Oleh: Ibrahim Amini*
Di sini, perlu kiranya saya memaparkan secara ringkas penjelasan tentang fitrah.
Kata fitrah banyak sekali disebutkan di dalam Alquran dan hadis, dan disebut sebagai akar dan sumber berbagai perkara.
Raghib Isfahani menulis, “Kata fitrah menurut bahasa berarti merobek atau membelah, dan ungkapan Fatharallâhu al-Khalqa adalah berarti Allah menciptakan makhluk sedemikian rupa sehingga menjadi sumber berbagai perbuatan. Oleh karena itu, makna ayat yang berbunyi, (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut, ialah Allah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga makrifah kepada-Nya tertanam pada dirinya. Dengan begitu, maka fitrah Allah ialah potensi makrifat dan keimanan yang tersimpan pada diri maujud.”
Para cendekiawan menjelaskan fitrah ke dalam beberapa bentuk penjelasan:
Pertama, fitrah adalah tabiat dan karakter khusus yang digunakan dalam penciptaan manusia, yang karenanya manusia mempunyai potensi untuk menerima iman dan agama, dan jika ia kembali kepada tabiat pertamanya ia akan menjadi orang yang beragama dan menyembah Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang keluar dari agama, maka itu tidak lain disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti taklid kepada kedua orang tua.
Kedua, seluruh manusia, di dalam dirinya mempunyai kecenderungan kepada Sumber wujud dan kecenderungan untuk menyembah dan tunduk di hadapan-Nya. Semua manusia di dalam dirinya mengakui keberadaan-Nya, meskipun terkadang dia salah dengan menyangka yang lain sebagai Dia dan tunduk di hadapannya. Karena kecenderungan kepada Sumber wujud dan keharusan menyembah-Nya terpatri dalam diri manusia, dan terkadang manusia salah dalam menentukan siapa Tuhan, maka muncullah praktik penyembahan berhala di tengah manusia.
Ketiga, arti dari fitrah ialah manusia diciptakan untuk mengenal, bertauhid, beragama, dan menyembah Tuhan.
Keempat, fitrah ialah janji dan pengakuan yang telah Allah Swt ambil dari seluruh manusia pada alam dzur dan awal penciptaan. Di alam dzur telah diambil pengakuan dari seluruh manusia akan keberadaan dan keesaan-Nya, dan mereka telah berjanji untuk menjadi penyembah Allah di alam dunia.
Dengan demikian, maka seluruh manusia di dalam batinnya adalah penyembah Tuhan meskipun ada sebagian orang yang meletakkan tirai di atas panggilan batinnya dan mengingkari keberadaan Tuhan dengan lidahnya.
Kelima, yang dimaksud dengan menyembah Allah adalah fitrah ialah bahwa akal sendiri cenderung kepada Sumber wujud dan untuk membuktikan keberadaan Tuhan tidak memerlukan argumentasi dan perolehan berbagai macam premis.
Dengan berpikir tentang tatanan wujud dan mempelajari rahasia-rahasia penciptaan maka dengan sendirinya, dengan tanpa memerlukan argumentasi, manusia akan terbimbing kepada pengakuan akan adanya Pencipta alam ini. Oleh karena itu, fitrah adalah penciptaan khusus akal dan diri manusia.
Keenam, bangunan khusus ruh manusia diciptakan sedemikian sehingga secara otomatis dia adalah pencari dan penyembah Tuhan, dan kecenderungan kepada Sumber ciptaan dan penyembahan Tuhan telah ditanam sedemikian rupa dalam diri manusia sehingga menjadi sebuah insting.
Sebagaimana insting cenderung kepada makanan tertanam pada tabiat manusia, yang secara otomatis dia merasa lapar lalu mencari makanan, maka kecenderungan kepada Tuhan dan penyembahan kepada-Nya pun tertanam dalam dirinya dan secara otomatis tertarik kepada-Nya.
Beberapa dari definisi di atas mempunyai kesamaan dan tidak berbeda antara satu sama lain. Di sini, kita perlu mengkaji dan mempelajari definisi-definisi di atas.
Pada definisi pertama dan ketiga, sesuatu yang dinamakan fitrah belum ditetapkan ada pada diri manusia. Karena pada definisi pertama, fitrah diartikan sebagai potensi manusia untuk mengenal dan menyembah Tuhan, dan potensi mengenal dan menyembah Tuhan bukan merupakan sebuah wujud khusus.
Demikian juga pada definisi ketiga, fitrah diartikan bahwa tujuan dari penciptaan manusia ialah mengenal dan menyembah Tuhan, sehingga dengan begitu ayat yang berbunyi, (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut, diartikan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhan. Oleh karena itu, di sini juga belum ditetapkan sesuatu yang bernama fitrah bagi manusia.
Sementara penjelasan kedua dan keenam mempunyai kedekatan, keduanya menyebutkan bahwa fitrah adalah satu bentuk insting, yaitu insting untuk mencari dan menyembah Tuhan, tidak ada bedanya dengan insting merasa lapar dan haus lalu mencari makanan dan minuman.
