Search
Search
Search
Close this search box.

Penyalahguna Narkotika, Dipenjara atau Direhabilitasi?

Listen to this article

Oleh: Mansyur*

Perkembangan konvensi pengaturan masalah narkotika secara internasional telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Setelah itu muncul berbagai konvensi lain yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau The International Opium Convention of 1925, The Convention of the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, The Single Convention on Narcotic Drugs 1961, The Psychotropic Substances Convention 1971, dan Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988.

Konvensi-konvensi internasional tentang narkotika tersebut telah memberikan perubahan, baik tentang tujuan maupun lingkup masalah obat-obatan berbahaya. Sebagai suatu perangkat hukum internasional, konvensi mengatur kerja sama internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan narkotika, serta pemberantasan penyalahgunaan, yang hanya dibatasi pada penggunaan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Narkotika bersifat adiktif, yakni menimbulkan ketagihan serta ketergantungan. Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus-menerus yang berakhir dengan kematian akibat over-dosis.

Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran narkotika, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.

Kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Tindak pidana narkotika seperti penyalahgunaan narkotika dalam kajian kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Penggolongan ini merujuk pada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan namun keduanya merasa tidak menderita kerugian atas pihak lain.

Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan narkotika tersebut, baik karena anjuran teman maupun rasa ingin mencoba.

Pengguna narkotika dapat dimasukkan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika. Hal ini karena mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram (narkotika) tersebut. Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri pemakai, juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, karena untuk dapat memenuhi hasratnya mendapatkan narkotika, maka pemakainya berpotensi menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang-orang yang tidak berpenghasilan cukup, dia akan berupaya untuk melakukan perbuatan terlarang lainya, seperti mencuri, membegal, serta melakukan tindakan kriminal lainnya.

Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pengguna narkotika sebagai korban, bukan sebagai pelaku kejahahatan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang salah satunya adalah untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika, terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang-Undang Narkotika. Dengan tujuan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut, maka undang-undang itu mencantumkan hukuman berupa rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika. Pencantuman ini dimaksudkan agar korban penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi, bukan hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan.

Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban, yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu, memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.

Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan tersebut, maka hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini diatur dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009.

Mengapa Harus Rehabilitasi?

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Namun, Lawrence M Friedman mengatakan, faktor yang menentukan penegakan hukum adalah komponen substansi, struktur, dan kultur hukum.

Masalah penegakan hukum bukan masalah yang sederhana. Ini bukan karena kompleksitas sistem hukum, tetapi juga karena rumitnya hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, ekonomi dan kultur masyarakat.

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita hukum yang cukup abstrak, yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum tentu memuat nilai keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus diwujudkan dalam kehidupan yang nyata oleh negara lewat institusi-institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan advokat.

Soerjono Soekanto menjelaskan, penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan antara nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan sikap tindak sebagai nilai akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Sanksi merupakan aktualisasi dari kaidah-kaidah hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancamaan atau sebagai harapan. Sanksi akan dapat memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosial.

Sementara itu, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyebutkan, sanksi pidana lebih bersifat pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif dan juga perbaikan terhadap pelaku perbuatan tersebut.

Pidana dan tindakan (maatregel) termasuk sanksi dalam hukum pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selain menekankan sanksi pidana penjara, juga mewajibkan untuk memberikan sanksi pidana tindakan yang berupa rehabilitasi, baik rehabilitasi sosial maupun rehabilitasi medis.

Ketentuan tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa terhadap penyalahguna narkotika wajib direhabilitasi. Mengenai prosedur tetap dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan atau telah mendapatkan penetapan/putusan pengadilan.

Dilihat dari peraturan pemerintah, maka penyalahgunaan narkotika cukup direhabilitasi. Namun, ketika dilihat pelaksanaan terhadap perintah untuk menegakkan norma-norma dalam berbagai peraturan tersebut, saya merasa tak berlebihan mengatakan, pelaksanaan aturan tersebut masih jauh dari harapan. Terbukti, masih banyak penyalahguna narkotika yang diberi sanksi pidana penjara.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sekalipun substansi hukum sudah baik, belum tentu dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan fungsinya, karena dibutuhkan struktur penegak hukum yang andal dalam menjalankan substansi hukum tersebut, di samping budaya hukum juga harus diperhatikan.

Dalam menangani penyalahguna narkotika, aparat penegak hukum harus berorientasi pada sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54, Pasal 55, Pasal 103 dan Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sehingga pasal-pasal ini tidak menjadi pajangan semata dalam peraturan perundang-umdangan di Indonesia. (*Dosen Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisement

BERITA TERKAIT

Advertisement
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA