Jakarta, beritaalternatif.com – Pemerintah berencana memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagian bahan kebutuhan pokok atau pajak sembako. Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Saat ini, usulan masih dalam tahap diskusi dengan DPR RI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kebijakan ini dibuat untuk menciptakan azas keadilan antara masyarakat berpenghasilan rendah dan tinggi.
Dia menekankan wacana pajak sembako hanya akan menyasar komoditas tertentu yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Pemerintah akan membuat sejumlah kriterianya dan tarifnya bisa lebih rendah dari PPN pada umumnya.
“Terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal,” ungkap Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR, Selasa (14/9/2021).
Di sisi lain, Sri Mulyani mengatakan opsi bahwa barang dan jasa tersebut bisa tidak dipungut pajak dan pemerintah juga berpeluang memberikan kompensasi bagi masyarakat yang tidak mampu.
“Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberikan kompensasi dengan pemberian subsidi,” imbuhnya.
Namun, wacana tersebut tetap mendapat penolakan dari berbagai pihak, salah satunya Peneliti Indef Rusli Abdullah. Dari hitungan dia, potensi penerimaan pajak dari sembako tidak terlalu signifikan, kemungkinan cuma Rp 4,25 triliun.
Proyeksi didapat dari perhitungan rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat untuk konsumsi sembako. Rusli menjelaskan perhitungan ini muncul dari rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 214 ribu per bulan atau Rp 2,56 juta per tahun pada 2019.
Bila dikalikan dengan jumlah populasi masyarakat Indonesia, ia memperkirakan total pengeluaran masyarakat untuk sembako mencapai Rp 168,5 triliun. Lalu, misal dikenakan tarif PPN 10 persen, maka potensi penerimaan pajak sembako mencapai Rp 16,85 triliun pada 2019.
Dengan formulasi yang sama namun ada penyesuaian rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat pada 2020, ia mendapati total pengeluaran bisa mencapai Rp 211,07 triliun, sehingga potensi PPN sebesar Rp 21,1 triliun pada 2020.
“Berarti kenaikan potensi PPN Rp 4,2 triliun dalam setahun, ini kurang lebih kontribusinya dalam mendorong tax ratio hanya 1,28 persen dari total pajak 2019 dan 1,97 persen dari pajak 2020. Ini terbilang kecil, jadi tolak PPN sembako,” ujar Rusli.
Di sisi lain, ia menilai kebijakan ini kurang tepat karena dirancang di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bahkan, ia memperkirakan dampaknya tetap akan memberatkan masyarakat meski diterapkan pada saat ekonomi mulai pulih.
“Ini membuat masyarakat tertekan dan takutnya ada inflasi,” tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Rusli, pemerintah lebih baik melakukan formalisasi petani dan pedagang ketimbang menambah beban mereka dengan memungut PPN sembako.
Jika ingin menarik pajak yang mencakup semua kalangan, lebih baik dahulukan kebijakan yang bisa membuat mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga rasio kepatuhan pun ikut terangkat.
Sementara itu, Peneliti Indef Riza Annisa Pujarama menilai alasan pemerintah ingin mengenakan PPN ke berbagai barang dan jasa karena selama ini belanja pajak pemerintah untuk pembebasan pungutan PPN dan PPnBM merupakan yang terbesar.
Pasalnya, ketika ada pembebasan dalam bentuk insentif, maka jenis pajak ini bukannya memberikan pemasukan bagi negara, justru menguras kantong karena pajaknya ditanggung pemerintah.
Menurut catatan Riza, estimasi belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM mencapai Rp 140,4 triliun pada 2020. Ia mengatakan, hal ini terjadi karena ada pengecualian kewajiban pembayaran jenis pajak ini bagi pengusaha kecil untuk menjadi pengusaha kena pajak yang memungut PPN.
“Serta pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan,” terang Riza.
Kendati begitu, Riza tetap mewanti-wanti dampak dari kenaikan PPN bagi perekonomian masyarakat. Sebab, pungutan PPN sembako riskan mengerek harga dan bisa berujung pada inflasi hingga garis kemiskinan.
“Tentu kita tidak ingin kenaikan PPN bukan memberikan benefit yang diharapkan justru beri dampak buruk kepada ekonomi,” katanya.
Riza juga mengingatkan pemerintah soal rencana memberikan subsidi bagi kalangan masyarakat yang dikecualikan. Menurutnya, rencana subsidi ini tidak serta-merta menjamin kelangsungan hidup masyarakat bawah ke depan karena pemberian subsidi masih bisa terkendala dari sisi mekanisme dan akurasi data.
Sementara Ekonom Indef Berly Martawardaya menilai rencana pungutan PPN sembako sejatinya tidak perlu dilakukan pemerintah karena tidak diterapkan di negara-negara tetangga Asia Tenggara. Mereka justru membebaskan PPN bagi produk pertanian untuk menjamin ekonomi masyarakatnya.
“Di Malaysia, Thailand, dan Filipina bebas kok. Sembako mereka tidak kena,” ucap Berly.
Selain itu, Berly khawatir pengenaan pajak sembako justru membuat harga melambung terlalu tinggi di konsumen tingkat akhir. Sebab, Indonesia punya rantai distribusi pangan yang panjang, misalnya untuk komoditas beras saja bisa mencapai lima titik dari produsen sampai konsumen di Jakarta.
“Dengan tata niaga yang panjang, bahkan kalau sampai Jakarta, ini berpotensi membuat harga beras naik dan bisa mengganggu kesejahteraan masyarakat. Kalau setiap level rantai pasok kena PPN 3 persen, itu sampai ujung bisa 15 persen,” pungkasnya. (cnn/ln)