Search

Pemilu dan Tegaknya Daulat Rakyat

Penulis

Oleh: E. Muslih*

Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, Pemilu 2024 merupakan Pemilu serentak kali kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPD, DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota atau Pemilu keenam sejak era Reformasi. Pemilu bukan sekedar hari kasih suara, tetapi momentum yang menentukan bagi masa depan Indonesia setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Perlu kita ingat, Pemilu tidak saja harus  berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi juga penyelenggaraannya harus kondusif, damai, serta mengedepankan penghormatan atas hukum yang menjadi aturan bersama.

Advertisements

Dalam negara yang menganut demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, Pemilu adalah momentum daulat rakyat di mana rakyat memberikan mandat kekuasaan kepada mereka yang akan menjadi presiden, wakil rakyat dan senator dari 38 provinsi se-Indonesia. Pemilu adalah mekanisme sirkulasi pemimpin (elite) yang dilakukan secara reguler.

Para calon pemimpin di eksekutif dan legislatif membutuhkan suara rakyat sebagai legitimasi dirinya memenangi kontestasi. Di sisi lain, rakyat selaku pemberi mandat juga mempunyai kepentingan yakni harapan perbaikan di berbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak. Karena itu, Pemilu perlu menghasilkan orang berkualitas yang dipilih melalui proses berintegritas. Pemilu harus menjaga harapan masyarakat, bukan sebaliknya menghadirkan kekecewaan mendalam di hati mereka.

Namun, Pemilu kerap menghadirkan banyak paradoks. Di antaranya pola hubungan tidak harmonis antar warga. Banyak keluarga yang terpolarisasi tajam akibat beda pilihan. Media sosial pun dibanjiri sumpah serapah. Beragam informasi membanjiri ragam kanal warga setiap saat. Provokasi yang membentur-benturkan kelompok masyarakat bawah tak jarang disampaikan para elite partai, relawan, dan tim pemenangan.

Tidak sedikit media massa yang partisan. Informasi terdistorsi akibat framing yang mengarah ke salah satu pasangan.

Sesungguhnya, Pemilu itu konflik realistis. Konflik dalam  Pemilu tidak harus selalu dibaca negatif. Dalam perspektif sosiologis (Cosser, 1956), konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lain.

Pertama, konflik realistis memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti sengketa sumber kuasa antara lain kontestasi Pilpres dan Pileg. Saat Pemilu usai, maka konflik pun berakhir.

Kedua, konflik non-realistis yang didorong oleh keinginan tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar-agama, antar-etnik, dan antar-kepercayaan.

Konflik sejenis ini cenderung sulit menemukan solusinya, terutama untuk merajut ulang konsensus dan perdamaian. Ibarat luka mendalam, konflik yang disulut isu agama, etnik, kepercayaan amat sulit disembuhkan.

Karena itu, semua pihak yang berkompetisi dalam Pemilu 2024 jangan mengeksploitasi politik identitas, provokasi sara, atau  propaganda yang membentur-benturkan warga sehingga mereka masuk ke atmosfer konflik berkepanjangan.

Modus yang kerap dipakai untuk provokasi biasanya hoaks dan ujaran kebencian yang ditebar melalui media sosial bahkan di media massa.

Seluruh stakeholder Pemilu wajib berperan dalam menciptakan atmosfer positif. Selama masa kampanye, beragam metode dan strategi telah dilakukan untuk meyakinkan pemilih. Saat tiba hari kasih suara biarkan rakyat merayakannya berdasarkan nuraninya. Sehingga suara rakyat yang digambarkan sebagai suara Tuhan tidak didistorsi menjadi suara recehan. Tentu saja godaannya sangat luar biasa. Banyak Caleg dan tim sukses Pilpres yang berkeyakinan, kemenangan hanya bisa dijemput dengan membeli suara rakyat.

Masa tenang di mana semua aktivitas kampanye dilarang, menjadi masa paling tidak tenang. Untuk itu perlu komitmen kuat dari pasangan calon, Caleg, dan calon DPD, untuk menciptakan atmosfer positif dengan tidak merusak hakikat Pemilu Jurdil.

Pihak yang kalah atau merasa dirugikan selama proses Pemilu bisa menggugat hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi sehingga tidak menempuh cara-cara di luar koridor hukum yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Pemilu damai akan menyumbang daya tahan demokrasi kita dan menjadi momentum tegaknya daulat rakyat tanpa distorsi dan manipulasi. Kita berharap Pemilu 2024 nanti menjadi pertanda berakhirnya transisi demokrasi dan kita memasuki era baru yakni konsolidasi demokrasi. Semoga! (*Pengurus RMI Nahdhatul Ulama Kabupaten Sukabumi)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA