Oleh: Ibrahim Amini*
Tujuan terpenting yang harus mendapat perhatian para pendidik ialah menjamin kebahagiaan individu objek didik. Namun, masalah ini pun masih perlu dibahas, apakah kebahagiaan manusia itu hanya terletak pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonominya dan kemakmuran dari sisi materi serta kelezatan hewani? Atau, apakah untuk menjadi bahagia manusia juga memerlukan sesuatu yang lain?
Menurut keyakinan agama-agama langit, terutama keyakinan agama Islam, kehidupan manusia tidak hanya terbatas pada kehidupan duniawi tetapi ia juga memiliki kehidupan lain yang ada dalam jiwanya. Manusia, meski pada saat yang sama hidup di dunia dan melakukan aktivitas makan, minum, bekerja dan memuaskan syahwat namun ia juga memiliki kehidupan spiritual dalam jiwanya.
Sebagaimana dalam kehidupan duniawinya manusia bisa bahagia dan bisa sengsara, dalam kehidupan spiritualnya pun manusia bisa bahagia dan sengsara. Zat manusia berjalan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan atau menuju kegelapan dan kesengsaraan. Kebahagiaan hakiki manusia baru benar-benar terjamin manakala dia bahagia pada dua kehidupan ini, terutama pada kehidupan spiritualnya.
Dari sisi dimensi jasmani dan hewani manusia mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi supaya ia dapat hidup melanjutkan hidupnya dengan sehat dan sejahtera. Manusia membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal, pemenuhan hasrat seksual dan kebutuhan-kebutuhan materi lainnya yang harus dipenuhi supaya ia bahagia. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini tentunya ia harus bekerja dan berusaha.
Oleh karena itu, para pendidik harus benar-benar memberikan perhatian kepada pemberian makanan yang sehat dan bergizi kepada objek didik, menjaga kesehatan mereka, memperhatikan pertumbuhan fisik mereka, menyalurkan kebutuhan seksual mereka secara benar dan mengembangkan kemampuan pikir mereka, supaya dapat mendidik mereka menjadi individu yang cerdas, sehat, berakhlak dan mempunyai etos kerja yang bagus, sehingga mereka menjadi orang yang bahagia dalam hidup mereka.
Meskipun kehidupan spiritual tidak terlihat oleh mata namun ia benar-benar ada, dan para nabi memberitahukan tentang hal itu. Allah Swt berfirman di dalam Alquran, “Mereka hanya mengetahui yang tampak (saja) dari kehidupan dunia, sedang mengenai (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS. ar-Rum: 7)
Pada hari kiamat seluruh tirai materi terangkat dari penglihatan manusia dan mereka dapat mengetahui kenyataan diri mereka yang sesungguhnya yang mereka bentuk ketika di dunia.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tirai (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaf: 22)
Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan akhirat telah ada pada alam dunia ini dan pada batin manusia namun manusia lalai dari itu, dan kelak pada alam akhirat tirai-tirai materi diangkat sehingga mereka dapat menyaksikan semuanya.
Ayat-ayat dan hadis-hadis menjelaskan bahwa diri manusia di dunia ini dengan perantaraan ilmu dan amal memperoleh sesuatu yang senantiasa menyertainya dan menentukan nasibnya pada hari akhirat. Berikut ini beberapa contoh darinya:
Allah Swt berfirman di dalam Alquran, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji atom pun niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)
Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (ke hadapannya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (QS. Ali Imran: 30)
Allah Swt juga berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.” (QS. al-Jatsiyah: 15)
Dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang seperti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di alam dunia ini manusia harus sibuk mendidik dirinya dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Manusia, dengan perantaraan keyakinan dan pemikirannya, sifat-sifat dirinya, cinta dan bencinya, dan amal perbuatan yang dilakukannya, menorehkan pengaruh pada dirinya, dan kemudian secara perlahan-lahan membentuknya.
Demikian juga kehidupan akhiratnya, ia bergantung kepada faktor-faktor ini. Iman dan pengetahuan-pengetahuan tentang kebenaran, keutamaan-keutamaan akhlak, ingat kepada Allah, taat dan tunduk kepada-Nya, dan amal-amal saleh akan membawa jiwa manusia terbang meniti tangga kesempurnaan dan meraih maqam qurb Ilahi (kedekatan dengan Allah), dan sebagai dampaknya ia akan menemukan kehidupan yang baru dan suci.
Allah Swt berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Nahl: 97)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Kamu harus senantiasa berzikir kepada Allah, karena ia adalah cahaya hati.”
Dalam sebuah hadis Allah Swt berfirman kepada para hamba-Nya, “Wahai para hamba sejati-Ku, pergunakanlah nikmat ibadah di dunia karena engkau akan mendapat keberuntungan dengannya pada hari akhirat.”
Demikian juga, keyakinan dan pemikiran batil, sifat-sifat hewani, dan amal perbuatan buruk akan mengotori jiwa manusia dan memalingkannya dari jalan kebenaran, dan menjadikan manusia terjerumus ke dalam lembah kebinatangan. Bahkan terkadang lebih rendah dan lebih sesat dari binatang.
Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Ketahuilah, barangsiapa yang memusuhi wali Allah, menerima agama lain selain agama yang benar, mengabaikan perintah wali Allah dan beramal sesuai dengan pendapatnya, maka mereka berada dalam api yang menyala-nyala, yang memakan tubuh yang telah kehilangan jiwa dan dikalahkan oleh kesengsaraan. Mereka ini adalah orang-orang mati yang tidak dapat merasakan panasnya api, karena jika mereka hidup tentu mereka dapat merasakan panasnya api. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang mengerti, ambillah pelajaran dan berterima kasihlah kepada Allah yang telah memberikan petunjuk kepadamu.”
Oleh karena itu, kehidupan spiritual adalah kehidupan yang sesungguhnya. Manusia pada batinnya meniti jalan yang akan berujung kepada kebahagiaan dan kesempurnaan dirinya atau yang akan berakhir kepada kesengsaraan dan kehancuran dirinya.
Para pendidik harus memberikan perhatian yang serius kepada masalah yang sangat penting ini, mereka harus menyusun program pendidikannya supaya tidak merusak kehidupan spiritual. Demikian juga, di dalam melaksanakan program-programnya ia harus mendahulukan kehidupan spiritual dan kebahagiaan akhirat, bahkan menjadikannya sebagai tujuan pokok.
Para pendidik harus memahamkan para objek didik bahwa mereka bukan hewan melainkan manusia yang memiliki sebuah kehidupan spiritual. Demikian juga, kebahagiaan dan kesempurnaan telah ditetapkan baginya dan ia harus berusaha dan bekerja keras untuk menggapainya, dan di dalam meniti jalan untuk menggapainya ia harus selalu waspada jangan sampai menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan.
Nilai Iman
Manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga ia tidak memperoleh ketenteraman kecuali dengan iman dan mengingat Allah. Berdasarkan tabiatnya manusia senantiasa menginginkan kebahagiaan dan ketenteraman jiwa, dan berusaha siang dan malam untuk meraihnya. Manusia takut dan resah manakala membayangkan kegagalan dan kesengsaraan.
Namun, masing-masing individu menganggap kebahagiaan terletak pada sesuatu, dan untuk mencapainya mereka menyusun program khusus dan meniti jalannya. Sebagian manusia mengira bahwa kebahagiaan itu terletak pada pemanfaatan sebesar mungkin kelezatan-kelezatan materi, sebagian lagi memandang terletak pada pengumpulan sebanyak mungkin harta dan kekayaan, sebagian menyangka terletak pada kedudukan dan ketenaran, sebagian lagi mengira terletak pada ilmu pengetahuan, alhasil secara umum mereka menyangka kebahagiaan itu terletak pada urusan-urusan materi dan duniawi, dan untuk itu mereka berusaha sedapat mungkin mencarinya di sana. Dengan kata lain, sekelompok orang menjadi penyembah syahwat, sekelompok lagi menjadi penyembah jabatan, sekelompok menjadi penyembah harta dan sekelompok menjadi penyembah ilmu pengetahuan.
Mereka mengira dengan itu semua, mereka dapat menjadi orang yang bahagia dan beruntung. Namun Alquran Karim mempunyai keyakinan bahwa berpaling dari mengingat Allah, memperhatikan urusan-urusan dunia dan mengikuti hawa nafsu tidak akan membuat kehidupan manusia menjadi tenteram dan beruntung, bahkan sebaliknya menjadikan kehidupan mereka menjadi susah, dipenuhi keresahan dan kegelisahan jiwa.
Allah Swt berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)
Kesengsaraan terbesar manusia ialah manakala hati mereka terpaut kepada urusan-urusan dunia dan tunduk kepada hawa nafsu. Karena keinginan-keinginan hawa nafsu tidak ada batasnya, dan terus menginginkan tingkatan yang lebih tinggi, dan untuk menggapainya manusia harus berusaha semaksimal mungkin, namun kemampuan setiap orang terbatas dan oleh karena itu tidak dapat memenuhinya. Dengan begitu ia pun menjadi merana.
Di samping itu, manusia juga merasa tidak yakin dapat menjaga harta yang telah diperolehnya. Ia senantiasa merasa gelisah jangan-jangan berbagai harta dan kenikmatan yang dimilikinya menjadi lenyap karena bencana, musibah, perbuatan musuh dan persaingan.
Satu hal yang paling penting ialah bahwa ada sekelompok manusia yang pada satu sisi cinta kepada dunia namun di sisi lain ia meyakini bahwa mati adalah akhir dari kehidupan, dan cepat atau lambat ia pasti akan mati dan mau tidak mau ia harus melepaskan semua yang dicintainya, lalu menurut keyakinannya ia menjadi sirna dan tidak ada.
Oleh karena itu, mereka memandang kehidupan ini tidak berarti dan tidak memiliki tujuan, mereka senantiasa berada dalam keresahan dan kegelisahan dan memiliki kehidupan yang pahit, meskipun bisa saja orang lain menyangka mereka berada dalam kesenangan dan ketenteraman, padahal tidak demikian. Karena kebahagiaan itu diperoleh dari dalam hati bukan dari luar.
Harta kekayaan, rumah dan berbagai fasilitas hidup, istri dan anak, kedudukan dan ketenaran, dan bahkan ilmu pengetahuan tidak dapat membuat hati menjadi tenteram. Satu-satunya yang dapat menenangkan dan menenteramkan hati yang resah adalah iman kepada Allah dan mengingat-Nya.
Allah Swt berfirman di dalam Alquran Karim, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. ar-Ra`d: 28-29)
Hati yang beriman kepada Allah dan yakin akan keberadaan-Nya serta percaya bahwa Dia selalu hadir dan menyaksikan dalam semua keadaan, tidak memandang dirinya sendirian tanpa perlindungan dalam menghadapi berbagai masalah dan kesulitan, karena ia bergantung kepada Sumber segala kebaikan dan keindahan, dan tidak merasa memerlukan kepada selain-Nya.
Hanya Allah-lah kesempurnaan dan keindahan hakiki dan tanpa batas, sementara seluruh kesempurnaan dan keindahan yang lain hanya bersifat kulit dan terbatas. Seorang mukmin yakin bahwa sistem penciptaan alam ini adil dan mempunyai tujuan, dan mempunyai pandangan yang positif terhadap alam wujud dan hukum yang berlaku atas alam ini. Ia yakin bahwa hidup ini mempunyai tujuan dan merasa optimis akan masa depannya. Oleh karena itu, rasa tidak mempunyai tujuan dan rasa putus asa tidak ada tempat pada hati seorang mukmin.
Oleh karena itu, para pendidik harus menjadikan pengembangan dan peningkatan iman sebagai bagian dari program pendidikannya dan sejak awal sudah menyusun program untuknya. (*Tokoh Pendidikan Islam)