Sekelompok cendekiawan mengklaim bahwa insting yang semacam ini ada pada diri manusia, dan untuk membuktikannya mereka juga bersandar kepada pendapat sebagian kalangan pakar psikologi. Akan tetapi, untuk membuktikan keberadaan insting yang semacam ini amat sulit.
Adapun pada penjelasan kelima, fitrah diartikan sebagai fitrah akal, dan disebutkan bahwa akal telah diciptakan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya menghadap dan mencari Sumber ciptaan, dan untuk itu tidak diperlukan argumentasi dan dalil demonstratif (burhan: dalil filosofis tak terbantahkan—peny.).
Begitu banyak terjadi manakala akal menyaksikan sekelumit rahasia alam maka dengan serta merta menjadi jelas baginya dan dia menemukan keyakinan akan keberadaan Pencipta alam, dengan tanpa menggunakan argumentasi.
Oleh karena itu, akal mempunyai hubungan khusus dengan Pencipta alam, dan dia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga terkadang dengan tanpa argumentasi pun dia dapat menerima keberadaan Pencipta dan beriman kepada-Nya.
Kita tetap perlu memberi catatan terhadap penjelasan ini. Meskipun benar dalam beberapa keadaan dengan tanpa argumentasi akal dapat memahami dan menerima keberadaan Pencipta alam, namun jika kita melihat dengan lebih teliti niscaya kita mendapati bahwa dalam keadaan ini pun sebenarnya bukan dengan tanpa argumentasi, hanya saja akal dengan cepat dan secara otomatis berargumentasi dengan tanpa disadari.
Sebelumnya akal telah mengetahui bahwa setiap akibat (ma`lul) membutuhkan sebab (`illah), dan berbagai fenomena yang indah dan mengagumkan tentunya membutuhkan seorang pencipta yang pandai dan kuasa.
Dengan mengetahui ini, maka tatkala akal menyaksikan keajaiban-keajaiban alam maka dengan cepat ia berargumentasi dan mengambil kesimpulan begini: fenomena yang mengagumkan ini tentu membutuhkan keberadaan Sebab Yang Mahapandai dan Mahakuasa, dan Itu adalah Tuhan Pencipta alam.
Alhasil dalam penjelasan fitrah kita dapat mengatakan, bahwa manusia dalam penyaksian tak berperantara (hudhûri)-nya terhadap diri, kekuatan dan perbuatan dirinya, secara otomatis ia akan memahami makna hukum sebab akibat.
Manusia menyaksikan di dalam dirinya bahwa kekuatan dan perbuatan dirinya adalah maujud yang butuh dan tergantung kepada dirinya, yang dengan tanpa keberadaan dirinya maka mereka itu tidak akan ada, dan dirinya itu merupakan penyedia kebutuhan-kebutuhan mereka.
Dari sini, maka secara umum dia dapat memahami bahwa setiap wujud butuh dan bergantung kepada sebab. Oleh karena itu, di dunia luar dari dirinya pun, dia akan berusaha untuk dapat mengetahui sebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Di sisi lain, manusia juga mendapati dirinya adalah maujud yang bergantung, membutuhkan dan tidak bebas, dan mengetahui bahwa dia bukan pemilik wujud dirinya, dan untuk memenuhi segala kebutuhannya dia membutuhkan Wujud Yang bebas dan tidak bergantung. Seluruh manusia, secara hudhûri memiliki pemahaman yang seperti ini.
Insting mencari sebab dan fitrah menyembah Tuhan bersumber dari sebuah pemahaman seperti ini. Manusia mengetahui benar bahwa dia bukan pemilik dirinya dan tidak mempunyai kemampuan untuk menjaga dan mempertahankannya.
Manusia juga mengetahui bahwa dia tidak bisa menghalangi kematian dirinya dan tidak bisa mencegah musibah dan rasa sakit yang menimpa dirinya. Manusia sadar betul bahwa dia tidak mandiri, dan untuk memenuhi kebutuhannya mau tidak mau ia harus meminta tolong kepada yang lain. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhannya dia bersandar dan meminta tolong kepada orang atau sesuatu di luar dirinya.
Dari sini, dia pun kemudian mengetahui bahwa orang lain pun seperti dirinya, tidak mandiri, butuh dan bergantung kepada Wujud Yang Mahakaya dan Mahamerdeka. Kemudian, dia mengetahui bahwa Pencipta manusia dan alam ini adalah Wujud Yang Mahamerdeka, Mahakaya dan Mahamandiri, dan sekaligus mengakui keberadaan-Nya.
Seluruh manusia dapat memiliki ilmu dan pemahaman yang seperti ini. Adapun mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan dengan lidahnya, berarti mereka telah berpaling dari fitrah mencari Tuhan yang ada dalam dirinya dan meletakkan tirai di atas fitrahnya itu.
Dengan demikian, fitrah mencari Tuhan dapat dijelaskan dengan insting mencari sebab, yang bersumber dari ilmu hudhûri tentang diri manusia. Begitu juga ayat-ayat dan hadis-hadis tentang alam dzur pengambilan janji dapat dijelaskan dengan makna ini. (*Tokoh Pendidikan Islam)