Oleh: Aswindra Hidayat*
Tiba-tiba saya pengen nulis tentang pariwisata di Kukar. Sedikit kritik enggak apa-apa ya. Kalau mau kritik tulisan ini pun silakan. Kita saling berbagi pengetahuan. Pada intinya kita ingin pariwisata, khususnya di Kukar, bisa menumbuhkan benefit yang besar.
Dari sudut pandang saya, saya akui masih banyak orang yang meremehkan pariwisata di Kukar. Ini hal wajar kerena memang belum berefek sedemikian banyak ke masyarakat.
Ada hal lain juga yang menyebabkan kita pesimis terhadap pariwisata di Kukar, yaitu selalu membandingkan dengan wisata di luar: luar pulau atau luar negeri.
Kita sering kali membandingkan daerah kita dengan di Bali, Jogja, bahkan luar negeri, yang di mana mereka punya pegunungan, samudera, kuliner, budaya, dan lain-lain.
Padahal, setiap daerah itu punya potensi masing-masing, kekhasan, dan hal-hal unik yang tidak dimiliki daerah lain.
Kita kasih contoh seperti Kukar. Kita punya Sungai Mahakam. Orang Bali atau orang Jogja atau orang luar negeri kalau mau becesan/beketintingan atau pakai kapal menyusuri Mahakam, harus ke tempat kita.
Mau merasakan Pulau Kumala, mereka harus ke tempat kita meskipun pulaunya sekarang kondisinya begitu. Mau makan gence ruwan, pais patin ala Kutai, mereka harus ke tempat kita. Mau lihat jepen kutai, tari belian namang, mereka harus ke tempat kita, dan banyak lagi kekhasan kita yang tidak dimiliki orang-orang di luar sana.
Jika semua ini ingin bernilai benefit, tentunya harus kita kemas dengan prinsip-prinsip pariwasta dan sistem pariwista yang benar sesuai keadaan geografi daerah kita.
Sebelum bicara tentang sistem pariwisata, sekali lagi ini sudut pandang saya, kebanyakan kita di Kukar masih keliru membedakan yang mana desa wisata dan wisata desa. Meskipun terdengar mirip, sebenarnya terdapat perbedaan.
Secara sederhana, berikut saya uraikan perbedaan desa wisata dan wisata desa. Desa wisata, secara pengelolaan dikelola oleh semua unsur desa. Mulai dari petinggi, kepala desa, perangkat desa, sampai struktur RT dan warga masyarakat ikut andil di dalamnya tanpa terkecuali.
Biasanya sebelum masuk desa wisata itu sudah pakai karcis. Jadi, penghasilan dari karcis itu selain buat biaya-biaya yang lain, ada juga bagian pemasukan untuk seluruh unsur desa yang ikut andil di dalamnya.
Saya contohkan langsung desa wisata itu seperti desa adat, Desa Panglipuran di Bali. Kita masuk desanya, sudah bayar tiket atau karcis.
Wisata buatan pun bisa jadi desa wisata. Contohnya Kampung Warna Warni Jodipan di Malang. Kalau kita masuk, sudah bayar tiket atau karcis.
Keuntungan dari tiket/karcis itu selain menjadi pendapatan asli daerah dan untuk up-grading pariwisata di tempat tersebut, masyarakat yang tinggal di tempat itu pun dapat persenan (bagian), tapi ketika masyarakat di desa tersebut ingin menambah pemasukan selain pembagian dari tiket/karcis masuk, biasanya setiap orang memiliki ide masing-masing. Contohnya, mereka membuka jasa penyewaan baju adat, jualan kuliner, oleh-oleh, jasa photobooth, dan lain-lain.
Berbeda dengan wisata desa. Ini bermakna desa yang mempunyai satu destinasi wisata atau lebih dikelola hanya satu kelompok atau lebih tapi tidak melibatkan semua unsur desa dan masuk desanya pun tidak bertiket/karcis.
Artinya, dari contoh di atas bisa kita simpulkan. Tidak semua desa bisa jadi desa wisata, tapi semua desa bisa punya wisata desa.
Di bagian ini kebanyakan kita sedikit keliru. Sebenarnya ini jadi masalah karena bisa mengakibatkan kekecewaan para wisatawan/pengunjung. Sebab, dikira desa wisata, ternyata bukan.
