BERITAALTERNATIF.COM – Pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Samarinda Herdiansyah Hamzah menegaskan bahwa peluang Edi Damansyah untuk kembali mencalonkan diri sebagai calon bupati di Pilkada Kukar 2024 telah tertutup.
Dasarnya, dia menguraikan poin pokok putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang termuat di halaman 50.
Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK di halaman 50 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan “masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
“Jadi, baik status Plt maupun definitif Edi, dihitung sebagai satu tarikan nafas masa jabatan. Dengan demikian, berdasarkan putusan MK itu, Edi seharusnya dihitung sudah 2 periode,” tegas pria yang karib disapa Castro itu pada Kamis (2/3/2023).
Ia mengungkapkan bahwa hal ini bukan kali pertama bagi MK memutuskan perkara yang sama. Pada tahun 2009 dan 2012, Majelis juga memutuskan perkara serupa.
Karena itu, tak heran apabila MK memutuskan untuk menolak gugatan Bupati Edi. “Artinya, MK konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya,” ujar dia.
Castro menjelaskan, kepala daerah yang telah menjabat setengah atau lebih dari masa jabatannya dihitung satu periode.
Penghitungan masa jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah, sambung dia, dihitung sejak ia menjabat sebagai pelaksana tugas, penjabat, pejabat, maupun definitif.
“Artinya, kapan pun dia menjabat itu dihitung sebagai masa periodenya,” tegas Castro.
Ia menyamakannya dengan pekerja, baik sebagai pekerja yang berstatus kontrak maupun pegawai tetap, masa kerjanya akan dihitung sejak dia ditetapkan sebagai pekerja.
Seorang kepala daerah pun demikian. Sejak dia menjabat sebagai kepala daerah, hal itu dihitung sebagai bagian dari periode kepemimpinannya.
“Terlepas dia Plt ataupun Pjs, dia tetap menjabat. Dihitung sebagai bagian dari periodenya dia sebagai bupati,” terangnya.
Castro menegaskan, siapa pun kepala daerah yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan, maka ia dihitung sebagai satu periode jabatan.
“Kalau Pak Edi itu menggantikan Bu Rita lebih dari setengah periode itu, jadi dia dihitung satu periode. Jadi, Pak Edi enggak bisa maju lagi,” terangnya. Ia melanjutkan, ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang diterapkan sejak tahun 2009.
Setelah keluarnya putusan MK yang menolak gugatan Bupati Kukar, menurut dia, tak ada lagi langkah hukum lanjutan yang bisa diambil oleh tim hukum Edi agar dapat mencalonkan diri sebagai bupati Kukar.
“Putusan MK itu kan final dan mengikat. Kalau dia disebut final dan mengikat, berarti tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan,” jelasnya.
Hanya saja, kata Castro, tim hukum Edi dapat menguji pasal serupa dengan UUD 1945, yang pasalnya berbeda dengan yang diuji sebelumnya.
“Tetapi, dengan catatan pasal yang diujikan berbeda,” katanya.
Dia juga menanggapi keinginan tim hukum Bupati Edi yang ingin melakukan judisial review terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf n, yang bertujuan tak memberikan batasan periode bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah untuk menjabat di jabatan yang sama.
“Enggak ada masalah. Tapi, kan itu sudah pernah diuji. Kalau sudah pernah diuji, dia bisa mengajukan gugatan baru judisial review di MK, tapi tidak boleh dengan batu ujian yang sama. Harus beda batu ujinya,” terang dia.
Selain itu, dia menegaskan bahwa pembatasan periode dalam Pasal 7 ayat (2) tidak multitafsir. Sementara, syarat pengujian mesti dilakukan terhadap pasal yang multitafsir.
Pembatasan masa kekuasaan, tegas Castro, sudah terang di Indonesia. Hal ini pun merupakan amanat Reformasi.
“Dia harusnya belajar dong soal demokrasi bagaimana pembatasan kekuasaan. Dua periode itu kan marwah dan mandatori dari amanah Reformasi,” tegasnya.
Castro pun meminta Bupati Edi legawa terhadap putusan MK tersebut. Selain itu, sambung dia, putusan itu diharapkannya dapat membuka celah regenerasi kepemimpinan di Kukar.
“Jauh lebih baik Edi fokus menyelesaikan sisa masa jabatannya untuk kepentingan rakyat Kukar, dibanding terus berpolemik. Justru jadinya kontra produktif,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin