BERITAALTERNATIF.COM – Pemilu 2019 telah meninggalkan banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hal ini pun diakui oleh pengamat ekonomi dan politik dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Haidir.
Dia mengurai beberapa hal mendasar terkait masalah yang mesti dievaluasi terkait pemilu, sehingga dapat diperbaiki dan diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang.
Salah satunya, persoalan kejujuran dan keadilan penyelenggaraan pemilu. Penerapan dua hal ini tergolong tumpul karena ditengarai oleh banyak aspek, salah satunya politik uang (money politic) yang sangat masif di Pemilu 2019.
Menurutnya, politik uang telah merampas nilai-nilai murni dari aspek demokratis dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang ideal, kata dia, setiap warga negara diberikan kebebasan untuk memilih demi mengaspirasikan kehendak murninya terhadap orang-orang yang akan dipilihnya.
Apabila kehendak bebas dalam memilih tersebut tidak lagi terwujud, sambung Haidir, maka sistem demokrasi tak lagi berjalan ideal. “Bahkan tidak penting lagi kita berbicara demokrasi,” katanya baru-baru ini di Kantor Berita Alternatif yang berlokasi di Jalan Patin, Kelurahan Timbau, Kecamatan Tenggarong.
Dia menegaskan, politik uang telah mencederai aspek paling asasi dalam sistem demokrasi. Pasalnya, setiap orang diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai hati nuraninya. Namun, money politic merampas kebebasan tersebut karena di dalamnya terdapat tendensi.
“Politik uang itu bagian dari tendensi. Intimidasi menjadi bagian dari tendensi. Kemudian, iming-iming itu menjadi bagian dari tendensi. Maksud saya, iming-iming dalam artian jangka pendek,” jelasnya.
Dia mengurai, iming-iming jangka pendek meliputi janji untuk memberikan sesuatu setelah pemilih memilih calon tersebut. Namun, bila sang calon menjanjikan akan memperjuangkan kemakmuran daerah dengan menawarkan berbagai program dan strategi untuk mewujudkannya setelah terpilih, hal itu bukanlah intimidasi.
“Demokrasi menghendaki kemurnian hati nurani untuk memilih orang agar tidak dipengaruhi oleh si A dan B, diintimidasi, dijanjikan, dan segala macam. Ketika muncul money politic, intimidasi, janji-janji sesaat, maka itu sudah mencederai demokratisasi,” tegasnya.
Intimidasi melalui politik uang dalam pemilu, sebut dia, mesti diperangi secara bersama-sama. Politik uang yang bahkan telah mendarah-daging dalam perpolitikan Indonesia membuat sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa calon tertentu tidak akan bisa memenangkan kompetisi demokrasi dengan menjual program tanpa disertai money politic.
Dalam beberapa kasus, tawaran program dari kontestan saat merebut kursi legislatif dan eksekutif dianggap tidak berarti. Publik telah diracuni dengan anggapan bahwa siapa pun yang “berkantong tebal” akan berpeluang besar memenangkan kontestasi legislatif dan eksekutif.
“Pemilihan kepala desa pun hari ini tidak bisa lepas dari persoalan iming-iming transaksional politik seperti itu. Itu yang harus jadi bahan evaluasi,” imbuhnya.
Netralitas Penyelenggara Pemilu
Menurut Haidir, persoalan lain yang mesti dievaluasi dalam pemilu adalah netralitas penyelenggara. Kata dia, penyelenggara terbukti tidak netral dalam pemilu sebelumnya salah satunya ditandai dengan money politic yang sangat masif.
Saat para calon anggota legislatif dan eksekutif begitu masif dalam menjalankan politik uang di pemilu, sementara penyelenggara tidak mengambil tindakan-tindakan yang dapat membuktikan money politic dalam pemilu, maka pada dasarnya mereka dapat disebut berada dalam kondisi berikut: penyelenggara tidak bekerja maksimal sehingga tidak mengetahui ada politik uang atau mereka abai terhadap politik uang.
“Ketika mereka abai terhadap persoalan itu, sama saja mereka tidak netral dalam proses menjadi seorang penyelenggara di pemilu,” tegasnya.
Netralitas penyelenggara pemilu, sambung dia, menjadi bagian penting dalam usaha memurnikan pesta demokrasi di Pemilu 2024. “Ini persoalan di Pemilu 2019 yang perlu kita evaluasi,” katanya.
