BERITAALTERNATIF.COM – Tulisan ini kembali bercerita tentang bulan Desember yang dingin. Tapi ini adalah Desember tahun 2011, ketika media-media alternatif mulai menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashar Al Assad, Presiden Suriah. Tentara AS yang konon sudah ditarik pulang dari Irak, ternyata justru dipindahkan ke Yordania, tepatnya ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan lain menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa bukan Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan Al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Suriah. Menurut Global Research, disinyalir, tentara-tentara asing itu adalah serdadu NATO. Tentu saja, berita ini tidak ditemukan di media-media mainstream. Media-media yang dikuasai sepenuhnya oleh Barat itu sibuk memberitakan secara masif dan sistematis sebuah narasi besar tentang “rakyat Suriah yang melakukan demo besar-besaran menuntut mundurnya Assad dan demo ini dihadapi dengan represif oleh rezim”.
Al Mafraq adalah nama daerah perbatasan di Yordania. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Suriah. Wilayah ini di masa lalu menyimpan jejak konspirasi yang dijalin oleh Yordania, Inggris, dan Israel guna menggulingkan pemerintahan di Suriah pada tahun 1960-an. Saat itu, Salim Hatoom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta terhadap Presiden Suriah Nureddin Al Atassi, melarikan diri ke Yordania dan mendirikan kamp militer di Al Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai ‘karir’ sebagai pemberontak terhadap pemerintah Suriah.
Pada tahun 1982, Ikhwanul Muslimin Suriah dan sayap militernya, Al Taleeah Al Islamiyyah Al Muqatilah, melakukan pola-pola yang sama dengan Hatoom: dilatih oleh militer Yordania dan intelijen Israel, mendapat dukungan dana dan senjata dari Barat, lalu turun ke jalanan untuk melakukan kekacauan, merusak fasilitas umum, bahkan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain ialah menciptakan destabilisasi politik dalam negara.
Gerakan pemberontakan bersenjata itu berpusat di Hama, dan presiden Suriah saat itu, Hafez Al Assad, menyerbu kota itu dan sangat banyak pemberontak yang tewas dalam serbuan itu. Dr. Tim Anderson dengan mengutip buku Patrick Seale (1988) Asad: the struggle for the Middle East menceritakan kronologi pemberontakan Hama, di mana banyak senjata buatan AS ditemukan. Jumlah korban pun masih simpang siur hingga kini, hanya ada klaim-klaim. Klaim dari pihak Ikhwanul Muslimin tentu saja jauh lebih besar daripada angka korban yang diakui pihak pemerintah.
Mulai tahun 2011, sejarah Suriah kembali berulang. Banyak serdadu Suriah yang melarikan diri dan ditampung di kamp militer di sebelah barat kota Salt, Yordania. Mereka kemudian diinvestigasi oleh intelijen militer Israel di bawah pengawasan intelijen Yordania. Tujuannya adalah untuk mengorek informasi terkait kekuatan militer Suriah pasca tahun 2006 (perang Israel-Hizbullah).
Situs Al Watan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat negara-negara Barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan pembangunan stasiun mata-mata elektronik di dekat perbatasan Suriah di utara Yordania, dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Suriah dan mengontak pejabat-pejabat tinggi Suriah agar mereka mau melakukan kudeta terhadap Bashar Al Assad.
Sementara itu, di Turki, modus serupa juga tengah terjadi. Press TV merilis laporan terkait adanya indikasi kekuatan oposisi Suriah yang sedang menjalani latihan militer di kota Hakkari, Turki, di bawah panduan NATO dan tentara AS. Bahkan, menurut koran Miliyet, Turki, sejak Mei lalu, 15.000 tentara Suriah telah membelot dan bergabung dengan Free Syria Army (Tentara Pembebasan Suriah), yang dipimpin oleh kolonel Suriah, Riad Al Assad. Mereka berlindung di pangkalan militer AS di Incirlik, Turki.
Saat itu, Desember 2011, segalanya masih samar-samar. Media mainstream menutup rapat-rapat skenario penggulingan Bashar Al Assad, sementara media-media alternatif baru bisa menyampaikan indikasi-indikasi.
