BERITAALTERNATIF.COM – Ketika pintu sel dibuka, saya melihat situasi yang tidak biasa di koridor penjara: gerakan orang mondar-mandir yang tidak biasa saya dengar pada jam-jam seperti itu. Kemudian gerakan berlanjut setelah pintu ditutup, terdengar suara pintu sel dibuka dan ditutup.
Ketika saya mau memfokuskan pendengaran saya, tiba-tiba terdengar suara-suara rintihan dan jeritan yang muncul dari jauh, yang menandakan bahwa seseorang sedang disiksa dengan siksaan yang sangat keras.
Setelah beberapa saat, saya mendengar suara seorang lelaki dibawa ke dalam selnya sambil mengerang kesakitan. Saya mencoba untuk melihat melalui celah di pintu. Maka mata saya tertuju pada seorang lelaki tua yang saya kenal sedang dibopong oleh polisi dengan janggutnya telah dicukur. Ia disiksa sampai tidak bisa berjalan dengan kedua kakinya.
Beberapa saat kemudian seseorang membuka pintu sel saya dan berkata, “Anda fulan? Ikutlah bersama saya!” Saya mengikutinya ke gudang tersebut lalu ke dalam sebuah ruangan yang terletak di salah satu sudutnya. Saya masuk ke dalam ruangan itu dan di sana sudah ada enam atau tujuh orang.
Saya tidak bisa mengenali mereka karena saya tidak memakai kacamata. Saya merasakan akan ada bahaya. Karena kebiasaan atau naluri, saya memulai serangan verbal. Saya keberatan dengan pengambilan kacamata saya, “Mengapa Anda mengambil kacamata saya? Saya tidak bisa melihat tanpa kacamata.”
Saat saya mengeraskan suara sebagai protes, salah seorang dari mereka menghampiri saya. Ketika dia mendekat, saya tahu bahwa dia adalah orang yang pernah menginterogasi saya di penjara sebelumnya, dan dia yang menulis laporan saya ke pengadilan—dia kemudian dibunuh oleh massa sebelum kemenangan Revolusi Islam.
Saya telah merendahkannya di pengadilan tanpa menyebutkan namanya dan menyerangnya. Pada waktu itu, saya mengatakan, “Penulis laporan itu orang bodoh!” Dia mendekati saya dan berkata dengan nada mengejek dan marah, “Apakah menurut Anda ini adalah pengadilan yang membolehkan Anda berbicara seperti ini?”
Kemudian dia mulai mengucapkan suara-suara keras yang mengejek saya dengan sinis dan menghina. Dia memberikan pukulan pertama di wajah saya. Saya bergeming, tapi dia meneruskannya dengan pukulan kedua. Saya pun terjatuh. Saya jatuh ke atas ranjang yang ada di sisi ruangan. Saya ingin bangun, tetapi seseorang berkata, “Tetap di tempat Anda!” Saya jatuh di tempat yang tepat, dan saya tahu itu adalah ranjang penyiksaan.
Mereka mengikat kaki saya ke ranjang itu. Salah seorang dari mereka mengambil sebuah tongkat dari tongkat-tongkat yang tergantung di dinding, yang ukurannya berbeda-beda. Ada yang seukuran satu jari, dua jari atau lebih. Dia memukuli kaki saya dan terus memukulinya sampai dia lelah. Lalu orang kedua mengambil cambuk itu dan mulai memukuli hingga lelah. Lalu giliran orang ketiga dan seterusnya.
Mereka semua punya kesempatan untuk beristirahat, tetapi saya tidak. Mereka tidak mengizinkan saya beristirahat sedikit pun. Dalam kasus yang tidak bisa diungkapkan ini, saya kagum dengan kebencian beberapa dari mereka. Tugas mereka adalah mengangkat cambuk dan memukuli saya. Ini biasa. Tugas mereka adalah memukuli saya sampai saya pingsan di depan mereka. Maka wajar saja kalau mereka terus memukuli saya.
Tetapi seseorang dari mereka menunjukkan kebencian yang luar biasa, sehingga dia memegang cambuk dengan satu tangannya lalu dia menarik ikat pinggangnya dari belakang punggungnya dengan tangannya yang lain dan meregangkan keduanya, lalu memukulkannya ke tubuh saya sehingga dia dapat melampiaskan kemarahannya.
Selama saya dipukuli, seseorang datang di arah kepala saya dan meminta saya untuk menyatakan berlepas diri dari ini dan itu, atau dari kebangkitan Islam. Saya menyatakan penolakan saya dan mereka terus memukuli saya sampai saya jatuh pingsan.
Selama pengalaman yang pahit ini, saya tahu bahwa pukulan ke telapak kaki adalah bentuk penyiksaan yang paling keras karena sakitnya bisa bertahan selama berjam-jam sebelum seseorang jatuh pingsan. Kemudian pukulan itu sangat mempengaruhi saraf. Saya mendengar bahwa para penyidik itu telah mengikuti kursus penyiksaan di bawah pengawasan ahli dari Israel. Karena itulah mengapa mereka profesional dalam mengorek pengakuan dan terampil dalam pekerjaan mereka.
Sangat menarik bahwa sebelum saya menjalani pengalaman pertama penyiksaan fisik ini, saya biasa berbicara dengan teman-teman dalam majelis-majelis khusus kami tentang metode penyiksaan dan cara menghadapi mereka dan tentang mogok makan di penjara.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah berkata, “Mogok makan saya tidak berlangsung lama, dan penyiksaan saya juga tidak berlangsung lama.” Karena jika saya mogok makan, saya akan cepat jatuh sakit karena perut saya lemah, dan saya akan dipindahkan dari penjara ke rumah sakit, sehingga pemogokan akan segera berhasil. Juga, penyiksaan pada saya tidak berlangsung lama karena tubuh saya lemah dan segera saya pingsan dan penyiksaan itu berhenti.
Salah seorang anggota majelis bergegas menghampiri saya dan memberi isyarat dengan gerakan tangannya, menyatakan bahwa segelas air akan dipercikkan ke wajah saya dan saya akan siuman.
Dalam pengalaman pertama penyiksaan fisik ini, saya mengalami sendiri apa yang dikatakan teman itu. Saya merasa akan pingsan dan pada saat inilah saya merasa sudah berpindah dari dunia ini ke dunia lain. Namun tiba-tiba saya dikejutkan oleh salah seorang penyiksa yang membawa secangkir air di tangannya untuk disiramkan ke wajah saya. Begitu saya bangun, sisanya disiramkan ke kaki saya agar akibat pukulannya terasa lebih menyakitkan. (*)
Sumber: Memoar Imam Ali Khamenei, Catatan di Balik Penjara