Beritaalternatif.com – Dalam bukunya yang berjudul Destroying Yemen, Isa Blumi, yang merupakan sejarawan dan dosen di Swedia, mengungkapkan bahwa pada tahun 2014 utusan PBB untuk Yaman memaksa Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi menandatangani perjanjian perdamaian dan kemitraan dengan Ansarullah serta partai politik besar di Yaman.
Kesepakatan ini juga memuat penegasan agar pemilu di Yaman segera dilaksanakan. Lewat kesepakatan inilah Ansarullah mendapatkan dukungan dari sebagian besar penduduk Yaman.
Sebagai kekuatan besar bersenjata, Ansarullah mau duduk di bangku perundingan serta berbagi kekuasaan. Hal ini memunculkan simpati rakyat di negara tersebut.
Isa menjelaskan, kesepakatan yang akan mengarah pada pembagian kekuasaan itu tidak diinginkan oleh Arab Saudi. Padahal, rekonsiliasi berbagai faksi di Yaman berjalan dengan baik.
Sebaliknya, Saudi justru berupaya agar keadaan ini berbalik arah. Dalam artian, Saudi tidak menerima hasil rekonsiliasi tersebut.
Ia menyebutkan, meskipun Hadi pernah menjabat sebagai presiden selama 20 tahun, dia tak mendapatkan dukungan dari rakyat Yaman. Hadi menjadi presiden berkat dukungan dari koalisi partai politik yang didukung Saudi, Amerika Serikat (AS), dan faksi islamis Ikhwanul Muslimin.
Karena itu, kebijakan-kebijakan yang diambil Hadi selama memimpin Yaman melegitimasi kepentingan-kepentingan Saudi dan AS.
Pengamat politik Timur Tengah, Dina Sulaeman mengungkapkan, Hadi sejatinya tak dipilih rakyat, melainkan ditunjuk oleh Dewan Negara Teluk, yang saat itu memediasi transisi politik di Yaman.
Selama transisi politik, Hadi mengambil kebijakan yang bertumpu pada perekonomian liberal. Hal ini sejalan dengan permintaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Sejak memimpin Yaman, Hadi telah memberikan izin kepada Saudi dan Qatar untuk membeli aset-aset yang paling berharga milik Yaman. Kebijakan ini diambilnya atas saran dua lembaga keuangan dunia tersebut. Sebelumnya, saat Yaman dipimpin Presiden Ali Abdullah Saleh, kebijakan itu tidak pernah diambilnya.
Atas kondisi tersebut, Ansarullah tidak hanya menggulingkan pemerintahan Hadi yang didominasi kelompok islamis. Tetapi juga menyelamatkan aset-aset penting milik Yaman.
Langkah Ansarullah tersebut mendapat dukungan dari mayoritas rakyat Yaman. Mereka pun kerap menyuarakan penentangan terhadap AS, Saudi, dan sekutu-sekutunya.
Fakta ini tak dilihat atau bahkan ditutupi oleh orang-orang yang berseberangan dengan perjuangan Ansarullah. Padahal, mayoritas rakyat Yaman mendukung pemerintahan yang saat ini dipimpin faksi politik terbesar di Yaman tersebut.
Alih-alih melihat dukungan dan suara rakyat, Saudi terus membombardir Yaman. Tujuannya, rezim Saudi ingin mengembalikan pemerintahan Hadi, melindungi perdagangan global, dan memastikan langkah-langkah penghematan yang diminta IMF.
Dina menyebutkan, Isa juga mengkritik media-media yang memberi label manipulatif yang menyematkan Ansarullah sebagai suku Syiah yang memiliki hubungan dengan Iran.
Padahal, menurut Isa, Ansarullah adalah aliansi politik yang longgar dari berbagai kelompok yang mewakili masyarakat Yaman secara umum. “Hampir 80 persen penduduk Yaman saat ini hidup di bawah otoritas kelompok ini,” jelasnya sebagaimana dikutip beritaalternatif.com di kanal YouTube pribadinya, Sabtu (21/5/2022) petang.
Dina juga mengutip artikel yang ditulis oleh mantan diplomat PBB untuk Yaman, Jamal Benomar. Menurutnya, pembagian kekuasaan (power sharing) adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik di Yaman jika AS mendukungnya.
“Jadi, aktor yang paling kuat dalam konflik ini adalah Amerika Serikat. Kalau Amerika Serikat mau, perang bisa selesai hari itu juga. Tapi Amerika tidak mau dan terus menyuruh Saudi dan Uni Emirat Arab untuk berperang,” jelas Dina.
“(AS) berharap rakyat Yaman akan tunduk dan menyerahkan pemerintahan kepada ‘boneka’ yang direstui oleh Amerika Serikat,” lanjutnya.
Benomar mengungkapkan, peta kekuatan di Yaman kian berubah dari waktu ke waktu. Kekuatan Ansarullah semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Kata dia, apabila AS menginginkan perubahan pemerintahan, maka Paman Sam tidak bisa menyerahkannya begitu saja kepada Hadi.
“Benomar mengatakan, satu-satunya jalan menyelesaikan konflik di Yaman adalah power sharing,” jelas Dina.
Ketika terjadi pembagian kekuasaan, setiap faksi di Yaman akan mendapatkan jatah menteri sesuai porsi kekuatan mereka. Bila Ansarullah menerima jatah menteri lebih banyak dari faksi-faksi lainnya, maka hal itu tergolong wajar.
“Tetapi yang diminta Amerika Serikat adalah sama sekali tidak ada faksi Ansarullah dalam pemerintahan baru. Padahal pada awal 2015, semua faksi sudah bersepakat melakukan power sharing, termasuk Ansarullah,” bebernya.
“Tetapi Saudi yang menghentikan prosesnya dengan membombardir Yaman. Pemaksaan kehendak oleh Saudi dan Amerika Serikat ini membuktikan satu hal penting. Mereka tidak mau konflik berakhir. Mereka ingin menghancurkan Yaman sehancur-hancurnya,” lanjut Dina.
Kata Dina, Iran kerap disebut-sebut sebagai aktor kuat dalam konflik Yaman. Saudi dan AS pun berusaha menutupi kejahatan perang mereka dengan menyudutkan Iran.
Selama ini, sejumlah media kerap membingkai konflik di Yaman dengan menyebut Ansarullah adalah faksi yang didukung Iran. Mantan Presiden AS, Donald Trump, bahkan menetapkan Ansarullah sebagai kelompok teroris.
“Opini publik yang ingin dibangun adalah Iran dan Houthi dua-duanya teroris. Karena itu, Saudi membombardir Yaman dan menciptakan krisis kemanusiaan di sana,” terangnya.
Dina membenarkan bahwa Iran memberikan dukungan politik kepada Ansarullah. Bahkan pemerintah Iran secara terbuka mengecam agresi militer Saudi dan koalisinya di Yaman.
Iran pun berkali-kali menyerukan kepada PBB agar mereka mengambil langkah nyata untuk menghentikan kejahatan perang yang dilakukan Saudi dan sekutunya.
Pada tahun 2015, Iran berusaha mengirimkan bantuan pangan menggunakan kapal ke Yaman. Namun, Saudi melarang kapal itu masuk negara tersebut karena dicurigai membawa senjata.
“Kemudian kapal itu diarahkan ke Djibouti. Kapal mendarat di pantai Djibouti. Lalu, muatan kapal itu dibongkar dengan diawasi PBB. Kemudian makanan-makanan itu akhirnya menurut PBB, biarlah PBB yang membagikannya pada rakyat Yaman,” beber Dina.
Hingga saat ini koalisi Saudi masih menghalangi bantuan pangan dan obat-obatan yang masuk ke Yaman, sehingga negara tersebut menghadapi krisis kemanusiaan terbesar di abad ini.
Bagi Iran, kata Dina, pembelaan terhadap rakyat tertindas di seluruh dunia merupakan doktrin kebijakan luar negeri Iran.
Setiap negara memiliki doktrin kebijakan luar negeri. Indonesia pun mempunyai doktrin yang mirip dengan Iran, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Ini tercantum di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dan atas doktrin inilah kita membela Palestina. Tapi, kalau untuk urusan Yaman, memang ada pertimbangan lain,” pungkasnya. (*)