Semua Berawal di Daraa
Skenario itu sebenarnya telah mulai dimainkan sejak Maret 2011 di Daraa, sebuah kota kecil di perbatasan Suriah-Yordania. Ketika itu, tiba-tiba saja, orang-orang berdemonstrasi dengan alasan ada remaja yang dipenjara karena membuat grafiti anti pemerintah di dinding-dinding kota. Jurnalis Suriah, Steven Sahiounie, mengisahkan kejadian yang sebenarnya di Daraa.
Menurutnya, Daraa penuh dengan aktivitas dan ‘pengunjung’ dari luar negeri jauh hari sebelum pertempuran bersenjata dimulai. Para ‘mujahidin’ Libya yang selesai menjalankan misinya menggulingkan Qaddafi berdatangan ke kota ini. Orang-orang asing ini membaur bersama penduduk lokal. Pemain lain dalam drama revolusi ini adalah aktivis Ikhwanul Muslimin dan warga lokal pengikut aliran Wahabisme.
“Orang-orang lokal inilah yang nantinya maju di ‘garis depan’. Agen CIA yang bertanggungjawab dalam operasi Daraa menjalankan strateginya dari kantor mereka di Yordania. Mereka telah menyediakan senjata dan uang yang diperlukan untuk membakar ‘revolusi’ di Suriah. Dengan senjata dan uang yang cukup, Anda bisa membakar ‘revolusi’ di mana saja di dunia. Realitasnya, demonstrasi di Daraa pada Maret 2011 tidak dipicu dari tulisan grafiti yang dibuat oleh para remaja, dan sebenarnya tak ada barisan orang tua yang marah menuntut anak mereka dibebaskan. Para petempur Libya telah menumpuk persenjataan di masjid Omari jauh hari sebelum rumor mengenai remaja pembuat grafiti ditangkap pemerintah mulai beredar,” tulis Sahiounie.
“Daraa adalah kota pertanian kecil. Ia memiliki nilai sejarah yang penting karena reruntuhan arkeologis di situ. Namun, selainnya, Daraa tak punya potensi untuk memulai kebangkitan nasional. Mudahnya mengangkut senjata dari Yordania ke Daraa membuatnya menjadi lokasi yang tepat untuk memicu revolusi. Orang dengan akal sehat tentunya akan mengira revolusi di Suriah akan berawal di Damaskus atau Aleppo. Faktanya, bahkan hingga di tahun kedua krisis, warga Aleppo tak pernah berpartisipasi dalam demonstrasi, atau meminta Assad untuk mundur. Warga Aleppo tak mau ikut serta dalam misi CIA, dan dengan menolak berpartisipasi, mereka mengira kekerasan yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya,” lanjutnya.
Meskipun di Aleppo tak pernah diberitakan adanya demonstrasi, akan tetapi serbuan milisi bersenjata diawali di kota ini. Aleppo adalah kota yang berada dekat perbatasan Suriah-Turki. Kota ini pada Juli 2012 diserbu oleh milisi bersenjata di bawah bendera Free Syria Army (FSA). Penguasaan atas kota ini sangat penting sebagai langkah awal untuk menguasai ibu kota, Damaskus. Karena berbatasan dengan Turki, Aleppo sangat strategis sebagai pintu masuk suplai senjata, logistik, dan milisi ke Suriah.
Pemimpin Turki, Erdogan, merupakan salah satu sponsor utama agenda penggulingan Assad. Padahal, hanya setahun sebelum krisis Suriah meledak, Erdogan dan Assad bertemu dengan penuh canda dan kehangatan, saling berjanji untuk membangun sebuah bendungan di sungai Orontes. Bendungan itu bahkan dinamai ‘Bendungan Persahabatan’.
Serbuan ke Aleppo tidak hanya dilakukan oleh milisi FSA yang sering disebut ‘pemberontak moderat’ oleh media Barat, melainkan juga kelompok-kelompok ‘jihad’, misalnya Jabhah Al Nusra, Ahral Al Sham, Asifet Al Shamal, Jaish Al Muhajireen Wa Al Ansar, dan lain-lain. Lalu, pada April 2013, Al Baghdadi mendeklarasikan ISIS yang menggabungkan Al Qaida Suriah (alias Jabhah Al Nusra) dengan Al Qaida Irak, dengan target ‘perjuangan’ mendirikan ‘Negara Islam Irak dan Suriah’. Sebagian pendukung Al Nusra menolak bergabung dengan ISIS. Di antara kedua milisi yang sama-sama mengaku sedang membela agama Allah ini pun terjadi saling bunuh di lapangan.
Aleppo pun Terbelah Dua
Berbagai faksi milisi bersenjata melancarkan serangan bom, mortir, dan aksi bom bunuh diri di Aleppo agar dapat menguasai kota itu. Target utama serangan mereka antara lain airport, kantor-kantor polisi, akademi polisi, gudang penyimpanan senjata militer. Tentara Suriah, tentu saja, melawannya dan berupaya keras mempertahankan kota. Apalagi yang harus dilakukan oleh tentara sebuah negara ketika menyaksikan negaranya sedang diruntuhkan? Maka, pertempuran pun pecah di berbagai kawasan.
Kehidupan di Aleppo menjadi sangat sulit dan berbahaya. Orang-orang bisa mati ditembak sniper hanya karena hendak membeli makanan di pasar atau berangkat ke kantor. Harga-harga pangan meroket. Roti yang biasanya sangat murah karena disubsidi pemerintah, meningkat lima kali lipat dan untuk mendapatkannya, orang-orang harus mengantre berjam-jam di toko pembuatan roti. Bom-bom bunuh diri juga terjadi setiap saat, merenggut nyawa warga sipil.
Hingga September 2013, milisi bersenjata berada di atas angin. Mereka menguasai kawasan yang luas di utara dan memberlakukan syariah Islam di sana. Mereka mendapatkan dukungan penuh dari media massa internasional. Sementara itu, tentara Suriah berjuang dalam sunyi dan menjadi korban ‘pembunuhan karakter’. Mereka disebut melakukan genosida, memperkosa, menyerang dengan senjata kimia, dan berbagai aksi keji lainnya.
Ya, memang tak mungkin disangkal bahwa ada warga sipil yang menjadi korban dalam setiap pertempuran. Siapa yang salah? Tentara Suriah dan Presiden Assad, kata media mainstream. Akan tetapi, jika kemudian terbukti bahwa tentara AS yang melakukannya (misalnya ketika AS menjatuhkan bom menggempur markas ISIS dan ada warga sipil yang menjadi korban), media akan memaafkannya dengan menggunakan istilah collateral damage (akibat yang tidak terelakkan dalam sebuah serangan militer).
Mulai September 2013, tentara Suriah kembali berusaha merebut Aleppo dengan dukungan dari Hizbullah dan milisi dari Irak. Di saat yang sama, kelompok milisi bersenjata yang semakin banyak di Aleppo pun saling berselisih. Tentara Suriah akhirnya berhasil mengambil alih 80% wilayah Aleppo, sementara milisi bersenjata tetap bercokol di Aleppo timur.
Dengan demikian, Aleppo terbagi dua: timur dan barat. Warga kota Aleppo terpisah selama hampir lima tahun akibat perang. Banyak warga yang tinggal di barat tidak bisa lagi menemui kerabat mereka yang terjebak di timur. Milisi bersenjata menahan warga sipil di timur. Mereka tidak boleh pergi ke barat. Perlu segera ditambahkan bahwa penduduk sipil di timur Aleppo ini terbagi dua: warga asli Aleppo dan warga sipil anggota keluarga para milisi (istri dan anak). Dan perlu dicatat bahwa sebagian besar milisi bersenjata dan keluarganya adalah orang asing, datang dari 100-an negara di dunia.
Saat Aleppo timur berhasil dikuasai kembali oleh tentara Suriah pada Desember 2016, menurut UNHCR, sebanyak 36.000 orang [milisi bersenjata, keluarga mereka, dan warga sipil yang pro-milisi] pindah ke Idlib [wilayah yang masih dikuasai oleh milisi bersenjata], dan 95.000 tetap di Aleppo. Sedangkan, total warga Aleppo barat adalah 1,5 juta. Perbandingan angka ini menjadi penting untuk mengamati kisah Aleppo selanjutnya.
Beginilah kisah Aleppo bermula. Kota tertua di dunia ini sepanjang sejarahnya telah mengalami berbagai intrik dan keculasan para angkara murka, dan kini harus mengalami kembali kisah pilu. Kisah itu terus berlanjut selama tahun-tahun penguasaan milisi bersenjata atas Aleppo. Banyak kisah yang baru terungkap setelah milisi bersenjata itu mulai terdesak dan akhirnya angkat kaki dari Aleppo. Kita simak satu per satu. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)