Oleh: Supardi*
Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan wilayah yang memiliki berbagai macam sumber daya alam, baik yang bisa diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Di samping itu, masyarakat Kukar terdiri dari berbagai macam suku. Suku dan budaya tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Penghormatan ini juga mesti diterima masyarakat adat yang berada di Kelurahan Jahab, Kecamatan Tenggarong. Mereka memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan, penegakan, pemajuan, dan pemenuhan HAM.
Hak-hak tradisional masyarakat adat di antaranya hak atas wilayah adat, hak atas sumber daya alam, hak atas pembangunan, hak atas spiritualitas dan kebudayaan, dan hak atas lingkungan hidup. Hak-hak tersebut merupakan hak yang wajib dimiliki mereka sebagai bagian dari warga negara (masyarakat).
Masyarakat adat sejak puluhan tahun lalu telah mengelola sumber daya alam untuk kehidupan mereka sehari-hari, sehingga masyarakat tidak dapat dilepaskan dari hak atas wilayah adat yang telah mereka kuasai dan kelola secara turun-temurun.
Perlindungan terhadap masyarakat adat juga diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemkab Kukar untuk melindungi masyarakat adat, di antaranya menjaga kelestarian kearifan lokal, melindungi hak kebudayaan dan ekspresi budaya, memberikan fasilitas dan pelayanan yang sama, meningkatkan pendidikan, mendorong dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi. Dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, partisipasi masyarakat adat sangat penting. Partisipasi yang ideal adalah partisipasi penuh dan efektif dalam pembangunan sehingga keberadaan masyarakat adat tetap dinilai sangat penting.
Menyikapi sengketa lahan masyarakat adat dengan PT Budi Duta Agromakmur (BDA) belakangan ini, seharusnya pihak perusahaan membuka ruang-ruang diskusi dengan masyarakat adat, karena suka tidak suka masyarakat adat memiliki nilai historis dengan wilayah yang didiami atau dikelola mereka sehingga masyarakat adat yang tinggal di wilayah adat tersebut sulit untuk dipisahkan apalagi hak-hak terhadap tanah maupun hak-hak atas tanam tumbuh yang telah mereka kelola bertahun-tahun diabaikan.
Seyogianya kehadiran perusahaan bisa menyejahterahkan masyarakat sekitar maupun masyarakat adat. Jika perusahaan tidak memiliki niat menyejahterahkan masyarakat dan hanya mengambil keuntungan semata-mata tanpa memperhatikan hak masyarakat maka keberadaan perusahaan seperti itu perlu dipertanyakan.
Perusahaan yang baik, selain memperoleh keuntungan untuk kegiatan usahanya, juga hadir untuk kesejahteraan serta manfaat bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat adat.
Apabila perusahaan tidak memiliki banyak manfaat bagi masyarakat maka sebaiknya negara dalam hal ini Pemkab Kukar meninjau ulang keberadaan PT BDA karena tujuan akhir pengeloaan sumber daya alam adalah memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat adat.
Seharusnya perusahaan mengedepankan dialog untuk mencari win-win solution atas masalah tersebut, karena masyakat sekitar mengalami dampak langsung maupun tidak langsung, baik dari segi lingkungan maupun ekonomi, menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama masyarakat sekitar.
Terkait dugaan pencaplokan lahan masyarakat adat di Kelurahan Jahab, sebaiknya pihak perusahaan mengutamakan langkah-langkah persuasif dengan tidak menggunakan alat negara—dalam hal ini TNI dan Polri.
Selain itu, masyarakat adat yang terkena dampak atas aktivitas PT BDA dapat mengadukan kasus tersebut kepada Pemkab Kukar dan DPRD Kukar agar mereka dapat mencari solusi dan titik temu dari kedua belah pihak.
Pemkab Kukar dan DPRD Kukar memiliki hak untuk memanggil para pihak. Jika perlu, dapat dibentuk tim investigasi yang terdiri dari perwakilan para pihak sehingga akan terurai permasalahan-permasalahan tersebut.
PT BDA juga harus proaktif mengikuti tahapan penyelesaian kasus tersebut. Bila memungkinkan, lahan masyarakat tersebut diberikan kompensasi atas tanam tumbuh yang telah mereka lakukan karena PT BDA juga pernah melakukan kerjasama penggunaan lahan dengan PT MHU.
Karena itu, perusahaan tak semata-mata keuntungan yang besar yang didapatkannya. Perusahaan lain yang memiliki lahan tersebut bisa dikerjasamakan dengan memperoleh kompensasi yang besar, masa dengan masyarakat sekitar (adat) tidak dihiraukan; malah terindikasi digusur tanpa diberikan ganti rugi atau kompensasi apa pun sehingga ujung-ujung masyarakat yang dirugikan? Ini yang harus menjadi catatan penting.
Terakhir, semoga Pemkab Kukar dan DPRD Kukar dapat memfasilitasi hal ini agar ada solusi terbaik bagi masyarakat adat sehingga masalah ini tidak berlarut-larut, yang pada akhirnya kembali merugikan masyarakat.
Tim investigasi dari perwakilan para pihak perlu dibentuk untuk mengurai permasalahan lahan tersebut, terutama bagaimana awal perolehan izin lokasi PT BDA. Kemudian, seperti apa IUP kebunnya? Karena sebelum HGU terbit, PT BDA memiliki kewajiban menyelesaikan lahan yang akan diperolehnya, baik dengan kerja sama maupun dengan ganti rugi lahan dengan masyarakat, termasuk kodisi yang terjadi saat panitia dari BPN turun ke lapangan, sehingga semua akan terurai dengan baik.
Jika tidak salah, lahan HGU ini terbit berdasarkan pemalsuan yang dilakukan oleh oknum BPN, yang kemudian terjerat tindak pidana akibat pemalsuan penerbitan HGU PT BDA tersebut.
Sekali lagi, peran Pemkab Kukar dan DPRD Kukar sangat diperlukan karena mereka selaku pemegang kebijakan yang dapat menguraikan dan menyelesaikan masalah ini.
Bila tidak ada titik temu, maka dapat melalui pengadilan tata usaha negara untuk pembatalan HGU PT BDA. Langkah hukum juga bisa melalui Pengadilan Negeri Tenggarong, khususnya terkait perbuatan melawan hukum karena perusahaan tersebut terindikasi melakukan kerusakan lingkungan dan lahan masyarakat yang terdampak akibat kegiatan PT BDA.
Sebab, lingkungan yang layak merupakan hak semua warga negara sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. (*Pemerhati Lingkungan Kaltim)