Search
Search
Close this search box.

Empat Faktor yang Memicu Perang Berkepanjangan di Suriah

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Perang Suriah ini perang politik atau perang antar-mazhab? Mengapa Assad yang selama ini anti-Israel kini diperangi oleh mereka yang juga anti-Israel dan menginginkan kemerdekaan Palestina? Siapa sebenarnya musuh umat Islam, Assad atau Israel, ataukah keduanya? Benarkah ada jihad di Suriah?

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul seputar konflik di Suriah. Ibarat menyusun puzzle, inilah puzzle yang sekilas terlihat rumit, posisi masing-masing kepingannya sulit diidentifikasi. Namun bila diuraikan satu per satu, semua itu bisa terjelaskan.

Bila kita menggunakan teori Resolusi Konflik, dalam menganalisis setiap konflik, kita perlu melihat petanya secara luas. Bayangkan jika Anda hendak meneliti konflik di Sampang, Madura (rumah-rumah penduduk di sebuah desa dibakar massa dan hartanya dijarah pada Desember 2012). Anda bisa membuka peta dan hanya memusatkan mata Anda pada wilayah Sampang (dan semata-mata memusatkan perhatian pada informasi bahwa konflik kekerasan muncul akibat adanya dua kelompok warga yang berbeda mazhab). Tetapi, Anda juga memperlebar fokus. Anda bisa memandang peta Indonesia dan dunia secara keseluruhan, dan mempertimbangkan faktor kekayaan minyak di Madura dan banyaknya perusahaan asing yang terlibat di sana. Atau, Anda mempertimbangkan faktor Jakarta dan kepentingan partai-partai politik. Atau, Anda mempertimbangkan sejarah panjang tentang sektarianisme dan keterlibatan negara-negara di kawasan Teluk. Dan seterusnya.

Advertisements

Minimalnya ada empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggers (pemicu), pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin), dan aggravating (faktor yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Untuk menyelesaikan konflik, para mediator harus mempertimbangkan keempat faktor ini, tidak bisa hanya mencoba menyelesaikan di salah satunya saja.

Artinya, jika kita semata-mata memandang dan melihat konflik Suriah hanya pada fakta bahwa Assad itu berasal sekte Alawy dan ‘musuh’-nya berasal dari mazhab Sunni; sama halnya dengan memfokuskan pandangan pada satu titik kecil di peta dan melupakan wilayah-wilayah lain di peta yang mungkin lebih berpengaruh.

Dalam pengamatan penulis, faktor mazhab di Suriah adalah triggers atau pemicu. Pemicu konflik adalah ibarat pistol yang tidak akan meletus jika tidak ada yang menarik pelatuknya. Berusaha menyelesaikan konflik dengan mencari jawaban pertanyaan ‘siapa yang menarik pelatuknya’ tidak akan mencapai hasil. Misalnya, dengan mempertanyakan, siapa yang salah: rezim Assad yang diktator atau kelompok oposisi yang angkat senjata sehingga pemerintah pun harus menghadapinya dengan senjata? Atau, apakah karena sekte Alawy itu dipandang sesat maka wajib diperangi? Lalu, bagaimana dengan kaum muslimin yang hidup di negara non-muslim, apakah wajib juga memerangi pemimpin yang kafir? Bisa dibayangkan, pertanyaan teologis seperti ini hanya akan menimbulkan perdebatan teologis yang tidak ada ujungnya dan bahkan mungkin akan memperuncing konflik.

Jadi, dalam menganalisisnya, para mediator konflik dan para pengamat biasa seperti kita—rakyat Indonesia yang sedang mengamatinya dari jauh—perlu mencari akar konflik yang sebenarnya. Untuk mendapatkannya, fokus dalam menatap konflik ini harus diperluas. Kita perlu melihat lagi, siapa pihak-pihak yang memperuncing konflik (misalnya, para penjual senjata atau para makelar perang), siapa tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik (misalnya, mengapa pemimpin AS, Prancis, Inggris, Turki, Arab Saudi, Qatar sedemikian mendukung pemberontakan bersenjata dan menolak cara-cara negosiasi? Mengapa pemimpin Rusia, China, dan Iran mengambil posisi sebaliknya?), siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar bila Assad tumbang? Dan seterusnya.

Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkan satu per satu faktor konflik tersebut, meski tidak dalam struktur tulisan akademis. Semoga, dengan pemaparan yang bergaya feature, membaca buku ini bisa terasa lebih ringan. Dan yang terpenting, penulis berharap melalui buku ini kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari konflik Suriah. Indonesia adalah negeri yang sangat kaya sumber alam dan pada saat yang sama, memiliki penduduk yang sangat beragam etnis, agama, dan mazhab. Potensi konflik di Indonesia sangat besar, terutama karena banyaknya pihak yang akan mengambil keuntungan ketika bangsa ini disibukkan oleh konflik internal. Insyaallah, kejelian dan kecerdasan kita dalam mencermati konflik akan menghindarkan bangsa Indonesia dari perang saudara atau konflik yang tak perlu. Amin ya Rabbal Alamiin. (*)

Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Prahara Suriah

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA