Kukar, beritaalternatif.com – Penulis budaya Kutai Dedi Nala Arung menjelaskan beragam topik terkait pengembangan budaya dan pariwisata saat menjadi pembicara dalam acara Ngobrol Santai Sambil Ngopi (NS2N) yang diinisiasi Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB) Kutai Kartanegara (Kukar) pada Sabtu (20/11/2021) malam.
Dalam kegiatan yang menggandeng ATVMedia dan Beritaalternatif.com sebagai media partner tersebut, Dedi menyebutkan, di era digital, bahasa asing, gaya hidup, makanan dan barang impor, serta berbagai kebiasaan baru di era ini tak bisa dihindari oleh masyarakat Kukar.
“Ndik bisa juga etam tolak soal itu. Tinggal etam menyesuaikan diri dengan segala macam perubahan itu tanpa harus menghilangkan identitas dan karakteristik lokal,” katanya.
Ia mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, namun tak ada larangan bagi siswa menggunakan bahasa daerah. Hal ini terjadi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, ataupun di daerah-daerah lain di Indonesia.
Dedi menegaskan, mestinya budaya asing dan lokal tak dibenturkan. Dia justru menekankan agar dua budaya itu mengisi ruangnya masing-masing.
Proses adaptasi budaya asing, kata dia, bisa berlangsung cepat atau lambat. Budaya lokal memuat bahasa, tata budaya, dan adat istiadat perkawinan, kematian, serta lamaran. Jika keduanya tidak disingkirkan dari kehidupan sosial, maka akan mudah bagi masyarakat mencari celah adaptasi antara budaya asing dan lokal.
“Kadang memang ada kelucuan-kelucuan yang etam lihat. Etam agak supan bepakaian adat, tapi etam bangga kalau orang Eropa bepakaian adat etam,” ucapnya.
Alasannya, kata Dedi, sebagian masyarakat Kutai tak terlalu bangga dengan pakaian adat mereka sendiri. Karena itu, ia menyarankan setiap orang di daerah ini memahami budaya serta mampu menempatkan budaya lokal dalam ruang-ruang perubahan sosial di era kiwari.
Dalam acara yang dipandu CEO Beritaalternatif.com Ahmad Fauzi tersebut, Dedi juga menekankan, tak semua budaya asing membawa efek buruk bagi masyarakat lokal. Ia mencontohkan perkembangan teknologi saat ini yang diciptakan dan dikembangkan orang-orang asing.
“Misalnya dari sisi musik saja. Dulu recording itu masih pakai sistem analog. Nyanyi, kemudian direkam dari awal sampai akhir. Di era sekarang, teknologi berkembang, etam bisa pakai metronom, yang musiknya bisa dimasukkan belakangan,” jelasnya.
“Itu kan sebenarnya efek dari perkembangan teknologi yang bisa etam adaptasi. Menciptakan lagu ndik harus kayak etam dulu. Sekarang tinggal menggambar musik, kemudian memasukkan liriknya ke dalamnya. Maka jadilah lagu berbahasa Kutai dengan aransemen yang lebih kekinian,” lanjutnya.
Dedi memuji langkah yang diambil sebagian kalangan yang memperkenalkan bahasa Kutai melalui lagu, meskipun ke depan ada beberapa hal yang perlu dibenahi, misalnya penggunaan bahasa Kutai yang masih menggunakan kosa kata untuk percakapan sehari-sehari dalam lirik lagu.
Ia menilai, para pencipta lagu Kutai yang dirilis beberapa waktu lalu dalam lomba yang diinisiasi Komite Ekonomi Kreatif (Kekraf) dan Dinas Pariwisata Kukar belum mengeksplorasi kekuatan dan kekayaan khasanah bahasa dan budaya Kutai.
“Mungkin di lain waktu pakai kosa kata Kutai, kemudian memformulasikannya dengan genre-genre musik kekinian. Kalau dulu kan lagu Kutai ya pakai irama tingkilan, gambus, dan sebagainya. Tapi sekarang lebih pop, tapi bahasa Kutai,” jelasnya.
Generasi muda Kutai saat ini, ungkap Dedi, memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melakukan aransemen lagu, namun mereka mempunyai kelemahan dari sisi riset bahasa.
Ia menduga hal itu terjadi karena referensi yang minim. Sebab, tak ada jurnal-jurnal ilmiah yang memadai terkait bahasa Kutai. Penyebaran bahasa Kutai juga masih terbatas.
“Akhirnya kan yang digunakan bahasa Kutai sehari-hari. Kendalanya mungkin di situ,” ujarnya.
Sebagian seni tradisional Kutai, ucap Dedi, tak bisa diadaptasi dengan budaya modern. Namun ada juga yang bisa beradaptasi. Umumnya, seni tradisional Kutai bisa diubah kemasannya agar dapat dikomersialisasi serta mudah diterima generasi saat ini.
Usaha melestarikan seni tradisional Kutai bukanlah pekerjaan mudah, tapi juga tak berarti rumit untuk dilakukan. Kata dia, yang diperlukan hanya kemauan.
“Misalnya, dari sisi pemerintah political will-nya. Dari sisi pelaku budayanya, ada atau tidaknya semangat dan kemauan untuk melestarikan itu,” katanya.
Iklim Pariwisata
Dedi juga mengurai terkait pengembangan pariwisata di Kukar. Hal pertama yang dilakukan, kata dia, yakni menginventarisasi potensi pariwisata di Kukar. Kemudian menghitung potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata.
Obyek wisata yang potensial bagi PAD perlu disesuaikan dengan program-program pemerintah dan swasta. Bila upaya sinkronisasi telah dilakukan, maka pariwisata akan tumbuh dengan baik.
“Salah satu hal penting dalam pariwisata itu kan iklim pariwisatanya. Iklim ini menyangkut banyak stakeholders: pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan sebagainya,” jelas dia.
Pariwisata Kukar tak bisa dibandingkan dengan Provinsi Bali yang sudah berkembang pesat. Juga tak bisa dibandingkan Balikpapan yang dikenal sebagai kota industri, yang sektor-sektor pendukung pariwisatanya seperti hotel, tempat hiburan dan belanja telah tumbuh pesat.
Hal itu menstimulasi pembentukan iklim pariwisata. Ketika iklim telah terbentuk, maka yang diperlukan selanjutnya adalah penguatan regulasi. Bila tidak disertai aturan, maka pariwisata tak bisa berkembang.
“Etam ini semangatnya tinggi, tapi aksinya rendah. Regulasi pariwisatanya kurang tajam. Data-datanya tidak banyak untuk menyusun rencana strategis kepariwisataan, termasuk iklimnya lambat,” bebernya.
Usaha menciptakan iklim pariwisata, saran Dedi, harus disertai keterlibatan semua pihak. Dia mencontohkan di masa pandemi Covid-19. Semua sektor mengalami hambatan. Namun saat penyebaran virus tersebut melandai, pelaku pariwisata merancang strategi baru untuk menumbuhkan obyek wisata.
Tetapi, kata dia, langkah itu tidak terkoordinasi dengan baik. Melainkan hanya muncul sendiri atas dasar semangat individual. Hal ini, saran Dedi, harus difasilitasi oleh pemerintah daerah dengan melakukan pemetaan ulang potensi obyek wisata di Kukar.
“Misalnya tahun 2019 itu Ladaya punya tingkat kunjungan yang cukup tinggi, terutama wisatawan lokal yang menyukai tempat-tempat kayak Ladaya. Harusnya sekarang etam ada data lagi. Update lagi data soal itu,” sarannya.
“Kalau data itu ada, pengusaha lokal yang punya usaha di bidang pariwisata itu bisa dengan segera menyesuaikan diri, membuat kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi baru bagi tempat wisatanya supaya wisatawan lokal betah dan berdatangan ke tempat wisata,” lanjutnya.
Apabila dibiarkan begitu saja tanpa ada pendataan, maka pariwisata tak bisa berkembang. Pengembangan tempat wisata, kata dia, tak hanya menjadi tanggung jawab pemiliknya, tetapi juga pemerintah memiliki kewajiban untuk mengembangkannya.
Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk menyediakan data pariwisata. Pasalnya, kata Dedi, pemerintah mempunyai infrastruktur memadai: dana riset, program-program, dan anggaran untuk memperbarui data.
“Enggak mungkin itu dilakukan masyarakat,” ujarnya.
Persaingan Antar Pelaku Usaha
Dedi mengatakan, persaingan antar pelaku usaha di sektor pariwisata bisa menumbuhkan kualitas pelayanan. Pasalnya, kualitas pelayanan merupakan hal utama di sektor pariwisata. Tak semata persaingan bisnis.
Dia mencontohkan Kota Samarinda. Di ibu kota provinsi tersebut terdapat puluhan hotel sehingga orang-orang yang datang ke kota itu bisa memilih beragam hotel yang tersedia.
“Kalaupun dia memilih hotel bintang tiga karena sadar pelayanannya bagus, itu hal yang baik. Sama dengan bisnis lain, khususnya di obyek pariwisata,” katanya.
Ia menyebutkan, semakin banyak obyek wisata di Kukar, maka pintu kolaborasi kian terbuka lebar. Segmen pengunjung pun kian beragam. Bila sebelumnya hanya orang-orang lokal yang berkunjung, dengan obyek wisata yang beragam, maka akan semakin banyak pengunjung yang datang ke tempat wisata tersebut.
“Misalnya, kalau etam naksir cewek, harusnya ada saingannya. Kalau ndik ada saingannya, tantangannya kurang,” sebutnya.
Perekonomian Berbasis Budaya
Budaya terbagi dalam berbagai jenis: bahasa, musik, dan kerajinan yang berbasis budaya, salah satunya produk ulap doyo. Karena itu, kata Dedi, peluang pengembangan ekonomi berbasis budaya Kutai sangat terbuka lebar.
Dia juga melihat saat ini para investor besar melirik sektor yang sebelumnya tak diminati pemilik modal, salah satunya kopi. Ini pula yang mendasari kemunculan beragam kopi lokal di Indonesia: kopi toraja, kopi aceh, dan jenis kopi lokal lainnya.
“Arahnya memang komersialisasi produk-produk budaya yang perlu didorong. Cuma di wadah etam belum serius saja mengeksplorasinya,” ujar Dedi.
Ia juga melihat kuliner Kutai yang bisa dikembangkan untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat. Hanya saja, skema pengembangan dan inovasinya perlu dibicarakan lebih lanjut.
“Tinggal kita pintar buat inovasi saja. Seperti roti gembong itu. Karena ada yang menemukan celah inovasinya, sekarang ada berbagai jenis roti gembong. Itulah perlunya inovasi,” tegas Dedi. (ln)