BERITAALTERNATIF.COM – Baru-baru ini, PDI Perjuangan beserta koalisinya telah resmi mendaftarkan Edi Damansyah-Rendi Solihin sebagai calon bupati dan wakil bupati di Pilkada Kukar tahun 2024.
Sejumlah praktisi hukum di Kukar ramai-ramai mengkritisi pencalonan tersebut, bahkan tak sedikit dari mereka yang berpendapat bahwa Edi beserta tim hukumnya telah terang-terangan bermufakat dalam melanggar amanat konstitusi.
Anggota tim kuasa hukum Edi-Rendi, Erwinsyah menepis prasangka buruk sebagian publik atas langkah calon petahana tersebut.
Ia menyebut para pihak yang tak sepakat dengan pencalonan Edi telah keliru dalam menafsirkan setiap poin yang terkandung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam amar putusan itu dijelaskan tentang durasi masa jabatan dalam periodesasi tertentu. Durasi menjabat antara pejabat definitif dan penjabat sementara tidak dibedakan. Mesti berdurasi 2,5 tahun agar dapat dihitung satu periode jabatan.
“Yang membaca MK tu salah. Siapa yang menafsirkan Edi melanggar?” tanyanya saat diwawancarai oleh awak media Berita Alternatif pada Selasa (10/9/2024).
Mengacu pada Permendagri Nomor 35 Tahun 2013, Erwin menyebut Pelaksana Tugas (Plt) ditetapkan tanpa proses pelantikan.
Dia menerangkan, definisi Plt telah diperjelas melalui surat Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang menegaskan bahwa Plt diresmikan melalui surat keputusan, sehingga masa jabatannya berlaku sejak surat keputusan tersebut ditandatangani.
Kata Erwin, tujuan serta dasar pertimbangan hukum atas pengukuhan Edi sebagai Plt dan bupati definitif jelas berbeda. Secara otomatis diksi “tidak membedakan” yang tertera dalam Putusan MK hanya mengatur masa jabatan, bukan menyamakan status antara kepala daerah yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas dan definitif.
“Bagaimana cara menjelaskanya (Putusan MK)? Buka aturan Permendagri! Bagi kami tim hukum, kami menghitung secara definitif karena Plt itu dalam keputusan Mendagri tidak dilantik,” terangnya.
Hal itu juga diperkuat oleh Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024 yang menjelaskan masa jabatan seorang kepala daerah baru dapat dihitung setelah ditetapkan melalui prosesi pelantikan.
Artinya, seseorang baru dapat dianggap menjabat satu periode penuh jika dilantik secara resmi dan menjabat paling sedikit 2,5 tahun. Edi pada faktanya hanya dilantik satu kali pada saat menjabat sebagai bupati definitif.
Selain itu, Surat Edaran Bawaslu Nomor 96 Tahun 2024 memberi angin segar bagi pria kelahiran tahun 1965 tersebut untuk kembali mencalonkan diri di Pilkada Kukar.
Sebagaimana termaktub dalam poin 2.2.2 Surat Edaran tersebut, Plt yang berstatus sebagai gubernur, bupati maupun wali kota tidak termasuk dalam kriteria yang disinggung dalam Pasal 19 huruf c Peraturan KPU.
Karena itu, sambung dia, masa jabatan Edi saat menjalankan tugas sebagai Plt tidak bisa digabung dengan saat ia mengemban amanah sebagai bupati definitif.
“Silakan menafsirkan Plt dari sisi apa pun. Koridor kami tetap kepada persyaratan yang telah diatur di PKPU, Permendagri, dan Surat Edaran Bawaslu,” tegasnya.
Erwin menegaskan, PKPU merupakan produk turunan dari Putusan MK. Aturan tersebut lebih tepat dijadikan landasan dan mesti dikedepankan dalam mengartikan setiap substansi yang dijelaskan dalam amar Putusan MK, bukan didasarkan pada tafsir liar yang beredar dari bibir sejumlah pengamat.
Dengan demikian, pihaknya menyimpulkan, keputusan Edi untuk kembali maju sebagai kepala daerah dinilai sebagai langkah yang sah bahkan sejalan dengan amar Putusan MK.
“Silakan aja menafsirkan macam-macam. Enggak apa-apa. Kata kuncinya adalah untuk syarat majunya pak Edi sebagai calon itu jelas PKPU dan Permendagri,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin