BERITAALTERNATIF.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023 telah menutup peluang Bupati Kukar Edi Damansyah untuk kembali mencalonkan diri sebagai bupati di Pilkada 2024.
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda Alfian menekankan bahwa semua pihak seyogianya menghormati putusan tersebut.
Kata dia, putusan MK telah dituangkan secara eksplisit tentang penolakan judicial review dari Bupati Edi. Hal ini menandakan bahwa tidak ada hak konstitusional warga negara yang tercederai di balik tertutupnya peluang mantan Sekda Kukar tersebut untuk mencalonkan diri di Pilkada Kukar tahun depan.
“Sehingga, seyogianya selaku warga negara harus mengikuti (putusan MK) itu,” ucapnya kepada beritaalternatif.com pada Jumat (1/9/2023).
Berdasarkan perhitungan MK, sambung Alfian, Bupati Edi telah menjabat selama dua periode, baik sebagai Pelaksana Tugas maupun Bupati Definitif.
“Karena putusan ini final dan mengikat, saya kira tidak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan oleh Pemohon,” ujarnya.
Pertimbangan hukum putusan MK, lanjut dia, telah menguatkan putusan sebelumnya yang nyaris sama dengan perkara yang diajukan Bupati Edi.
Menurut dia, putusan MK telah menekankan bahwa perhitungan masa jabatan dihitung secara kumulatif saat Bupati Edi menjabat sebagai Pelaksana Tugas dan Bupati Definitif.
Karena itu, bila diakumulasi masa jabatan Bupati Edi pada periode pertama, ia telah menjabat lebih dari dua setengah tahun.
“Sehingga selanjutnya disebut sebagai satu periode jabatan. Jadi, saya kira sudah cukup konkret,” katanya.
Disinggung kajian yang diinisiasi oleh akademisi dari Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Amir Ilyas, ia menegaskan bahwa pandangan akademik terbuka bagi siapa pun dalam menelaah putusan MK tersebut.
“Namun, kembali lagi, apakah peluang atau upaya hukum itu masih ada, saya kira sudah tidak ada lagi. Mengingat MK memberikan putusan yang final dan mengikat kepada para pihak. Jadi, kajian itu tidak dapat mengubah apa yang kemudian telah menjadi putusan hakim MK,” tegasnya.
Sebelumnya, Amir Ilyas dalam buku yang disusunnya yang berjudul Periodesasi Jabatan Kepala Daerah: Pejabat Definitif, Pejabat Sementara, Plt, Pj, dan Pjs menguraikan bahwa Bupati Kukar Edi Damansyah masih bisa mencalonkan diri sebagai bupati di Pilkada 2024.
Dalam pengantar buku tersebut, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu menguraikan enam alasan di balik kesimpulannya: Pertama, Putusan MK Nomor 2/PPU-XXI/2023 sama sekali tidak membuat norma baru yang membatasi Bupati Edi untuk kembali mendaftar sebagai calon bupati pada Pilkada 2024 sebagai orang yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kukar.
Menurut dia, putusan tersebut hanya menyatakan tidak membedakan antara masa jabatan bagi yang menjabat secara Definitif maupun Penjabat Sementara. Bupati Edi hanya menduduki jabatan sebagai Pelaksana Tugas kepala daerah. Ia tidak pernah menduduki jabatan sebagai Penjabat Sementara.
Secara teori, sambung dia, Pelaksana Tugas dan Penjabat Sementara adalah dua terminologi jabatan yang berbeda. Penjabat Sementara adalah seseorang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan kepala daerah disebabkan kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani cuti kampanye.
“Sedangkan Pelaksana Tugas adalah seseorang Wakil Bupati yang menduduki jabatan Bupati sementara ketika Bupati Definitifnya sedang berhalangan sementara,” jelasnya dalam buku tersebut sebagaimana dikutip beritaalternatif.com pada Rabu (30/8/2023).
