BERITAALTERNATIF.COM – Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid terakhir kali bertemu dengan mantan Ketua PP Muhammadiyah almarhum Buya Syafii Maarif saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Meski selama pandemi Yenny tidak pernah melakukan silaturahmi secara fisik dengan almarhum, ia mengaku kerap berkirim pesan melalui aplikasi WhatsApp, terutama menyangkut isu-isu terkini, khususnya tentang kebangsaan.
Dia menyebutkan bahwa Buya Syafii kerap menyampaikan kegelisahannya terkait masalah-masalah krusial yang melanda bangsa Indonesia.
“Kami sering diskusi apa masalah saat ini dan apa yang harus dilakukan ke depan,” ungkapnya sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari kanal YouTube TVOne, Sabtu (18/5/2022) siang.
Tokoh Langka
Yenny menyebut Buya Syafii sebagai toko yang langka di Indonesia, yang juga terdepan dalam mengayomi semua golongan.
Ia juga menilai almarhum sebagai tokoh Islam yang tidak memperlihatkan secara vulgar identitas keislamannya di publik.
Dia melanjutkan, almarhum merupakan tokoh yang menentang diskriminasi terhadap non-muslim.
Yenny mengungkapkan, almarhum kerap menyoroti demokrasi di Indonesia. Dalam pandangannya, demokrasi sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Beliau itu orang yang kritis dan mengkritisi orang-orang, terutama tokoh politik, yang banyak menggunakan isu agama untuk kepentingan politik sesaatnya saja,” jelasnya.
Alumni The University of Chicago dinilainya sebagai pribadi teguh dalam prinsip dan pendirian.
Ia juga menilai almarhum sebagai pribadi yang sederhana, bersahaja, dan memiliki banyak amal baik untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Beliau ke mana-mana pakai vespa atau sepeda. Sangat sederhana sekali dalam kehidupan pribadi, tetapi kaya dalam pemikiran,” sebutnya.
Tokoh yang pernah mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Amerika Serikat itu dinilai Yenny sebagai pribadi yang terus berjuang untuk kesejahteraan dan keadilan.
“Beliau tidak tahan pada sesuatu yang keliru di bangsa dan negara kita,” ucapnya.
Yenny mengungkapkan, Buya Syafii tidak segan-segan mengkritisi siapa pun yang dianggapnya keliru. Namun, pada saat bersamaan almarhum mempunyai hubungan yang baik dengan semua orang.
“Dengan pejabat-pejabat publik beliau sangat dihormati. Tapi tidak menjadikan beliau kehilangan rasa kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan,” urainya.
“Beliau terus mengingatkan kita semua bahwa kehidupan bernegara tentunya tidak luput dari kesalahan. Karenanya, baik pejabat publik maupun tokoh masyarakat, harus mau mendengarkan kritik yang ada. Semangatnya adalah untuk terus melakukan perbaikan,” lanjutnya.
Karena itu, sebagai sosok yang langka, bangsa Indonesia beruntung memiliki tokoh seperti Buya Syafii, yang dinilainya sebagai pribadi yang bersedia mengingatkan siapa pun.
“Kita beruntung punya tokoh seperti beliau,” katanya.
Hubungan Harmonis
Kata Yenny, mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid atau Gus Dur, yang merupakan ayahnya, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Buya Syafii.
Ketika Buya Syafii menjadi Ketua PP Muhammadiyah, Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini membuat hubungan keduanya semakin erat karena mereka mampu membangun kedekatan antara NU dan Muhammadiyah.
“Mungkin sebelumnya ada ketegangan-ketegangan. Mungkin karena ada beberapa posisi dalam menyikapi persoalan politik ataupun beberapa yang berkaitan dengan persoalan amaliah keagamaan,” terangnya.
Selama mereka menjabat sebagai pimpinan dua organisasi besar Islam di Indonesia tersebut, keduanya kerap mengadakan berbagai dialog dan tampil bersama-sama.
“Ini kemudian membuat hubungan NU dan Muhammadiyah tenteram,” katanya.
Menurutnya, NU dan Muhammadiyah adalah penyangga Indonesia. Kekompakan dan keakraban dua organisasi tersebut sangat penting agar negara ini tetap aman, utuh, dan maju.
“Jadi, kita sangat berterima kasih kepada Buya Syafii,” ucapnya.
Islam dan Demokrasi
Buya Syafii, kata Yenny, memosisikan Islam sebagai agama yang tidak mesti dijadikan sistem secara formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Tetapi Islam itu justru menjadi inspirasi bagaimana kehidupan bermasyarakat yang bermoral itu harus ditegakkan tanpa perlu kemudian menjadi agama sebagai sebuah aturan formal atau hukum formal di negara kita,” jelasnya.
“Jadi, agama ditempatkan sebagai seharusnya agama yang memang di tempatnya, yaitu menjadi panduan masyarakat dalam mengelola dirinya secara personal, yang berhubungan dengan habluminallah dan habluminannas,” lanjutnya.
Menurut dia, Buya Syafii menempatkan agama sebagai inspirasi personal sehingga setiap orang dapat memperlakukan orang lain dengan penuh kasih dan sayang.
Almarhum menginginkan agama sebagai inspirasi dan sumber nilai untuk menuntun setiap orang dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Tidak perlu diformalisasikan. Apalagi dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Karena begitu agama diformalkan menjadi sebuah hukum negara, maka ekses negatifnya yaitu diskriminasi terhadap kelompok non-muslim,” jelasnya.
Menurut Buya Syafii, sistem demokrasi sejatinya memiliki keselarasan dengan nilai-nilai syariat Islam, salah satunya musyawarah yang diajarkan Islam yang kemudian diakomodir dalam proses demokrasi di Indonesia.
“Kalau tidak salah, menurut beliau, demokrasi itu ada karakteristiknya, salah satunya bagaimana yang kalah harus legawa dan ikhlas dan mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi,” jelas Yenny.
Peninggalan Berharga
Berbagai penghormatan yang diperoleh Buya Syafii dari masyarakat Indonesia, kata Yenny, tak hanya didapatkan karena kepiawaiannya dalam menyampaikan kata-kata di depan publik, tetapi yang terpenting adalah konsistensinya menerapkan nilai-nilai Islam yang ramah, toleran, dan mengayomi sesama.
Ajaran Islam yang diterapkan oleh Buya Syafii, lanjut dia, merupakan Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin).
Ia menyebutkan bahwa nilai-nilai tersebut harus diteruskan oleh generasi bangsa saat ini. Perjuangan dan konsistensinya pun mesti diikuti oleh setiap orang di negara ini.
“Inilah yang harus kita teruskan dari beliau. Saya sendiri dari Nahdlatul Ulama mengambil banyak inspirasi dari beliau. Karena memang beliau tidak hanya tokoh organisasi, tapi juga tokoh panutan semua kalangan masyarakat,” pungkasnya. (*)