BERITAALTERNATIF.COM – Praktisi hukum dari Kabupaten Kukar La Ode Ali Imran menguraikan perbedaan sanksi yang pernah diterima sejumlah calon komisioner KPU Kukar selama menjabat sebagai penyelenggara Pemilu.
Ia menjelaskan bahwa sanksi yang diterima para calon komisioner tersebut berkaitan dengan Pilkada Kukar tahun 2020.
Ia mencontohkan sanksi yang dijatuhkan kepada 5 orang komisioner Bawaslu Kukar. Laporan pertama dilayangkan Tim Kotak Kosong kepada DKPP RI karena para komisioner tersebut diduga melakukan pelanggaran.
Dalam penanganannya, sambung La Ode, 5 komisioner Bawaslu Kukar kala itu dinyatakan tak bersalah. Pasca penanganan kasus tersebut, nama mereka direhabilitasi.
Sengketa berikutnya diajukan oleh tim bakal calon bupati Kukar kala itu, Awang Yacoub Luthman (AYL). Dalam pengajuan pertama tentang pencalonan, berkas pemohon tak lengkap.
Hingga batas waktu yang ditentukan, pemohon tak kunjung melengkapi berkas permohonannya. Permohonan ini pun ditolak oleh Bawaslu Kukar.
Tim AYL kembali mengajukan permohonan. Penanganan kasus ini berjalan hingga persidangan.
“Meskipun pada akhirnya…Awang Yacoub beserta tim itu mencabut permohonan sengketa Pemilu,” terangnya kepada media ini, Jumat (12/1/2024).
Kata dia, obyek laporan tim AYL kepada DKPP RI merupakan perkara pertama yang pernah diajukan tim bakal calon orang nomor satu di Kukar tersebut.
Dalam pembacaan putusan di DKPP, lembaga tersebut menganggap Bawaslu Kukar terlalu kaku dalam memahami aturan. Bawaslu Kukar juga dianggap terlampau kaku karena semata hanya berpegang pada pedoman juknis penanganan sengketa Pemilu.
“Akibat kesalahan itu kemudian mendapatkan teguran atau mendapatkan sanksi dari DKPP,” sebutnya.
Sementara itu, jelas La Ode, 5 komisioner KPU Kukar tak menjalankan rekomendasi yang telah diterbitkan Bawaslu RI untuk mendiskualifikasi pasangan calon Edi Damasnyah dan Rendi Solihin di Pilkada 2020.
Bawaslu RI menyebut pasangan Edi-Rendi terbukti melanggar Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ia mengungkapkan bahwa rekomendasi Bawaslu RI justru ditindaklanjuti oleh KPU Kukar dengan cara memeriksa, mengumpulkan bukti-bukti, serta melakukan kajian. Hasilnya justru berbeda dengan rekomendasi Bawaslu RI.
“Menurut KPU, Edi Damansyah tidak terbukti bersalah sebagaimana disangkakan atau dituduhkan melanggar Pasal 71 ayat 3,” ujarnya.
Lima komisioner KPU Kukar pun dilaporkan kepada DKPP RI. Mereka akhirnya mendapatkan sanksi keras karena dinilai melanggar kode etik Pemilu.
Akibatnya, terang La Ode, Erlyando Saputra yang saat itu menjabat sebagai ketua KPU Kukar dicopot dari jabatannya. Ia kemudian digantikan oleh Purnomo.
“(DKPP RI) juga menjatuhkan sanksi kepada anggota-anggota yang lain,” ucapnya.
La Ode menilai sanksi yang diterima oleh para komisioner dari 2 lembaga tersebut berbeda. Selain itu, mereka mendapatkan sanksi dari kasus yang berbeda serta akibat hukum yang berbeda pula.
Dia menegaskan bahwa para komisioner Bawaslu Kukar mendapatkan sanksi ringan dari DKPP RI. Karena itu, tak ada hukuman pemberhentian dari jabatan.
Sedangkan komisioner-komisioner KPU Kukar menerima sanksi keras yang mengakibatkan pemberhentian jabatan sebagai komisioner.
“Makanya kalau kita lihat strukturnya di Bawaslu itu tidak berubah; tidak ada akibat atau tidak ada perubahan apa pun. Tetapi di KPU itu terjadi perubahan. Kenapa? Karena dia ternyata mendapatkan teguran keras atau sanksi keras,” bebernya.
Meskipun sanksi para komisioner dari dua lembaga tersebut berbeda, sambung dia, pelanggaran yang mereka lakukan tetap tak bisa dibenarkan.
“Secara etis sebetulnya adalah sesuatu yang membuat publik itu menjadi punya penilaian tersendiri terhadap penyelenggaraan Pemilu. Bisa berakibat pada keraguan publik terhadap terselenggaranya demokrasi secara baik. Wajar saja publik ragu dengan terselenggaranya Pemilu yang bersih,” pungkasnya. (mt/fb)