Netralitas ASN, Polri, dan TNI
Selain penyelenggara, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota Polri dan TNI juga sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. “Mereka juga diharapkan berada di posisi yang tepat. Tidak memihak. Harus netral. Kalau perlu tidak terlibat dalam proses pemilu,” imbuhnya.
Kata dia, ASN memang diberikan hak untuk menyalurkan hak politiknya. Karena itu, saran Haidir, mereka cukup menunaikan hak tersebut. ASN dituntut untuk tidak menjadi pelaku dalam konstelasi politik.
“Mereka hendaknya menjaga diri dari situ. Ini menjadi evaluasi kita. Karena memang netralitas PNS acap kali mewarnai penyimpangan-penyimpangan pada pemilu sebelumnya,” terang Haidir.
Dia menilai bahwa dalam Pemilu 2019 sejumlah ASN tergolong tendensius untuk terlibat dalam kontestasi politik nasional dan lokal. Padahal, mereka merupakan pemegang otoritas yang dapat mengarahkan dan mengintimidasi, menekan, serta menjanjikan sesuatu kepada para pemilih.
“Mereka harus berada dalam posisi netral. Ketika ASN sudah berada di posisi satu pihak, maka sudah bisa dipastikan bahwa para calon pemilih itu nanti tidak akan netral; tidak akan bisa menyalurkan aspirasinya sesuai hati nuraninya,” tegas Haidir.
ASN, anggota Polri dan TNI yang tidak menjalankan prinsip-prinsip netralitas disamakan oleh Haidir sebagai malpraktek dalam pesta demokrasi yang setara dengan money politic. “Ini juga yang perlu dievaluasi,” imbuhnya.
Hindari Korban
Pemilu 2019 telah meninggalkan luka bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, ratusan orang penyelenggara pemilu meninggal dunia. Salah satu penyebabnya adalah mereka kelelahan menjalankan tahapan pemilu, dari pencoblosan hingga penghitungan suara, yang memakan waktu, tenaga, dan energi besar.
Belajar dari fenomena tersebut, Haidir menegaskan, berbagai pihak harus memikirkan dengan serius cara mengatur penghitungan suara di Pemilu 2024. “Sehingga tidak menimbulkan kasus-kasus kematian massal seperti yang terjadi pada tahun 2019,” sarannya.
Dia menyarankan kepada legislatif, eksekutif, dan penyelenggara pemilu membuat regulasi yang adaptif untuk mengurangi beban kerja penyelenggara. Selain itu, saran Haidir, berbagai pihak tersebut harus membuat simulasi-simulasi yang tepat agar efektivitas dan efisiensi pemilu dapat dimaksimalkan.
Kata Haidir, cara ini diharapkan dapat mengurangi waktu dalam proses penghitungan suara. Pasalnya, pada Pemilu 2024, jumlah kertas suara yang dihitung sama dengan pemilu tiga setengah tahun lalu.
“Artinya, akan sangat mungkin beban waktu, pikiran, dan tenaga yang dikeluarkan oleh penyelenggara pada tahun 2024 nanti sama dengan tahun 2019. Dan sangat mungkin juga menghadapi peristiwa yang sama ketika tidak segera diantisipasi,” katanya.
DPR RI, sambung dia, telah menyetujui bahwa regulasi pemilu tidak mengalami perubahan. Karena itu, kotak dan jumlah suara pun tidak akan berbeda jauh dibanding pemilu lalu.
Haidir menekankan agar teknis pelaksanaannya adaptif. Apabila tidak diatur sedemikian rupa, ia khawatir Pemilu 2024 akan memakan banyak korban seperti Pemilu 2019.
Regulasi pemilu mesti diterjemahkan secara teknis melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Memang, Undang-Undang Pemilu sudah disetujui oleh DPR RI dan pemerintah pusat. Karena itu, PKPU harus lebih adaptif dalam menghadapi tahapan Pemilu 2024.
“Peraturan Bawaslu juga bisa berubah untuk mengadaptasi kondisi yang ada, agar penghitungan suara itu berjalan dengan lebih mudah, tepat sasaran, dan efisien, sehingga penyelenggara di tingkat TPS tidak kelelahan lagi menghadapi proses itu. Ini harus dipikirkan dengan serius oleh KPU dan Bawaslu agar mengadaptasi persoalan itu,” sarannya. (um)