Kedua, masa menjabat Bupati Edi sebagai Pelaksana Tugas Bupati kurang dari dua setengah tahun (10 bulan 3 hari). Demikian pula masa menjabatnya sebagai Bupati Definitif pada periode 2016 sampai dengan 2021 juga kurang dari dua setengah tahun (2 tahun 9 hari).
Sehingga kalau ingin dimaknai, sambung dia, pertimbangan Putusan MK Nomor 2/PPU-XXI/2023, yakni MK tidak membedakan masa menjabat (dua setengah tahun atau lebih sebagai satu periode) antara Pejabat Definitif dengan Pejabat Sementara.
“Maka dua keadaan dari Drs. Edi Damansyah, M.Si, baik saat menjabat sebagai Pelaksana Tugas dan Bupati definitif (2016 sd 2021) belum dapat terhitung sebagai satu periode,” terangnya.
Ketiga, Pasal 34 ayat (1) huruf o yang juga dituangkan dalam Pertimbangan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 menegaskan awal untuk mulai menghitung satu periode masa jabatan kepala daerah sejak tanggal pelantikan.
Bupati Edi dalam kasus tersebut, lanjut Amir, menjabat sebagai Pelaksana Tugas Bupati. Berdasarkan Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, Pelaksana Tugas Bupati adalah jenis pejabat yang tidak melalui pelantikan.
“Dengan berdasarkan Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 hanya Kepala Daerah Definitif, Wakil Kepala Daerah Definitif, dan Penjabat Kepala Daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya,” tulis Amir.
Keempat, terdapat fakta hukum serupa dengan kasus Bupati Edi dalam statusnya sebagai warga negara yang pernah menjabat sebagai Pelaksana Tugas Bupati, yakni kasus Hamim Pou, Bupati Bone Bolango, yang pernah dipersoalkan melalui pengujian materil dan permohonan sengketa hasil Pilkada.
“Oleh MK tidak membatasi hak konstitusional Hamim Pou, dan tidak menggugurkannya dalam sengketa hasil Pilkada. Keadaan tersebut seharusnya diperlakukan sama bagi Drs. Edi Damansyah, M.Si,” jelasnya.
Kelima, baik putusan MK Nomor 8/PUU-VI/2008 maupun Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 memiliki keadaan hukum yang serupa, sehingga MK membentuk norma baru terkait dengan batas masa menjabat untuk dapat dihitung satu periode, yakni dua setengah tahun atau lebih.
Jika ditelisik lebih jauh, kata Amir, norma ini bersumber dari Pemohon dan Pihak Terkait yang secara keseluruhan mempersoalkan masa menjabat sebagai “Pejabat Definitif.”
Menurut dia, Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kembali dikutip oleh MK dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 semakin memberi penegasan atau penguatan bahwa pemberlakuan atas nama menjabat dua setengah tahun tersebut hanya dapat diberlakukan bagi Kepala Daerah Definitif saja, bukan untuk terminologi jabatan lainnya.
Keenam, tidak rasional adanya menyamakan antara Pejabat Definitif dengan Pejabat Sementara, sebab dari segi hak-hak, tugas dan kewenangan, masa menjabat, cara menduduki jabatan, dan asal-usulnya berbeda satu sama lain.
Pada intinya, sebut Amir, Pelaksana Tugas Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah dalam serba terbatas. Selain sifat kewenangannya yang mandatoir, juga tidak dibenarkan membuat keputusan yang sifatnya strategis. Hak-hak protokoler, keuangan, gaji, dan tunjangannya pun tetap dalam kapasitasnya sebagai wakil kepala daerah.
“Dengan pendekatan teoritis, yuridis (undang-undang), dan Putusan MK an sich, Drs. Edi Damansyah, M.Si masih memiliki hak untuk ditetapkan sebagai Calon Bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024 mendatang dalam hubungannya dengan Pasal 7 ayat (2) huruf u UU No. 10/2016,” tegasnya. (fb)