Mungkin pemerintah sebenarnya niatnya baik dengan hal itu, agar desa yang memiliki status desa wisata itu memiliki koneksi yang luas, khususnya untuk pendanaan/support. Desa wisata itu selain bisa mendapatkan dana dari APBDes, APBD, APBN, dari kementerian juga ada anggaran untuk desa wisata.
Hal ini berbeda dengan wisata desa yang terbatas untuk mendapatkan anggaran, apalagi yang punya hanya perorangan, harus pakai biaya sendiri. Tapi harus kita pahami, sesuatu yang dipaksakan itu kadang kurang baik.
Selain itu, sudut pandang saya, sistem pariwisata di Kukar masih menggunakan CBT (Community Based Tourism). Sistem ini sangat baik dan harapannya jangan pernah ditinggalkan tapi sayangnya sepertinya kurang maksimal. Hal ini juga sebagai strategi untuk menumbuhkan wisata yang baik.
Melihat kondisi geografi kita di Kukar, selain sistem CBT, kita juga harus menggunakan sistem CVT (Cross Vilage Tourism) wisata lintas desa. Hal ini mungkin terdengar baru, tapi konsep ini bahkan diterapkan di lintas negara. Konsep ini sangat penting untuk menghidupkan wisata yang daerahnya lumayan jauh dari assembly point wisata, yang jaraknya jauh dari kota atau bandara.
Sebelum bicara jauh tentang CBT dan CVT, tentunya ini juga penting. Kita harus mengonsepkannya terlebih dahulu. Daerah kita ini wisatanya mau kelas lokal, nasional atau internasional? Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar kita bisa menarik di mana titik nol wisata (assembly point) Kukar. Bukan titik nol IKN.
Sebenarnya tempat wisata kita di Kukar sudah kelas internasional. Tidak sedikit wisatawan luar negeri (turis) datang ke tempat kita ini, tapi sayangnya suguhan kita masih kurang. Saya sedikit dapat informasi dari kawan pramuwisata yang sering membawa turis ke Kukar. Pada akhirnya, turis dibawa ke kabupaten lain. Contohnya, dibawa ke Kabupaten Kubar. Tempat kita hanya tempat persinggahan sebentar. Saya kira ini sangat disayangkan.
Dengan melihat situasi dan keadaan saat ini, saya berani bilang, bicara UMKM tanpa bicara wisata adalah omong kosong. Kenapa? Jangan pernah menganggap wisata itu hanya sebatas wisata alam. Wisata itu banyak macamnya: ada wisata kuliner, wisata belanja, wisata religi, wisata buatan, agrowisata, wisata budaya, dan lain-lain.
UMKM di Kukar tahun 2022 yang terdaftar di Diskop UKM Kukar berjumlah 66.273 UMKM. Sekarang mungkin bertambah lagi. Apa kabar mereka ini? Coba tanya, pasti banyak keluhan dan harapan.
Saya kira ini yang harus dimasukkan juga sebagai prioritas kerja pemerintah agar UMKM di Kukar juga melesat maju.
BUMD pariwisata pun sangat penting untuk dibentuk. Jangan telat seperti di kabupaten lain. Sepengetahuan saya, contoh di Bali. Pada akhirnya hanya membentuk BUMD digital pariwisata karena pemerintahnya dilematis. Takut mengganggu wisata lain yang sudah berjalan lama, bahkan aset wisata di Bali 85% dimiliki asing.
Sangat disayangkan. PAD Bali hampir setiap tahun Rp 3,1 triliun. Harusnya bisa lebih dari ini, bahkan lapangan kerja yang dinaungi BUMD pariwisata untuk masyarakat terbuka lebar.
Maka dari itu, banyak kabupaten yang memiliki BUMD pariwisata dibentuk dan memulai gebrakan baru ini karena jika ingin pariwisata maju, salah satu solusinya adalah serahkan ke BUMD pariwisata atau badan hukum yang mengatur wisata daerah agar konsep, prinsip, sistem pariwisata berjalan seperti yang diharapkan, karena pariwisata itu perlu upgrade setiap waktu, bukan menunggu anggaran murni atau perubahan untuk meng-upgrade-nya. Manusia itu cepat bosan. Terima kasih. (*Pengamat pariwisata Kukar)