Oleh: Ellisa Wulan Oktavia*
Keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 merupakan rangkaian perjuangan yang telah dilakukan sejak lama dalam rangka merancang peningkatan peran politik dan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Undang-undang tersebut disusun untuk mempersiapkan Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Sistem ini digunakan untuk menunjang kebijakan afirmatif 30 persen dalam daftar yang dibuat secara selang-seling (satu orang wanita di antara tiga calon legislatif).
Salah satu bentuk dari affirmative action adalah kebijakan kuota. Kuota merupakan persentase minimal yang ditujukan untuk menjamin keseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan politik secara signifikan diharapkan dapat mengubah berbagai kebijakan-kebijakan politik.
Sistem ini pun dianggap sangat menguntungkan kaum perempuan karena dengan daftar calon tertutup kaum perempuan dapat dipastikan memperoleh kursi di parlemen jika partai tempatnya bernaung memperoleh suara yang cukup di dapil tempatnya mencalonkan diri, tentunya dengan syarat lolos dari parliamentary threshold.
Jika dilisik kembali pada Pileg 2014, keterwakilan perempuan pada perolehan kursi di DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) adalah sebanyak empat orang. Fakta ini menunjukkan bahwa hanya 1,8 persen keterwakilan perempuan dari seluruh anggota legislatif yang menduduki kursi di DPRD Kukar pada periode 2014-2019.
Pileg 2019 diikuti sebanyak 260 calon legislatif perempuan dari 16 partai politik serta tersebar pada enam dapil di Kukar. Hasilnya, pada Pileg 2019 terpilih 45 wakil rakyat dari 10 partai yang duduk di lembaga DPRD periode 2019-2024. Keterwakilan perempuan mengalami peningkatan dibandingkan Pileg sebelumnya. Jumlahnya mencapai 15,5 persen atau tujuh kursi. Hal ini berarti jumlah perwakilan perempuan di DPRD Kukar mengalami peningkatan sebanyak tiga orang dibandingkan pada Pileg 2014.
Pada dasarnya setiap partai politik sudah menyertakan perwakilan perempuannya berdasarkan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 173 ayat 2E mengenai penyertakan paling sedikit 30 persen perwakilan perempuan pada partai politik.
Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam menduduki kursi legislatif di DPRD Kukar bukan hanya sekedar memenuhi persyaratan, tetapi keterwakilan perempuan di dalam legislatif untuk menunaikan tanggung jawab terhadap proses pembahasan anggaran agar program-program daerah berpihak pada kepentingan perempuan.
Meski begitu, ada kelemahan partai politik dalam merekrut dan menempatkan calon legislatif dari kalangan perempuan. Hanya berdasarkan syarat pemerintah, namun tidak benar-benar menempatkan mereka pada prioritas.
Kegagalan keterwakilan perempuan di parlemen sangatlah mungkin terkait dengan potensi terpilihnya calon legislatif. Sudah menjadi rahasia umum, partai politik mendaftarkan perempuan sebagai calon legislatif, padahal perempuan itu belum pernah menjadi kader partai.
Ani Widya Soetjipto (2005: 23) mengatakan bahwa selain representasi atau keterwakilan perempuan yang rendah dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya dilihat sebagai pemanis atau penggembira, dan ini mencerminkankan pengetahuan mereka yang rendah di bidang politik.
Menjelang Pemilu 2024, jangan sampai partai politik menawarkan posisi calon legislatif kepada perempuan demi memenuhi syarat tindakan afirmatif atau sekedar formalitas. Atau bahkan perekrutan perempuan untuk menjadi caleg dilakukan tanpa seleksi yang jelas.
Hal ini tentu menjadi jawaban mengapa calon legislatif perempuan tidak banyak terjaring pada saat pemilihan, sebab pemilih tidak mengenal calon legislatif perempuan yang bertarung pada saat pemilu. Maka konsekuensinya, peluang calon legislatir perempuan untuk terpilih pun tidak mampu mencapai 30 persen atau bahkan semakin kecil.
Partai politik tentunya memegang kunci keberhasilan keterwakilan perempuan di parlemen. Selama partai politik hanya menganggap itu sebagai formalitas saja, maka tentunya kita tidak bisa berharap banyak jika nanti kaum perempuan tidak cukup banyak mewakili perempuan di parlemen, atau bahkan mungkin kepentingan perempuan tidak mampu terakomodir dengan baik.
Dalam persiapan Pemilu 2024, partai politik seharusnya tidak lagi main-main dengan tindakan afirmatif keterwakilan perempuan. Pendidikan politik dan kaderisasi yang matang menjadi jalan utama untuk menghadirkan perempuan di bidang politik. (*Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kukar)