernah diusulkan menjadi tempat wisata, tapi terkendala pada wewenang Pemdes.
Bila pemerintah pusat atau pihak terkait tidak mampu untuk mereklamasinya, Norsari menyarankan agar masyarakat di sekitar kolam direlokasi, sebab biayanya lebih murah.
“Kita kan enggak punya uang kalau pemerintah mau nutup. Perhitungan kita sekitar Rp 300 miliar. Relokasi dan ganti rugi lebih murah,” sarannya. (*)
Penulis: Arif Rahmansyah