Search
Search
Close this search box.

Pengkhianatan yang Dialami Imam Hasan Sepeninggal Ayahnya

Ilustrasi. (The Islamic Information)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Imam Ali bin Abi Thalib syahid pada tanggal 21 Ramadhan 40 Hijriah. Beliau berwasiat supaya jasadnya dikuburkan pada malam hari agar tidak diketahui masyarakat. Putranya, Imam Hasan, keesokan harinya membacakan khotbah kepada masyarakat dan menyampaikan berita meninggalnya ayahanda kepada umat dengan membacakan keutamaan dan kemuliaan sang ayah.

Imam Hasan menangis dan masyarakat pun ikut menangis. Imam turun dari mimbar dan duduk di atas tanah. Di saat itu, Abdullah bin Abbas berdiri dan berkata. “Wahai manusia! Hasan bin Ali adalah anak Rasulullah dan washi Amirul Mukminin. Maka, berbaiatlah kepadanya untuk khilafah!”

Orang-orang yang hadir menerima ajakan itu dan membaiat Imam Hasan. Sejak itu, Imam Hasan duduk di kursi khilafah dan disibukkan dengan urusan pemerintahan. Imam mempelajari kinerja dan pekerjaan-pekerjaan para pegawai yang lama. Kemudian Imam menetapkan dan memperbarui hukum mereka. Beliau memilih wali yang baru dan mengutusnya ke tempat-tempat tugas, di antaranya adalah Abdullah bin Abbas dipilihnya sebagai pemimpin Basrah dan mengirimnya ke sana.

Advertisements

Di sisi lain, Muawiyah yang berkuasa di Syam mencium tentang baiat masyarakat kepada Imam Hasan. Maka, Muawiyah pun berupaya mencegahnya dengan memilih dan mengutus dua mata-mata yang lihai ke Kufah dan Basrah untuk mencari berita penting bagi Muawiyah serta melakukan makar dan kekisruhan di dalam pemerintahan Imam Hasan. Imam mendengar makar ini dan menginstruksikan penangkapan dua mata-mata itu. Kemudian Imam menulis surat kepada Muawiyah dan menyebutkan kelebihan-kelebihan beliau sehingga lebih layak menjadi khalifah.

Muawiyah yang telah sekian tahun berupaya mencegah perluasan pemerintahan Imam Ali menantikan peluang seperti ini. Oleh karena itu, ia tidak bersedia mendengarkan ucapan Imam Hasan dan menolak kebenaran. Ia memutuskan untuk berjuang melawan pemerintahan baru Imam Hasan dan menyingkirkan musuh baru tersebut dengan segala cara, bahkan dengan perang dan pembunuhan untuk menyingkirkan Imam Hasan dari pentas politik. Dengan tujuan inilah, ia mengumumkan perang dan dengan pasukannya yang besar, ia bergerak menuju Irak.

Berita ini sampai ke telinga Imam Hasan dan beliau terpaksa mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan Muawiyah. Setelah pernyataan perang ini Imam Hasan menginstruksikan Hujr bin Adi untuk memobilisasi umat demi membela pemerintahan yang sah. Sekelompok umat menerima dan bersiap-siap untuk bergerak menuju medan laga.

Namun sayangnya, kebanyakan umat enggan mengikuti perang. Akibatnya, pasukan Imam Hasan tidak mencapai jumlah yang mencukupi untuk menghadapi pasukan Muawiyah yang banyak. Beberapa sejarawan membagi pasukan Imam Hasan ke dalam beberapa kelompok.

Pertama, sekelompok umat adalah Syiah sejati dan pendukung setia Imam Hasan serta pendukung pemerintahan Alawi.

Kedua, sekelompok lainnya adalah mereka yang bermusuhan dengan Muawiyah dan ikut serta dalam perang dengan tujuan hanya untuk menjatuhkan Muawiyah, bukan untuk membela pemerintahan dan khilafah Imam Hasan yang sah.

Ketiga, kelompok yang ragu dalam mengenali kebenaran sehingga memiliki dua hati dalam melakukan perang atau, dengan kata lain, mereka menyertai peran dengan tanpa tujuan.

Keempat, kelompok yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang tujuan perang dan berperang hanya karena fanatisme golongan sehingga mereka secara mutlak mengikuti para kepala suku saja. (Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 163-165)

Alhasil, Imam Hasan tidak memiliki cara lain, kecuali bersama pasukan yang dimilikinya itu berusaha mempertahankan dan membela diri. Beliau mengatur pasukannya dan mengutus 4.000 orang yang dipimpin oleh lelaki dari Kabilah Kandah ke wilayah bernama Anbar. Beliau mengatakan, “Tunggulah perintahku dan jangan berbuat sesuatu terlebih dahulu!”

Muawiyah segera menggunakan tipuan dan makar yang biasa dilakukannya. Dengan memberikan 500.000 dirham kepada komandan pasukan Imam Hasan, ia meminta komandan itu agar menggagalkan perang dan berpaling dari Imam Hasan. Komandan itu pun menerima uang Muawiyah dan beserta 200 orang pengikutnya, pergi menuju Muawiyah.

Imam Hasan sangat kecewa mendengar berita ini dan menunjuk seorang komandan lain dari suku Murad sebagai gantinya. Namun Muawiyah kembali berhasil menyuap lelaki dari kabilah Murad itu dan memberikan 5.000 dirham kepadanya seraya berjanji bahwa nanti seusai perang, akan diserahkannya salah satu wilayah. Ia menerima uang itu dan bergabung dengan Muawiyah.

Beberapa yang lainnya juga disogok seperti itu dan bergabung dengan Muawiyah, di antaranya adalah Ubaidillah bin Abbas. Sejumlah kepala kabilah Kufah menulis surat kepada Muawiyah, “Kami adalah pendukungmu dan datanglah kepada kami. Ketika engkau telah mendekati kami, kami akan menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau kami akan menerornya.”

Perdamaian dengan Muawiyah

Saat Imam Hasan bersama empat ribu pasukannya berhenti di Sabath, Muawiyah mengirimkan surat-surat warga Kufah dan para pemuka kabilah kepada Imam Hasan seraya menulis, “Wahai anak paman! Janganlah engkau memutuskan kekeluargaan antara diriku dan dirimu! Janganlah engkau percaya dan sombong dengan masyarakat ini sebab, sebelumnya mereka telah berkhianat kepadamu dan juga kepada ayahmu. Aku bersedia menjalin perdamaian denganmu.”

Imam Hasan mengawasi keadaan pasukannya dari mengetahui pengkhianatan sejumlah pemuka pasukannya kepada Muawiyah. Imam mengetahui benar ketidaksetiaan masyarakat Kufah dan ketidaksepahaman pikiran di dalam pasukan.

Imam merasakan bahwa dalam kondisi seperti ini, perang tidak akan menghasilkan sesuatu, kecuali pembunuhan dan pembantaian massal kaum muslimin sehingga pada akhirnya pasukan musuh akan menang dan kejahatan akan bertambah terhadap orang-orang Syiah. Hanya saja menerima perdamaian bukanlah suatu hal yang mudah.

Imam memutuskan untuk menyampaikan khotbah dengan maksud menguji para sahabatnya dan mengetahui pendapat mereka. Imam memanggil masyarakat dan membacakan khotbah serta menyampaikan penjelasan. Namun pendapat Imam tidak diterima oleh sebagian yang hadir dan mereka berpikir bahwa Imam berniat untuk berdamai dengan Muawiyah. Sebagian dari mereka bangkit dan berkata, “Engkau telah kafir dan musyrik wahai Hasan sebagaimana ayahmu telah kafir!”

Sekelompok orang menyerang kemah Imam Hasan dan merampok isinya, bahkan mereka menarik sajadah dari bawah kaki Imam dan mencabut jubah dari pundaknya Imam. Ketika mengetahui nyawanya terancam, Imam Hasan terpaksa menaiki kuda untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman sekelompok orang.

Pengikut setia Imam secara khusus mengelilingi Imam Hasan untuk menjaganya dari bahaya musuh di bawah selimut. Tatkala melewati Sabath di kegelapan malam, seorang lelaki tiba-tiba menyerang Imam dan melukai pahanya cukup serius dengan senjatanya.

Para sahabat Imam Hasan membantunya dan menyelamatkan nyawa Imam dari kejahatan lelaki itu. Kemudian para sahabatnya itu membawa Imam ke Madinah. Imam berbaring di rumah salah seorang Syiahnya dan berobat di sana.

Imam dengan cermat dapat membaca keadaan yang sebenarnya dari pemberontakan dan pengkhianatan pasukannya. Imam berpikir bagaimana mungkin ia dapat memerangi musuh dan keluar sebagai pemenang sementara di antara pasukannya sendiri terdapat orang-orang yang mengutuk Imam. Selain itu, komandannya bahkan mengafirkan, menghalalkan darah, serta merampok hartanya? Apakah pasukan yang tidak ikhlas seperti itu dapat dipercaya?

Pada saat itu, Muawiyah mengirimkan surat sebagian pemuka kabilah kepada Imam Hasan yang tertulis, “Kami bersedia untuk menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau menerornya.”

Selain itu dalam sebuah surat ditulis, “Pasukanmu adalah semacam ini. Dengan pasukan seperti ini, engkau ingin berperang denganku? Sebaiknya engkau dan umatmu menghindari perang ini dan menerima perdamaian. Dalam kaitan ini, aku menerima persyaratanmu dan akan konsisten serta memegang teguh perjanjian itu.”

Kendati mengenal dengan baik tipu daya dan siasat Muawiyah, Imam Hasan tidak mempunyai jalan lain kecuali menerima tawaran Muawiyah. lmam tahu bahwa ia tidak dapat menang melawan pasukan Muawiyah. Maka demi menjaga pertumpahan darah yang sia-sia Imam menerima perdamaian tersebut.

Beliau menyatakan kesiapannya untuk berdamai dan mengusulkan beberapa hal berikut ini sebagai syarat.

Pertama, Muawiyah tidak menamakan dirinya sebagai Amirul Mukminin.

Kedua, Imam Hasan tidak dihadirkan untuk menyatakan kesaksian.

Ketiga, kaum Syiah di mana saja dalam keadaan aman serta tidak mendapatkan gangguan dan penyiksaan.

Keempat, hendaknya Muawiyah membagikan ribuan dirham kepada anak-anak syuhada yang ayah-ayah mereka syahid dalam pertempuran Jamal dan Shiffin di dalam barisan pasukan Imam Ali.

Kelima, hendaknya Muawiyah bersikap sesuai dengan Alquran dan sunah Rasulullah Saw serta sirah khalifah yang saleh.

Keenam, Muawiyah tidak diperkenankan menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan urusan khilafah kepada dewan syura muslimin.

Ketujuh, tidak melakukan makar terhadap segenap Ahlulbait Rasulullah baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan dan jangan meneror mereka.

Muawiyah menerima semua persyaratan itu dan berjanji untuk bersikap setia. Dengan demikian, perjanjian perdamaian pun ditandatangani oleh kedua pihak. Akan tetapi Muawiyah tidak lama setelah itu mengkhianati semua janji perdamaian tersebut. Masih merasa tidak nyaman dengan keberadaan Imam Hasan, Muawiyah berhasil membujuk Jadah (istri Imam Hasan) dan dijanjikan akan dinikahkan dengan putra mahkotanya Yazid. Wanita terhina itu berhasil membunuh Imam Hasan, suaminya, dengan racun yang sangat ganas. Imam Hasan pun syahid pada bulan Safar 50 H.

Ya’qubi menulis, “Imam Hasan menjelang wafatnya beliau berkata kepada saudaranya, ‘Wahai saudaraku, ini ketiga kalinya aku diracun. Dan racun ini sangat berbeda dengan sebelumnya, dan inilah yang akan menjadi penyebab kematianku hari ini. Jika aku meninggal, maka makamkanlah aku di sisi makam Rasulullah saw, sebab tidak ada yang lebih dekat dengannya kecuali aku, namun jika pemakamanku di sisi makam Rasulullah dapat menyebabkan pertumpahan darah, maka hindarilah.’” (Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 154) (*)

Sumber: Disarikan dari buku Para Pemimpin Teladan karya Ayatullah Ibrahim Amini via Safinah Online

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA